Sejenak mereka sama-sama terdiam. Nabila menatap jauh Dirta yang masih setia di posisinya sedangkan Dirta mendongak ke arah langit yang tampak pekat.

"Cie, tumben lo inget soal pelajaran?" lontar Dirta memecah sunyi. "Mentang-mentang udah jadi pacar gue jadi tambah pinter, ya, Bil?"

"Korelasinya apa, Bambang?!"

Dirta tertawa. Tawa yang mampu melegakan sudut hati Nabila yang tadi terasa sesak. "Besok, 'kan, libur, mau nggak ketemu sama Ayah gue?"

"Ta ...."

"Kita do'ain Ayah gue bareng-bareng, ya, Bil. Makin banyak yang do'a, 'kan, makin mudah jalan Ayah di sana."

"Iya. Ayo, Ta. Ayo kita do'ain Ayah lo sama-sama," ucap Nabila dengan parau.

"Oke. Sekalian gue mau ngenalin cewek baru gue ke Ayah, hahaha."

"Kumat lagi resenya. Bahas aja terus."

"Udah sana tidur," titah Dirta. "Mata lo ntar jadi kayak panda kalau tidur kemalaman."

"Lo juga masuk ke kamar sana. Udaranya makin dingin."

"Iya, Sayang. Perhatian banget, deh, cewek gue."

"Bodo, Ta, bodo. Gue mau tidur, bye!"

Nabila memutus sambungan telepon dengan bibir mengerucut ke depan. Namun, tak lama kemudian hal itu berubah menjadi seulas senyum tipis.

🌼🌼🌼

Langit terlihat mendung sedari pagi. Bahkan sinar sang fajar tampak absen menghangatkan bumi dan segala isinya. Situasi seperti ini sangat cocok untuk bermalas-malasan di rumah. Terlebih hari ini adalah hari Minggu di mana para pekerja dan siswa rehat sejenak dari segala rutinitas.

Dirta berjalan ke arah kolam renang di mana ada sang nenek yang sedang menikmati teh hangat dan kudapan di piring kecil. Dirta berniat izin kepada neneknya untuk pergi ke makam mendiang ayahnya.

"Nek," panggilnya seraya berjalan mendekat.

"Kenapa, Nak?"

Dirta memandang figur neneknya yang semakin merenta. Helai-helai putih mulai menghiasi mahkota wanita paruh baya tersebut. Keriput samar pun mulai tercetak di beberapa bagian. Dirta sangat menyayangi wanita ini. Rasanya ia tidak akan sanggup menjalani hidupnya jika tanpa ada sosok nenek tercintanya ini. Sosok yang selalu melimpahkan cinta dan kasih sayang yang tak pernah Dirta dapat dari orang tuanya. Sosok yang selalu mengkhawatirkan keadaan Dirta setiap waktunya. Sosok yang selalu menghibur Dirta saat merasa kesepian.

"Dirta izin mau ke makam Ayah sama Nabila."

Neneknya tersenyum lembut. "Dirta kangen sama Ayah, ya?"

Dirta mengangguk dalam sambil menyembunyikan matanya yang terasa berair. Mendadak untuk menelan salivanya saja terasa sulit.

"Jangan lupa do'ain Ayah, ya, Nak? Biar Ayah di sana juga bahagia."

"Iya, Nek, pasti." Suara Dirta terdengar parau. Cowok itu berjongkok di bawah neneknya sambil menggenggam tangan wanita itu. Dahinya ia tumpukan pada genggaman tangan tersebut. Sebenarnya itu hanya kedok yang Dirga gunakan untuk menyembunyikan bulir yang berhasil lolos dari pelupuk mata.

"Cucu Nenek yang pintar, yang baik hatinya," ucap neneknya dengan mengelus kepala Dirta secara teratur, "yang sholeh. Bakti sama orang tua, ya, Sayang? Ayah kamu pasti bangga lihat jagoannya jadi anak yang hebat."

"I--iya, Nek."

"Tadi udah izin sama Bunda?"

Diam-diam Dirta menyusut air matanya. "Pintu kamar Bunda dikunci," ujarnya.

DisabiloveWhere stories live. Discover now