[ Re:XXX • 112 ]

303 38 20
                                    


"Yakin turun disini aja?" Donnie sekali lagi bertanya pada Vido.

"Iya, Donnie. Bawel amat, dah!"

"Gak gitu Do. Elu keliatan lemes. Yakin elu lagi gak sakit?"

"Umm.... Mau sakit kayaknya. Emang agak gak enak badan."

"Udah ke dokter?"

"Belom."

"Gue anterin sekarang."

"Besok aja deh. Kalo emang fix sakit, gue hubungi elu."

"Masalahnya elu tinggal sendirian, kan?"

"Thanks Don. Siva. Gue beneran baik-baik aja."

"You're welcome," Siva menyahut. "Minum vitamin. Barang kali kamu sedang anemia."

Vido mendengus. Lantas tersenyum. "Oke," ucapnya dengan mengacungkan jempol.

Siva bisa melihat dan merasakan kecemasan di hati Donnie. Makanya, dia tak langsung tancap gas.

Dilain pihak, Vido tersenyum lemah saat membalas sapaan Aldo. Ia terus berjalan. Tidak mampir untuk ngobrol ngalor ngidul seperti biasanya. Tapi Aldo memaklumi saat melihat wajah Vido yang kuyu. Tak terlihat ada semangat di suara dan bahasa tubuhnya. Mungkin Vido sedang kecapean, begitu yang Aldo pikir.

"Mas Prima...?" Vido memanggil dengan suara terdengar tak yakin.

Satu hal yang membuat Vido lemas sedari pagi, disebabkan oleh Prima. Meski pada akhirnya Prima menikmati hidangan yang Vido sajikan, mereka makan dalam diam. Tak ada perbincangan hangat seperti yang biasa mereka lakukan.

Tapi melihat Prima duduk menunggu di depan pintu masuk flat miliknya, tentu menjadi kejutan tersendiri untuk Vido. Padahal ia yakin, semalam adalah pertemuan mereka yang terakhir kalinya.

"Baru pulang?"

Vido mengangguk. "Kenapa gak nunggu di dalem?"

"Sungkan," jawab Prima sambil menghadap kearah pintu. Memasukkan nomor pin. Menarik daun pintu agar terbuka, dan mempersilahkan Vido untuk masuk terlebih dulu.

"Kamu sakit, Do?" Prima bertanya saat Vido melintas. Ia merasa ada yang aneh pada Vido sejak semalam. Tapi Prima tak berani bertanya.

Prima sadar, Vido terlihat sangat canggung setelah ia kelepasan bicara mengenai Vido dan Haris. Prima merasa ada yang aneh di dalam dirinya ketika melihat kedekatan Vido dengan Haris. Dadanya terasa sakit dan sesak. Bahkan ketika ia mempertemukan istrinya dengan pria, yang mengaku sebagai Ayah biologis dari bayi di kandungan istrinya, Prima tak merasakan rasa aneh seperti itu.

Prima memang kecewa. Karena sang istri selama ini tak pernah mencintai Prima. Lebih kecewa lagi, saat mengetahui bayi tak bersalah di dalam perut istrinya, ternyata bukan buah hatinya. Tapi Prima tak merasa sakit, seperti di rajam ribuan jarum. Tak sesak seolah ada dua ekor gajah menimpa dadanya. Tak panik, hingga membuat isi kepalanya terasa kosong.

Tapi sekarang, entah kenapa, Prima merasa sebaliknya. Melihat kondisi Vido sekarang, dirinya adalah penyebabnya. Kemungkinan besar adalah dari ucapannya kemarin malam.

Prima baru saja akan ikut duduk di samping Vido. Tapi karena mendengar suara bel pintu, ia bergegas kembali menuruni anak tangga.

Tak lama Prima kembali bersama dengan seseorang. Tak lain adalah Haris. Vido terkejut karena Haris datang lebih cepat dari waktu yang ia janjikan. Meski wajahnya terlihat tenang, tapi jantung Vido berdegup kencang.

Vido memandang wajah Haris dan Prima bergantian. Lantas berujar kepada Haris, "Ini belum seminggu, atau gue lupa menghitung hari, Ris?"

Haris tersenyum canggung mendengar pertanyaan Vido. "Gue cuma... kangen," jawabnya jujur. Bulu kuduknya langsung meremang usai berujar seperti itu. Terasa ada sebalok es menghantam punggungnya. Ia menoleh kearah Prima yang memberikan sorot mata tajam.

The Next Chapter of °•¤ Re:XXX ¤•°[2nd Season]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang