35-Ambil Juna Aja, Ini Sakit!

Start from the beginning
                                    

Tunggu, ada yang kurang.

Arjuna?

Anak itu diam mematung. Masih dalam posisi duduk tahiyat akhir. Ia bergeming, menatap lurus ke arah sejadah yang sudah basah oleh air mata. Pandangannya kosong. Nyatanya luka itu kembali hadir mengundang lara. Juna yang baru sembuh atas luka di hatinya, kini harus merasakan sakit yang jauh lebih menyesakkan. Rupanya semesta tak membiarkan Arjuna benar-benar bahagia, sehari saja.

"A--aakhhh..." Rintihan itu terlontar dari mulut Juna dengan tangan yang meraba dadanya. Mulutnya sedikit terbuka dengan kening berkerut dalam. Seolah ada pisau berkarat yang menggoreskan luka pada jantungnya.

Juna menghirup napas dalam-dalam seraya memejam. Ia tertegun saat mendengar bisikan itu lagi. Suaranya begitu menenangkan.

"Juna... Papa bangga sama kamu. Kamu hebat, nak."

Perlahan, Juna membuka matanya. Mengukir senyum tipis di bibirnya yang kian memucat. Air mata masih gencar membasahi pipinya. Juna bisa melihat wajah tersenyum sang Papa di hadapannya. Tangannya terangkat, namun hanya udara hampa yang ia rasa. Papanya tak sungguh ada di sana.

Sedetik kemudian, beberapa orang berpakaian serba putih mulai berdatangan dengan tergesa-gesa. Juna melirik Papanya yang kini tengah ditangani oleh para dokter itu.

"Makasih, Pa.... Juna sayang sama Papa," gumam Juna pelan, senyum pahit semakin lebar ia lukiskan.

Berkali-kali Juna melihat tubuh Tyo mengejang ketika sebuah alat menyentuh permukaan dada Papanya. Di saat itu pula pandangannya mulai berbayang, sekuat tenaga Juna menahannya dengan harapan, garis itu kembali berirama, tak hanya lurus seperti itu. Namun nihil. Upaya dokter untuk mengembalikan sosok itu tak berjalan mulus. Dan saat mereka mulai mengumumkan waktu kematiannya, Juna melihat sang Mama jatuh tak sadarkan diri.

Hah.. Iri sekali rasanya. Juna juga ingin pingsan saja saat ini. Ia tak sanggup menahan hujaman luka yang kini mulai muncul ke permukaan. Hatinya sudah sangat hancur. Begitu pula tubuhnya. Sepertinya, otaknya mulai kelelahan untuk menghalau rangsangan rasa sakit itu. Kini semuanya mulai terasa menyiksa. Napas Juna mulai putus-putus dan tak beraturan.

Kenapa Ia masih sadar? Diam-diam, Juna memohon dalam hati.

"Ambil Juna aja, jangan Papa. Please... ini sakit banget... Juna gak kuat."

Sungguh, Juna sangat kesakitan. Dan berhasil, detik itu juga dengungan panjang terdengar dan semuanya menjadi gelap bagi Juna. Ia tak merasakan apapun lagi.

***

Tidak ada yang mengetahui jalan yang diukir semesta dalam kehidupan ini. Bahkan cenayang sekalipun, tak bisa menjamin apa yang diramalnya benar-benar akan terjadi. Oleh karena itu, sebagai manusia kita hanya bisa berusaha dan berserah diri kepada sang Pencipta alam. Bagaimanapun mantapnya manusia berencana, namun jika jalan yang dipilihkan Tuhan tak selaras, maka konsekuensinya adalah dengan menerimanya.

Menerima takdir yang sudah diukirkan jauh sebelum kita terlahir ke dunia ini.

Begitu pula bagi keluarga bahagia itu. Mau tidak mau, siap tak siap, kehilangan orang tercinta menjadi hal yang harus mereka dihadapi saat ini. Seakan tak cukup dengan berita bahwa salah satu dari mereka tengah berada di ambang kematian. Kini kematian itu sungguh tiba. Datang tanpa diundang, seolah mempermainkan rasa takut mereka.

Bagaimana pikiran mereka menerawang hal buruk yang mungkin terjadi tentang Arjuna. Namun yang menjadi kenyataan justru begitu menampar segala prasangka itu. Sosok panutan yang selama ini menjadi penopang. Sosok yang selalu kuat dan sehat. Justru pergi lebih dulu tanpa aba-aba. Meninggalkan berjuta... ah, tidak.. Bermilyar-milyar puing runtuhan jiwa mereka.

Untuk Arjuna[✓]Where stories live. Discover now