42-Tolong Dukung Gue

16.6K 2.9K 385
                                    

Selamat malam, Pren😚

ENJOY!🤧

.

"Jika aku tahu lebih awal bahwa dengan mendengarnya akan sesakit ini, aku tak akan pernah meminta kalian merelakan aku pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jika aku tahu lebih awal bahwa dengan mendengarnya akan sesakit ini, aku tak akan pernah meminta kalian merelakan aku pergi. Tahan aku, aku ingin hidup."

~Untuk Arjuna~

.

Sinar rembulan perpendar apik walau tak berbentuk bulat sempurna. Ditemani kerlip bintang yang bertaburan di pekatnya langit malam. Begitu indah bagi siapapun yang melihatnya. Namun tak mampu untuk menarik atensi dari seseorang yang kini terbangun dari tidurnya di tengah malam.

Sepi dan hampa.

Juna beringsut duduk dengan bersandar pada kepala ranjang. Menyalakan lampu tidur di atas meja kecil di sampingnya. Memijat pelipisnya kala rasa pening menjalar di kepala ketika retinanya tak siap untuk mendapat cahaya. Ia termenung sembari menatap lurus ke arah medali dan piagam yang berjajar rapi di salah satu sisi dinding kamarnya. Saksi bisu atas perjuangannya untuk mendapatkan apresiasi dari keluarganya.

Juna mendesah miris.

Mengapa sekarang tak ada gairah ketika melihat benda-benda itu? Seolah perjuangannya selama ini terbuang sia-sia. Lalu tiba-tiba muncul pemikiran konyol di otaknya.

Apakah sebaiknya ia menyerah saja?

Apakah lebih baik jika ia menuruti kemauan Mama dan Masnya untuk berhenti mengejar mimpinya?

Akankah dengan begitu kemungkinan ia sembuh jadi lebih besar?

Ah... Sampai di sini saja sudah bisa dipastikan bahwa Juna salah paham. Hara dan Liam bukannya menyuruh Juna untuk menghentikan mimpinya. Bukan. Mereka hanya meminta Juna berhenti sejenak sampai ia pulih. Setelahnya Arjuna boleh memilih sendiri jalannya ingin bagaimana.

Juna terbatuk kala tenggorokannya terasa kering kerontang. Lantas ia melirik ke atas meja dan mendesah malas ketika tak mendapati gelas air di sana. Mau tidak mau, ia harus keluar untuk mengenyahkan dahaga yang menderanya. Dengan langkah pelan Juna beranjak ke dapur. Merasa sejuk luar biasa ketika satu tegukan air menyapa tenggorokannya.

"Alhamdulillah," gumamnya seraya meletakkan gelasnya ke atas meja makan.

Dengan penerangan yang seadanya, Juna melirik ke arah kanannya. Terlihat seonggok kursi kayu yang melekat dengan meja, dan tak akan pernah ada lagi yang menariknya. Pemiliknya sudah tiada. Dan akan selamanya seperti itu. Rapi, sunyi, dan kosong.

Untuk Arjuna[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang