22-Berusaha Menerima Takdir

Magsimula sa umpisa
                                    

Terlebih saat mendengar berita pahit itu. Mereka sadar bahwa penyakit itu bisa mengancam nyawa Juna kapan saja. Mengapa harus Arjuna? Sungguh, semesta sangat sulit ditebak.

"Juna gak akan kenapa-napa, kan?"

Hara dan Liam berusaha sekuat tenaga untuk tak memaki takdir. Pertanyaan polos yang terlontar dari mulut Ali, mampu membawa ketakutan akan kehilangan yang semakin dalam menerobos pertahanan mereka.

Sontak Hara segera merengkuh anak keduanya itu dengan tangis yang semakin pecah. Ali menyadari bahwa kemungkinan kehilangan semakin nyata. Ia ikut menangis dalam dekap sang Mama.

🕊🕊🕊

"Mama?"

Hara yang sedang menyiapkan bubur segera menghentikan kegiatannya dan memberikan atensi sepenuhnya pada sang anak.

"Juna kapan bisa pulang?" tanya Juna enteng. Anak itu duduk bersila di atas ranjang pesakitan.

Hara menghela napas pelan. Kondisi Juna memang sudah jauh lebih baik dari hari ke hari. Bahkan anak itu sudah bisa berlari ke toilet saat merasakan gejolak tak asing di perutnya. Saat Juna ingin buang air besar.

"Nanti, kalo kata dokter udah boleh," jawab Hara lembut tapi tegas.

Sontak bahu Juna turun seketika. Ia mengerucutkan bibirnya dengan tangan yang memainkan ujung selimut. Juna mendesah seraya mengedarkan pandangan ke segala arah.

"Bete banget, ih! Juna gak suka rumah sakit," rengeknya mendesah jengah.

Lantas Hara menyentil pelan kening anaknya. "Makanya cepet sehat! Biar gak perlu ke rumah sakit," ucapnya dengan senyuman hangat.

Juna mengusap keningnya. Tak sakit. Juna hanya mendramatisir saja. "Papa mana, Ma?"

Juna tak menangkap presensi sang Papa sejak tiga jam yang lalu. Ini sudah siang, Juna mengerti jika saudaranya tak datang, mereka pasti sedang bersekolah. Tapi Papanya? Tyo kan pemilik perusahaan, alangkah baiknya jika Papanya menemani Juna saat ini dan tak perlu bekerja. Toh, ada sekretarisnya, kan?

"Papa sebentar lagi nyampe, lagi di jalan katanya. Tadi tiba-tiba ada masalah di kantor, jadi agak telat datengnya." Hara menyendokan buburnya dan hendak menyuapi Juna. "Aaa."

Juna segera membuka mulutnya. Ia harus memaksakan dirinya untuk makan agar bisa meminum obat. Juna ingin segera sembuh. Walau rasanya hambar dan justru terasa pahit, Juna tetap mengunyah bubur itu dan menelannya susah payah. Juna mengulas senyum lebar setiap berhasil meluncurkan hasil kunyahannya sampai ke perut.

Hara ikut tersenyum. Ia bersyukur melihat bagaimana anaknya tak banyak membantah dan begitu mengusahakan kesembuhannya. Namun jauh di dalam hatinya, Hara menangis. Teringat bagaimana raut kekecewaan dan ketakutan yang bercampur dari sorot mata sang anak saat diberi tahu perihal sakit yang di deritanya.

"Juna, kamu jangan takut ya, sayang. Mama sama Papa bakal lakuin apa aja biar Juna sembuh." Hara mewanti anaknya saat dokter hendak memberitahu diagnosisnya. Hara menggenggam erat tangan Juna.

Sedangkan Tyo berdiri di seberang Hara. Juna berada di tengah-tengah kedua orang tuanya. Tangan Juna yang tertancap selang infuspun, Tyo genggam erat. Berusaha menyalurkan kekuatan.

Untuk Arjuna[✓]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon