31. Tumbang

37 17 11
                                    

Bucin Insyaf chapter 31 publish! Enjoy ya~


“Lho Ra, kok muka kamu berubah pucat gitu?” tanya Azriel sontak membuat Maira membulatkan mata.

“Ngaco lo,” sanggahnya membuat Aul seketika membalik badan Maira untuk memastikan.

“Bener, Ra. Muka lo pucet banget. Lo sakit?” tanya Ghea. Maira yang memang tidak suka merepotkan orang memilih untuk berbohong.

“Engga kok. Gua baik-baik aja. Barangkali ini karena semalem gua begadang saking gak sabarnya ikut napak tilas,” jawabnya dengan menampilkan senyum yang terpaksa.

“Lo yakin mau ikut? Nanti di jalan lo kenapa-napa gimana?” tanya Aul yang diangguki Ghea.

“Iya Ra, mending gak usah deh. kita ijinin lo ke wakasek ya,” ucap Ghea hendak menghampiri Bapak Wakasek yang tengah mengatur barisan. Maira refleks mencegah Ghea. Ia tidak ingin ketinggalan momen seperti  ini bersama teman-temannya.

“Gak usah Ghe. Bentar bakal baikan lagi kok,” ucap Maira mengulum bibir agar pucatnya tidak begitu kelihatan.

“Gak. Kamu gak boleh pergi oke?” sahut Azriel.

“Apaan sih aku-kamu,” ketus Maira.

“Kayaknya si playboy ini udah bermetamorfosis jadi sadboy deh,” bisik Bagas pada Arkan.

“Kita liatin aja dulu, dia bisa tahan ama si kulkas ini apa kagak,” sahut Arkan.

“Yok aku anter pulang” ucap Azriel yang hendak menarik tangan Maira.

Maira menepis tangan Azriel, “Apaan sih gua gak mau pulang!” Azriel mengalah. Sekeras apapun usahanya untuk melarang Maira, ia akan tetap kalah.

“Ya sudah. Ijinin aku buat jagain kamu ya, Ra” ucapnya tulus. Maira melihat ketulusan di mata Azriel akhirnya luluh. Bukan karena mulai suka, tapi ia merasa kasihan karena sifatnya yang suka ketus terhadap Azriel. Dan kali ini ia benar-benar tulus terlihat dari sorot matanya yang tak menampakkan kebohongan di sana.

“Ya-ya udah,” jawabnya singkat.

“Baik anak-anak. Barisan kalian selama di jalan harus tetap rapi ya. Jangan menguasai jalan. Jangan bikin keributan, semua harus mematuhi perintah dari guru dan panitia. Paham?!”

“Paham pak!” sahut seluruh siswa.

Merekapun berangkat dengan suka cita. Berbagai lagu  mereka nyanyikan mulai dari lagu anak-anak hingga percintaan. Berbeda dengan Azriel, saat suasana kembali sunyi, ia malah mengeraskan suara saat bernyanyi tembang kenangan.

“Sepanjang jalan kenangan kita slalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra. Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu. Menambah nikmatnya malam syahdu…” Beruntung suaranya masih bisa diterima oleh telinga.

“Mata lo ujan rintik-rintik, lo gak ngerasa matahari udah ngebakar kulit apa?!” Arkan menoyor kepala Azriel, namun si empunya tak merasa terusik sedikitpun. Ia tetap melanjutkan nyanyiannya.

“Udah mati rasa kali,” sahut Bagas.

Satu jam lebih perjalanan, mereka berhenti di sebuah perkampungan yang agak jauh dari keramaian kota.

“Perhatian untuk adik-adik. Bisa kita lihat di belakang sudah ada sebuah bukit yang menjadi saksi bisu di mana para pahlawan kita melawan penjajah puluhan tahun yang lalu. Dalam peristiwa ini tentunya memakan banyak korban. Nah bagi kalian yang memiliki riwayat penyakit atau sedang merasa kurang enak badan, harap bilang agar di perjalanan nanti kami bisa memantau untuk mencegah hal yang tidak diinginkan,”

Bucin Insyaf Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang