"Ah, iya.... Juna pengen nanya satu hal sama kalian. Kalo Juna gak sakit, apa kalian bakal anggap perjuangan Juna? Kenapa sikap kalian berubah? Kenapa baru sekarang? Kenapa di saat waktu Juna gak lama lagi?" Nada suaranya terdengar dingin namun menyiratkan berjuta luka yang dirasakannya.

Anak itu kembali menunduk. Menopang tubuh dengan satu tangan dan sebelah tangan yang lain menekan kuat dadanya yang terasa begitu sesak.

"Juna takut.... Ma.. Juna takut harus pergi tanpa bisa kasih yang terbaik buat Mama, buat kalian. Juna takut tidur dan gak bisa bangun lagi. Aku takut....Ma... Juna takut..."

Suara bergetar itu begitu pilu, menimbulkan perih di hati mereka yang mendengarkannya. Juna meracau dengan tangisan yang semakin pecah. Ia sungguh lelah dengan kenyataan bahwa dirinya belum bisa memberikan yang terbaik, bahkan hingga sekujur tubuhnya kini terasa amat sakit. Juna sangat menyesali kelemahannya.

Semua orang mematung. Ini kali pertama mereka mendengar keluh kesah seorang Arjuna. Sosok yang selalu menampilkan senyum indah, kini menunjukkan tangisan atas lukanya selama ini. Hancur sudah pertahanan yang ia buat. Topeng tebal yang menutup lukanya, kini lebur bersamaan dengan lontaran kata dari mulutnya.

Jean memalingkan wajahnya, menyembunyikan buliran bening yang entah sejak kapan lolos dari kedua matanya. Yuda tertunduk dalam tanpa bisa bersuara dengan tangan mengepal erat. Sedangkan sahabatnya yang lain hanya bergeming tanpa tahu harus melakukan apa selain menangis tertahan. Tak menyangka bahwa ternyata sosok itu menyimpan luka yang begitu dalam.

Ali terpaku di tempatnya. Kameranya masih merekam, namun sudah tergeletak begitu saja di lantai. Ia tak terisak, tapi juga tak bisa dikatakan baik, air mata tetap jatuh tanpa permisi. Ali menatap kosong ke arah sang adik. Begitupun dengan Liam, mereka kompak dalam geming, namun penuh riuh dalam batin. Yang jelas, hati mereka sangat sakit saat ini.

Hara bangkit dan tergopoh menghampiri sang anak. Ia menarik tubuh itu ke dalam dekapannya. Ia menangis tanpa suara. Bagai ditikam tombak yang menghunus tepat pada jantungnya. Rasanya amat sakit mendengar tangisan anaknya.

"Ma, maaf, Juna gagal. Gak bisa banggain Mama." Juna melirih untuk kemudian menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang Mama. Hara menggeleng seraya mengusap kepala anaknya.

"Mama bangga banget sama Juna. Mau Juna menang atau enggak, Mama tetep bangga sama kamu, sayang," ucapnya berbisik tepat di telinga anaknya.

"Mama bangga sama Juna?" beo Juna memastikan. Ia sudah pasrah akan keadaan.

Hara mengangguk mantap. "Banget. Bangga banget!"

Juna menarik sudut bibirnya. Hangat rasanya mendengar kata itu disematkan untuk dirinya. Lalu Hara mengurai pelukannya dan beralih menangkup wajah Juna dengan kedua tangannya. Ibu dan anak itu saling beradu tatap. Ia lantas mengecup kening Juna. Hawa panas terasa begitu kentara dari tubuh anaknya. Batinnya tersiksa, ia meratapi takdir yang membuat semuanya terasa semenyakitkan ini.

"Udah ya, sayang. Udah cukup. Sekarang istirahat dulu, ya?" mohon Hara sembari berusaha menampilkan senyum. Membuat dadanya semakin sesak.

Juna mengangguk pasrah, karena mau bagaimanapun dirinya tak akan sanggup melanjutkan pertandingan ini. Berdiri saja ia tak yakin bisa.

"Kuat berdiri, nak?" tanya Hara sembari mengintip wajah Juna yang menunduk. Juna menggeleng lemah. Jujur. Ia tak sanggup.

Arjuna kalah. Ia tak berhasil meraih kemenangan yang ia nanti-nantikan. Semesta begitu kejam pada dirinya. Berkali-kali menjatuhkan semangat dan harapannya. Namun tak apa, Juna memang sudah terbiasa mengalah, bukan?

Walau dampaknya tetap saja menyakitkan.


🕊🕊🕊

Pekatnya hitam kini berhiaskan bintang. Ingin rasanya ia yang tengah berbaring, menengok ke luar. Sekadar memandangi langit malam. Namun apa daya jika tubuhnya tak bisa diajak kerja sama?

Untuk Arjuna[✓]Where stories live. Discover now