36. Kilas Balik Bianglala

Začať od začiatku
                                    

Bianglala membawa Maira dan Ojan sampai pada puncak ketinggian. Dan tiba-tiba, terdengar suara ledakan dari bawah yang membuat semua orang panik tak terkecuali Maira.

“Bapak ibu, adek sekalian mohon maaf, saat ini mesin kami bermasalah. Kami akan berusaha sebaik mungkin. Dimohon untuk tidak panik!” Ucap pria dewasa pemilik bianglala dari bawah.

“Jaaann ini gimanaaa. Aku takut” ucap Maira yang terlihat sudah pucat. Dengan sigap, Ojan menenangkan Maira. Ia membawa Maira dalam dekapannya seraya mengusap kepala Maira dengan sayang.

“Tenang ya, sayang. Mereka pasti kembalikan keadaan. Kamu ga perlu takut, ada aku di sini,” ucap Ojan. Maira membalas pelukan Ojan. Menyalurkan rasa takutnya. Dan benar saja, ia merasa tenang berada di dekat Ojan.

Namun tidak dengan Ojan yang mendapat perlakuan Maira.

“Jan? Kenapa? Kamu juga takut?”

“Kenapa, Ra?”

“Kok jantung kamu kayak mau copot sih? Dag dig dag dig dug dari tadi” ucap Maira dengan polos.

Maira tidak tahu, Ojan saat ini sedang grogi karena pelukan Maira.

Dengan tangan yang tak henti mengusap kepala Maira, “Engga kok. Aku cuma terlalu seneng bisa sedekat ini sama kamu.” Maira hanya mengangguk pelan mengiyakan jawaban Ojan.

“Jan, aku mau cerita, boleh?”

“Boleh dong. Cerita aja,”

“Bianglala bikin aku inget sama papa.” Ucap Maira menatap cahaya lampu kota di atas puncak bianglala.

Ojan mengerutkan alis seakan bertanya ‘Ada apa?’

“Dulu, sebelum mama papa cerai, aku sering dibawa ke sini. Dan arena permainan yang paling aku sukai itu ya ini, bianglala. Gak tau sih kenapa sesuka itu, padahal aku phobia ketinggian. Sok-sok-an mau naik bianglala” ucap Maira cengengesan.

Flashback on

Malam ini seorang gadis kecil tengah termenung di depan jendela menatap kosong jalanan yang berangsur sepi. Ia sedih karena tidak mendapat kesempatan untuk naik ke arena permainan kesukaannya. Meskipun phobia ketinggian, tapi ia tetap senang. Menurutnya, dengan bianglala ia dapat melihat keindahan kota dengan gemerlap lampu yang beragam warna. Ia tak memperhatikan sekitarnya. Pikirannya hanya dipenuhi dengan bayangan betapa indahnya saat ia tertawa bahagia di puncak bianglala.

Tanpa ia sadari, seorang pria dewasa sedang melangkah pelan mendekatinya. Dia adalah Arman, Papa Maira. Ia bingung melihat gadis kecilnya termenung sendirian.

“Loh, anak papa kok cemberut? Kenapa sayang?” tanya Arman seraya mengusap kepala Maira.

Ia sedih karena tak jadi naik bianglala,” ucap Sari dan beranjak menuju kamar yang diikuti oleh Arman.

“Memangnya kenapa? Tiketnya abis?”

“Belum” jawabnya singkat.

“Lalu?”

“Tadi ramai sekali pengunjung yang lain. Antrian bianglala panjang. Aku takutnya kehabisan tiket sebelum pulang,”

“Kamu tuh ya, gak bisa bikin Maira seneng. Kamu kan tau, sejak kemarin ia sangat bersemangat pengen naik bianglala. Masa bikin dia seneng aja gak bisa?!!” ucap Arman meninggi.

“Pelankan suara kamu! Kamu mau anak-anak dengar?” ucap Sari memalingkan wajah dari Arman dan menatap Alia kecil yang sedang tertidur pulas di ranjang.

Arman menghela napas.

“Kamu pulang kerja udah telat, masih aja marah-marah. Bukannya bujuk Maira tapi malah marah-marah. Kamu tuh gak tau, aku milih pulang cepet tuh karena takut Maira masuk angin. Kamu sendiri tau kan, Maira kena angin malam dikit aja langsung sakit? Alia aku titip ke Ibu, kamu pikir aku di sana gak mikirin Alia juga? Siapa yang gak mikirin Maira? Ha? Mikir kamu!”

Arman termangu. Tanpa mereka sadari, Maira berdiri di depan pintu. Ia berjalan ke kamar karena mendengar kedua orangtuanya berdebat lagi.

Ma… Pa…” ucap Maira lirih.

“Eh sayang. Kamu kok di sini? Gak masuk ke kamar?” tanya Sari mendekati Maira yang berdiri di pintu.

“Rara mau naik bianglala, kan?” Maira mengangguk pelan mendengar pertanyaan Arman.

“Ya sudah. Ayo pergi sama Papa.” Ucap Arman mengulurkan tangan. Dengan senyum yang manis ia menggapai tangan Arman. Maira kini bersemangat lagi.

“Pakai ini dulu ya. Mama takut kamu masuk angin.” Ucap Sari sambil mengenakan jaket berwarna merah muda pada tubuh kecil Maira.

“Ya sudah, Rara salim dulu sama Mama,” ucap Arman.

Ia lalu menggendong Maira menuju pasar malam.

“Dah  mamaa…” Maira begitu senang. Ia melambaikan tangan ke Sari yang ada di depan pintu.

Setibanya di pasar malam, Arman melihat suasananya yang kini berangsur sepi. Sedari tadi ia tak membiarkan gadis kecil kesayangannya berjalan dengan kakinya sendiri. Ia selalu menggendong Maira. Ia begitu menyayangi putrinya.

“Pak, tiketnya dua, ya,”

Arman pun langsung menaiki bianglala dengan Maira yang masih ada di gendongannya. Maira yang phobia ketinggian terlihat pucat saat bianglala mulai bergerak menuju puncak. Arman yang melihatnya pun berusaha menenangkan Maira.

“Maira tidak usah takut ya. Papa di sini, dan akan selalu ada buat Maira.” Ucap Arman mendekap sayang dan mencium pucuk kepala Maira. Maira kini tenang berada dalam dekapan Arman. Keindahan kota terlihat saat Maira berada di puncak ketinggian bianglala. Indah sekali. Mereka menghabiskan permainan di bianglala dengan sepuluh kali putaran. Maira sangat bahagia malam ini.

“Maira mau jajan apa sayang?”

Maira mau itu, Pa.” Ucapnya sambil menunjuk ke arah pedagang permen kapas.

“Tapi abis jajan permen, Rara harus sikat gigi ya biar giginya gak sakit!”

“Iya, Pa!” seru Maira.

Mereka menghabiskan malam berdua dengan bahagia.

Flashback off

***

“Cerita kamu menarik!” ucap Ojan dengan senyum yang tulus.

“Andai bisa keulang ya, Jan”

Melihat raut wajah Maira yang berubah sendu, Ojan dengan sigap menenangkan hati Maira. Ia mungkin tidak begitu paham perasaan Maira tapi ia akan selalu membuat Maira tidak sedih untuk mengingat beberapa potong kenangan pilu masa kecilnya itu.

Tanpa mereka sadari, bianglala sedari tadi kembali berputar. Waktu mereka habiskan untuk bercerita tentang masa kecil.

“Udah selesai dek, silakan turun karena yang lain juga antri.”

Suara bapak pemilik bianglala menghentikan kehangatan mereka berdua. Mereka tak sadar, sedari tadi, pintunya sudah dibuka. Dengan perasaan malu, campur bahagia mereka turun sambil tertawa terbahak-bahak. Saking asiknya, mereka sampai lupa sekitar. Kalau kata orang, ‘Dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak’

“Mau jajan apa, Ra?” Ojan mengikuti arah pandang Maira.

“Mau permen kapas?”

“MAUUUU!!” ucap Maira bersemangat. Mengingat cerita Maira tadi, membuat mereka sedetik terdiam kemudian tertawa terbahak-bahak menuju pedagang permen kapas.



Bersambung…

Bucin Insyaf Where stories live. Discover now