Bab 3 : Forty Two

476 68 5
                                    

Julian sedang menyapu daun-daun kering di halaman depan saat Pak Satpam penjaga rumahnya mendekat; memberitahukan jika ada beberapa orang yang datang kini.

Dan saat membuka gerbang kecil di samping, ia akhirnya tahu siapa orang-orang yang dimaksudkan tadi.

"Assalamualaikum," salam empat remaja dengan serempak sambil sedikit membungkukkan badan.

"Waalaikumsalam," jawab Julian, ala kadarnya.

"Lino-nya ada, Kak?" tanya si cantik dengan blouse hijau pastel, mewakili ketiga teman-temannya. Sedangkan sisanya nampak diam dan menunggu jawaban dengan menenteng beberapa keresek di tangan mereka.

"Ada perlu apa cari Lino?" tanya yang tua, terdengar datar dan dingin dari nadanya.

Para remaja itu nampak saling melempar pandangan sesaat, sebelum si gondrong yang berdiri di belakang si cantik tadi menjawab, "anu, kita cuma pengen ketemu aja sama Lino," katanya memberikan alasan. "Boleh, Kak?" tanyanya.

Julian tak lekas menjawab, ia melirik sekilas ke lantai dua rumah; seolah mencari keberadaan si tengah dari salah satu balkon di sana. Tapi setelah itu wajahnya kembali menghadap kepada empat bocah di hadapannya.

"Hhhh ... Lino lagi sakit sebenarnya," ucap Julian pelan, "kalau kalian mau ketemu, tolong buat enggak terlalu mengganggunya. Bisa?" tambahnya kemudian, dan anggukan serempak dari keempatnya pun menjadi jawaban serta ikrar tak terucap yang Julian dapatkan.

Dan jika sudah begini mau tak mau si sulung pun akhirnya mengijinkan mereka untuk masuk ke dalam rumah—walaupun dari pintu belakang.

Sesampainya di depan pintu kamar Lino, Julian meminta keempatnya untuk menunggu sebentar di sana, sedangkan ia segera masuk dan memberitahukan pada si empunya ruangan perihal kedatangan teman-temannya.

Sembari mengecek suhu di kening adiknya itu, Julian berbisik pelan di sisi telinga Lino; berusaha membangunkan tidurnya dengan perlahan.

"No ... bangun, ada temen kamu pada dateng."

Sepertinya berhasil, karena saat itu ia melihat bulu mata Lino bergerak kecil diikuti lenguhan pelan seperti merintih dari tidurnya. Dan tak lama kemudian pernik sekelam jelaga kembar itu terbuka dengan tatapannya yang sayu.

"Temen kamu pada dateng," ulanginya.

"Di mana?" tanya Lino pelan dengan suara serak.

"Lagi pada nungguin di depan pintu. Katanya pengen ketemu sama kamu," papar si sulung.

Ada anggukan pelan yang Julian terima; sebagai tanda jika Lino membolehkan teman-temannya masuk bertemu dengannya. Hingga tanpa menunggu lebih lama, si kakak pun segera beranjak mendekati pintu dan mempersilahkan keempatnya untuk masuk. Sedangkan ia sendiri lantas pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.

"Astaga! Lino!" pekik Cassie; adalah hal pertama yang Lino dapatkan manakala berusaha bangun dari tempat tidurnya.

Sebisa mungkin ia tersenyum, berharap jika dengan hal itu temannya takkan tahu serapuh apa dirinya saat ini, berharap jika itu bisa menutupi rasa sakitnya sendiri. Walaupun sebenarnya sia-sia, karena keempatnya tentu tahu jika ia tak sedang baik-baik saja.

Memangnya apa yang bisa dibilang baik dari wajah penuh lebam, babak belur penuh warna keunguan dan juga goresan lecet sana-sini? Belum lagi segumpal perban yang masih menempel pelipis kanan tepat di belakang telinganya itu, tentu saja mereka bisa melihatnya.

"Haris?" panggilnya pelan saat samar-samar melihat ada yang duduk di tepi ranjangnya.

"Ini Abin, No," jawab si sosok yang ternyata bukanlah Haris itu.

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now