"Emang Papa salah ya, nanya begitu? Kalian gak sayang nih, sama Papa?" ucapnya merajuk. Dasar bapak-bapak tukang pundung.

"Via sayang Papa!" pekik si bungsu yang sontak membuat Tyo tersenyum lebar, sumringah.

Tyo merentangkan tangannya. "Sini Via!" ujarnya mengisyaratkan putri kecilnya untuk memeluknya.

"Tapi Via lebih sayang Kak Juna!" tambah anak itu sembari beringsut memeluk Kakak kesayangannya. Entah jujur atau tidak. Tapi anak itu sungguh tak menghiraukan wajah masam Papanya.

Sontak dua anak tertua semakin terbahak-bahak. Baru kali ini melihat ekspresi nelangsa sang Papa. Aura intimidasinya lenyap begitu saja. Hara juga sama. Wanita itu malah ikut menertawakan sang suami. Semoga saja mereka tidak termasuk anak dan istri durhaka.

"Ah... Papa ngambek, ah!" rajuk Tyo bersidekap dada. Bibirnya mengerucut.

Juna ingin sekali menertawai Papanya. Tapi ia tak tega. Akhirnya ia melepas pelukan Via dan bangkit mendekat pada sang Papa. Juna memeluk Tyo tanpa berucap apapun. Yang lain sontak meredakan tawanya. Apalagi saat melihat pundak Juna yang bergetar. Tyo tertegun, terpaku saat suara Juna mampu menggetarkan hatinya. Tangannya membalas pelukan itu, mengusap punggung sang anak.

"Pa.. makasih udah jadi Papanya Juna. Juna sayang Papa," bisiknya dengan menahan sesak di hatinya.

Hening tercipta. Hanya isakan kecil dari bibir Juna yang mengisi sepi. Tyo mulai berkaca-kaca. Kata-kata Juna mampu merobohkan ego yang selama ini selalu menguasai. Menghadirkan lagi sesak yang susah payah ia redam.

Sampai beberapa lama setelahnya, Juna melepas pelukannya. Menghapus air mata di wajahnya dan menghirup ingus yang tiba-tiba mengintip di ujung hidung bangirnya. Suara bersitan itu mengudara sebelum suara Via mendominasi.

"Via-nya gak dipeluk Kakak. Malah ke Papa. Hih sebel!" Kini giliran Via yang merajuk. Ia sebal karena tadi Juna tak membalas pelukannya dan justru beralih menuju Papanya.

Juna dan Tyo yang tadinya terhanyut akan haru, terkekeh oleh suara merajuk Via. Juna segera melesat pada adiknya itu dan mengangkat tubuh mungil Via. Juna menggendong peri kecilnya sambil berputar beberapa kali.

"Maaf ya sayang, ini udah Kakak peluk nih.. jangan ngambek lagi." Juna menguyel-uyel pipi si peri kecil dengan gemasnya. Lebih tepatnya ia geregetan.

Via nyengir untuk kemudian memeluk leher Juna. Yang lain juga terkekeh melihatnya. Suasana pagi itu berlangsung hangat dan ceria.

🕊🕊🕊

"Wiii.... Bro! Kemane aje, lu?"

Baru saja Juna memasuki kelasnya, suara lantang Cakra yang hanya basa-basi, membuat semua orang di sana serempak menoleh. Menatap dirinya yang terpaku di ambang pintu. Juna mendesah untuk kemudian tersenyum lebar kala teman-temannya bertanya ini itu perihal ketidakhadirannya selama empat hari ini.

"Jun, lo udah sehat?"

"Welcome back, Arjuna!"

"Jun, lo makin ganteng aja, ih!"

"Akhirnya Juna sekolah lagiii!"

"Ih... si moodbooster gue comeback!"

"Junaaaa gue kangen!"

Suara-suara itu menjadi bukti bahwa hadirnya begitu berpengaruh bagi kedamaian sekaligus kericuhan suasana kelasnya. Begitu banyak yang merindukan sosok tampan nan pecicilan itu.

"Arjuna oke gais! Tenang tenang!" katanya mencoba meredam antusiasme teman-temannya.
"Hey, gue emang ganteng, ya!" tunjuk Juna pada siswi yang memujinya tadi.
"Tengkyu epribadiii!" ucap Juna pongah sembari melangkahkan kakinya menuju bangku yang ia rindukan.

Untuk Arjuna[✓]Where stories live. Discover now