39-Papa, Jangan Bawa Juna

Start from the beginning
                                    

Di sisi lain, Juna masih terbatuk. Tangannya sibuk memegangi ulu hatinya yang terasa panas. Ia baru saja melepas alat pernapasannya sejak satu jam yang lalu. Namun kini mulai merasa sesak lagi. Hara hendak menekan tombol di dekat ranjang karena takut terjadi sesuatu pada Arjuna. Namun anak itu menahannya.

"Juna gak pa-pa, Ma."

Dalam keadaan seperti itu, tak akan ada yang percaya pada omongannya. Terlebih itu Hara--Mamanya.

"Masih sesek? Jangan ditutupin, sayang. Kalo sakit, bilang sama Mama."

Alhasil, Juna mengangguk samar dengan sudut bibir sedikit terangkat. "Sedikit, tapi gak perlu panggil dokter." Karena memang selain sesak, perutnya juga terasa sakit, tapi ia tak ingin yang lain khawatir.

Juna melirik pada kedua saudaranya yang kini saling berpelukan. Lebih tepatnya, yang lebih tua memeluk anak yang lebih muda. Ali belum mengatakan apapun. Dan Liam tak ingin memaksa. Ia menunggu adiknya sampai sedikit lebih tenang.

"Am-ambil hati Ali aja."

Semua tertegun ketika mendengar penuturan itu dari mulut Ali. Terlebih Juna yang langsung paham maksud saudara kembarnya. Ia beringsut duduk dengan bantuan sang Mama.

"Maksud lo?" tanya Juna pura-pura tak mengerti.

Ali bangkit berdiri dan kembali memeluk Juna. Namun tak seerat tadi.

"Gue mau lo sembuh. Jangan pernah berani-beraninya lo ninggalin gue." Ali berbisik dengan penuh penekanan.

Lagi-lagi Juna tertegun. Tangannya tergerak membalas pelukan itu. Ada desir hebat yang menyergap hatinya. Ini sudah kali ke enam keluarganya mengucapkan kalimat itu. Namun lagi-lagi Juna menolak. Ia tak ingin sembuh jika harus mengorbankan keluarganya. Terlalu beresiko. Juna hanya takut akan menyakiti mereka. Ia tak ingin kejadian seperti yang dialami Papanya terulang. Penyesalan tanpa ujung masih mengungkung perasaannya hingga detik ini.

Juna tersenyum dengan mata memanas. "Takdir gak ada yang tau, Ali. Gue mohon, jangan pernah lakuin itu. Gue gak akan maafin lo, kalo sampe hati lo tiba-tiba ada di badan gue. Hih! Hati gue terlalu suci buat disatuin sama hati lo," ucap Juna jenaka di situasi yang tidak tepat.

Dengkusan kasar terdengar dari yang lebih tua. Ali melepas pelukannya dan segera mengusap kasar air matanya. Anak itu beranjak pergi tanpa sepatah katapun. Liam hendak menyusul, namun Hara mencekal tangannya.

"Biarin dulu, Mas. Biar dia tenang dulu," ujarnya yang sontak membuat Liam hanya bisa menghela napas lelah dan beralih pada Juna.

"Udah enakan? Masih ada yang sakit, gak?" tanya Liam posesif.

Juna tersenyum tipis dengan anggukan samar. "Lumayan." Satu kata yang mewakili segalanya. Lalu ia kembali berbaring.

Liam menghirup napas panjang. Menatap wajah sang adik yang kian mengecil. Hatinya menyesak ketika teringat perkataan dokter.

"Kondisinya menurun. Saya akan menambah dosis obatnya, tapi untuk penyakit ini, hal itu juga beresiko menimbulkan banyak efek samping. Sebaiknya kegiatannya dibatasi. Juna tak boleh kelelahan. Selagi menunggu antrian donor, kondisinya benar-benar harus dijaga."

Liam menggenggam tangan Juna. Hawa panas menyapa ketika kulitnya bersentuhan dengan milik adiknya. Jika boleh jujur, Liam ketakutan. Tak pernah terbayang bagaimana rasanya menjadi Arjuna. Setelah luka batin yang diterima anak itu, kini luka fisik pun tak bisa terelakan. Apa salah adiknya sampai harus menderita seperti ini?

Untuk Arjuna[✓]Where stories live. Discover now