49-Makasih Udah Bertahan

Start from the beginning
                                    

Ali memejam, mencoba mengontrol emosinya. Tubuhnya bergetar ketakutan. Bagaimana jika yang tadi itu nyata? Bagaimana jika adiknya benar-benar tak bisa dibangunkan? Ah, tidak! Ali menggeleng ribut, menepis pemikiran negatif yang tiba-tiba saja menyerbu pikirannya.

"Maafin gue, Al. Gue gak nyangka lo bakal setakut ini." Juna mencoba meraih tangan Kakaknya. Namun detik itu juga hatinya mencelos. Tangannya menggantung di udara, karena Ali malah menghindar dengan menarik tangannya seraya mengambil langkah mundur.

"Sshh..." desis Juna merintih pelan sembari menunduk. Ali mendelik.

"Gue gak bakal ketipu lagi. Sekarang tidur, udah malem. Lo harus istirahat," ucap Ali datar dan dingin. Jelas menohok hati Juna.

Setelah kalimat itu rampung dikatakan, Ali beranjak pergi meninggalkan Juna yang terpaku di tempat. Juna sungguh dirundung rasa bersalah. Bahkan Ali tak mengatakan bahwa dia sudah memaafkannya. Bagaimana ini? Perasaan Juna jadi tak karuan.

Juna menatap sedih punggung sang kembaran yang melangkah begitu cepat, menjauh darinya.

"Maafin gue, Bang," cicit Juna kembali menunduk dengan tangan terangkat meremat kaus yang dikenakannya.

🕊🕊🕊

Jam menunjukkan waktu tepat tengah malam. Kini Juna sudah berada di kamarnya. Ia bergerak membulak-balikkan badan karena tak bisa tidur. Hatinya tak tenang. Hanya dua centang biru yang tertera di layar ponselnya. Ali tak membalas satupun pesan darinya. Alhasil, Juna memilih bangkit dan berjalan menuju kamar kembarannya.

"Al? Lo masih bangun?" panggil Juna di depan kamar sang Kakak.

Entah sudah berapa kali Juna mengetuk pintu itu, namun si empunya tak kunjung memberi sahutan. Juna mencoba memutar kenop pintunya. Namun ternyata dikunci. Juna meringis. Ah, sepertinya sang Kakak benar-benar marah padanya.

"Maafin gue. Gue salah. Tapi tolong, jangan diemin gue kayak gini," mohon Juna putus asa. Ini pertama kalinya sang kembaran mendiamkannya. Juna tak terbiasa dengan sikap Ali yang seperti ini.

"Lo masih bangun, kan? Jawab gue kalo lo belom tidur." Namun lagi-lagi hanya suara helaan napasnya yang kian memberat yang terdengar. Ali tak menjawab.

"Akhh.." rintih Juna pelan sembari memegangi perutnya.

"Ya udah, gue balik ke kamar, ya? Lo istirahat yang banyak. Sekali lagi, maafin gue," ucap Juna kecewa karena tak kunjung ada jawaban dari dalam. Dengan berat hati, Juna kembali ke kamarnya.

Tanpa ia ketahui, sebenarnya Ali mendengar semua perkataannya. Anak itu berdiri di balik pintu kamarnya dengan tangan mengepal. Ingin membuka pintu, namun entah mengapa tak ia lakukan. Ali bergeming hingga suara pintu kamar Juna yang ditutup terdengar.

"Gue udah maafin lo, Jun. Sebenernya gue cuma takut. Seharusnya gue yang minta maaf udah bentak lo tadi," gumamnya seraya memejamkan matanya. Merutuki sikap bodohnya yang dengan tega tak menjawab permohonan maaf sang adik.

Di sudut lain rumah itu, Juna kembali merasakan gejolak menyakitkan di perutnya. Ingin berteriak minta tolong, namun ia enggan membuat kegaduhan. Tak ingin yang lain khawatir. Lantas dengan tertatih Juna berjalan menuju kamar mandi sembari berpegangan erat pada benda di sekitarnya.

Walau sudah pernah mengalami, tetap saja ia selalu panik dan takut. Darah yang keluar dari mulutnya lebih banyak daripada terakhir kali. Napasnya memburu menahan nyeri di sekujur tubuhnya. Juna mencengkeram ujung wastafel. Tubuhnya bergetar hebat. Juna mendongak dan menatap pantulan raganya di cermin. Sungguh mengerikan.

Untuk Arjuna[✓]Where stories live. Discover now