[ Re:XXX • 115 ]

257 28 8
                                    


Sesampainya di rumah, Vido langsung menghubungi Haris. Tapi sepertinya Haris sudah benar-benar kehabisan kesabaran. Ia sama sekali tidak merespon panggilan telepon Vido. Tidak pula Haris reject panggilan telepon dari Vido. Hanya tak menerima sampai panggilan Vido masuk ke mail box beberapa kali.

Tiga kali dering, Haris masih belum menerima panggilannya. Vido mengakhiri panggilannya sebelum dering kelima. Ia lakukan hal yang sama berulang kali, dan selalu berhenti di dering keempat. Terus seperti itu.

Sampai sekitar pukul 3 dini hari, akhirnya Haris menerima panggilan telepon dari Vido.

"Ris...... Maafin gue....."

Kalimat itu meluncur begitu saja saat Vido mendengar suara Haris yang terdengar serak.

"Elu dimana, Do?" Haris bertanya dari seberang sana.

"... Rumah," Vido menjawab setelah sesenggukan beberapa kali.

"Gue kesana. Boleh?"

"Bo...leh..." Vido terdengar kesulitan untuk menjawab.

Sekitar hampir satu jam kemudian, Haris benar-benar sudah berdiri di hadapan Vido. Setelah mempersilahkan masuk, Vido hanya bisa duduk lemas di hadapan Haris.

Vido hanya berjongkok di pertengahan anak tangga. Haris berdiri usai menutup pintu. Dalam kondisi temaram, karena setiap anak tangga memiliki lampu dari sensor panas tubuh, yang menyala otomatis setiap merasakan seseorang berjalan melintas. Dan akan otomatis mati jika tak ada satupun yang melintas selama beberapa menit selanjutnya.

"Do, kenapa malah nangis?" Haris bertanya bingung. Penampilannya terlihat sangat acak-acakan.

"Elu benci gue kan, Ris?"

"Kagak."

"Bohong..."

"Beneran Do. Gue kagak benci."

"Terus apa namanya kalo kagak benci gue?"

"Gue cuma marah."

"Elu marah dan mau ninggalin gue?"

"Gak salah tuh? Bukannya elu yang mau ninggalin gue!"

"... ..." Vido tak sanggup menjawab. Ia hanya menggeleng cepat.

Selama beberapa menit selanjutnya, Haris hanya berdiri dalam diam. Kalau ia berani jujur, ia memang sangat marah dengan sikap Vido. Tapi Haris tak akan pernah sanggup untuk membenci Vido. Sama seperti Vido, tugas kuliah Haris juga menumpuk. Sampai akhirnya ia bisa mengesampingkan perasaannya sendiri. Ia bisa menekan api amarah yang berkobar di dalam dadanya. Tapi ia tak akan sanggup untuk meninggalkan Vido.

Tak akan pernah.

Karena hati Haris sudah tertambat untuk Vido. Meskipun ia sudah sering menelan pil pahit dan rasa kecewa, yang membuat sakit sekujur tubuhnya. Membuat kepalanya pusing, karena hal sekecil apapun, selalu membuatnya teringat dengan Vido. Meskipun ia tidak menyapa atau menegur Vido, karena Haris merasa dirinya sedang berhalusinasi. Ia merasa kembali melihat bayangan Vido. Juga karena Haris sibuk melamun di tengah kerumunan.

Bahkan melihat Vido menangis dihadapannya saat ini, masih membuat Haris merasa ia sedang bermimpi. Sampai akhirnya Vido mengulurkan kedua tangannya. Memeluk Haris sangat erat, hingga membuatnya sesak. Air mata Vido yang menetes di bahu Haris, menyadarkan Haris kalau saat ini ia tidak sedang bermimpi.

"Jangan tinggalin gue Ris... Maafin gue..." Ucap Vido disela tangisnya. "Jangan benci ke gue.... Tolong maafin gue.... Gue salah... Iya, gue yang salah...."

"Kita naik dulu, yuk..."

"Ayo..." Balas Vido dengan lirih.

"Tapi lepasin gue dulu."

The Next Chapter of °•¤ Re:XXX ¤•°[2nd Season]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang