34-Maafin Papa, ya?

Comincia dall'inizio
                                    

"Papa... ini Juna, Pa. Papa kapan mau bangun? Juna kangen Papa."

Lagi-lagi, hanya suara konstan yang menyahut. Tyo masih bergeming. Juna mulai terisak, tak kuat lagi menahannya. Tak bisa lagi berpura-pura tegar. Juna menangis lirih. Sampai tiba-tiba ia merasakan pergerakan jemari Papanya. Sontak Juna mendekatkan wajahnya pada sang Papa.

"Pa? Papa?" panggil Juna penuh harap.

Kelopak mata Tyo bergerak sampai akhirnya bola mata hitam itu terlihat. Kelegaan menyapa hati Juna.

Tyo melirik ke arah anaknya. Ingin bersuara tapi tak mampu. Tenggorokannya sakit bukan main. Setetes embun jatuh dari sudut netra gelapnya.

"Alhamdulillah... Pa? Ini Juna, Juna di sini." Air mata haru semakin gencar mengeluarkan diri.

"Papa tunggu sebentar, Juna panggilin dokter dulu," ujar Juna dengan senyum kelegaan. Ia segera melesat keluar dan tergantikan dengan dokter yang memasuki ruangan itu.

Semua menangis haru saat dokter mengatakan bahwa kondisi Tyo sudah menunjukkan peningkatan. Ini bisa dibilang keajaiban. Karena dokter pikir kemungkinan sembuhnya sangat minim. Namun rencana Tuhan berkata lain. Kini Tyo sudah sadar. Bahkan sebentar lagi bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa.

🕊🕊🕊

Kini, keluarga Biantara tengah berkumpul di ruangan tempat Tyo dirawat inap. Kondisinya sudah stabil, meski tetap harus menggunakan nassal canula untuk memudahkannya menghirup oksigen. Tyo juga masih belum bisa berbicara banyak. Ia hanya tersenyum tipis, mengangguk dan menggeleng sebagai respon ketika diajak bicara.

Sedari tadi, tautan erat tak pernah lepas di antara Juna dan Tyo. Anak itu bahkan merasa lebih baik saat ini. Juna tak menghiraukan rasa sakit yang dirasakannya. Otaknya ia tekan agar mengacuhkan respon saraf rasa sakitnya. Sungguh, Juna bodoh sekali. Ia tak memikirkan jika mungkin sewaktu-waktu, tubuhnya akan memberontak secara serentak.

Hanya dengan bersama Papanya, Juna merasa sehat.

"Juna, kamu istirahat dulu, nak. Kamu belum bener-bener pulih."

Entah sudah berapa kali Hara memperingatkan anaknya itu. Tapi bukan Arjuna namanya jika tidak keras kepala.

"Juna gak pa-pa, Ma. Juna pengen di sini sama Papa." Selalu itu-itu saja yang Juna ucapkan sebagai penolakan. Membuat semua jengah pada akhirnya.

Juna terus mengulas senyum sembari menatap mata Papanya. Tyo pun sama. Ia menatap manik indah milik Juna dengan sayu. Senyum tipis ia tampilkan. Tangannya terangkat hendak menyentuh wajah Juna. Maka dengan senang hati, Juna tuntun agar Papanya tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk melakukannya. Tyo menangkup sebelah pipi Juna. Anak itu semakin melebarkan senyumnya.

"Papa tau nggak?" tanya Juna antusias.

Tyo melebarkan matanya, pertanda bahwa ia menunggu kelanjutan ucapan anaknya. Juna terkekeh. Membayangkannya saja sudah membuat Juna bahagia. Ia meraih sesuatu di saku piyama pasiennya. Menunjukkannya kepada Tyo.

"Pa, Juna dapet nilai delapan koma lima, Papa liat, deh!" pekik anak itu kegirangan, disusul tawa kecilnya.

Tyo melebarkan senyumannya.

"Delapan koma lima, Pa! Hebat kan, Juna?" Anak itu benar-benar terlihat bahagia.

Senyumannya menular kepada empat orang yang lain. Mereka bergeming menyaksikan interaksi anak dan ayah itu. Diam-diam hati mereka menghangat. Semoga kebahagiaan itu terpancar selamanya dari sosok Arjuna.

Tyo mengangguk samar dengan senyum lebar. "Papa bangga sama kamu, sayang," ucap Tyo dalam hati.

Untuk Arjuna[✓]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora