Bab 4 : Seventy Six

742 85 8
                                    

Wajah itu pucat dengan kantung mata hitam pekat. Sejak kepulangannya dari Rumah Sakit kemarin, ia tak juga mau berbicara sepatah kata pun. Tidak pada Julian, tidak pula pada Mila. Apalagi pada Kenan.

Sorot mata remaja manis yang semula selalu terlihat teduh, lembut, dan penurut seketika sirna. Berganti menjadi sosok pendiam, dingin, dan pemurung.

Tak hanya sekali—dua kali sang kakak menemukannya tengah menangis sendirian di tengah malam, memeluk dirinya di balkon sembari memandang ke angkasa luas seolah bertanya pada sang rembulan; apakah aku bisa bertemu lagi dengannya? Apakah aku bisa berbicara lagi dengannya?

Sama seperti malam ini, saat Julian diam-diam mengintip di celah pintu kamar yang tak tertutup rapat, ia kembali menemukan si adik tengah melamun sendirian.

"Aku ingin tidur, tapi susah sekali," gumamnya pelan saat sadar bila sang kakak datang mendekatinya.

"Memimpikannya lagi?" tanya yang dewasa, namun sayang jawaban yang ia terima justru hanya sebuah gelengan kepala.

"Ada apa?"

Si bungsu menoleh dan menyahuti pelan, "apa Kak Ino di sana membenciku?" Alih-alih menjawab, ia justru melemparkan pertanyaan yang sungguh mengejutkan. Tubuhnya bergeser sedikit, dan tangan kecilnya meraih sesuatu dari kolong pembaringan.

Sebuah kardus dengan banyak sekali barang di dalamnya. Julian membelalak sesaat melihat semuanya, terutama pada mayat sebuah gitar yang hancur di antara banyaknya benda lain.

"Aku menemukan ini di kamar Kak Ino kemarin malam," katanya. Suara itu terdengar gemetar lagi serak, setetes air mata pun ikut jatuh saat jemarinya mengambil sebuah pigura putih di sana.

"Aku yang membuatnya pergi," lirih yang muda lagi. "Sedari dulu, aku selalu membuatnya kehilangan apa yang diinginkannya."

Sekelebat bayang-bayang mendadak melintas dalam ingatan si bungsu. Teringat kembali akan masa-masa silam tentang hidup mendiang sang kakak yang dirasa begitu pahit dan getir.

"Kenapa kamu bilang begitu?"

"Kak Juy inget? Kak Ino dulu dicambuk sama Papa di dalam gudang gara-gara aku. Aku yang ngasih tau ke Papa kalau dia ikut jadi penari waktu ada acara di Balai Kota," ungkapnya. "Kakak juga inget 'kan? Kak Ino dipukul habis-habisan, dilempar pake vas kaca sama Papa sampe pingsan karena ditudug nyuri jam tangan. Padahal aku yang ngelakuin itu dulu."

Julian perlahan mulai merasa sesak di dada, lantaran wajah mendiang Lino kembali berkelebat dalam pandangannya. Lebih lagi saat ini Felix justru membangkit semua cerita kelam dari hidup adiknya itu dengan cucuran air mata.

"Sekarang Kak Ino pergi juga karena aku. Aku yang udah bikin dia meninggal."

"Bukan, Felix."

"Kalau aja waktu itu aku gak lari ke tengah jalan cuma buat ngambil apel yang jatuh, Kak Ino gak akan ketabrak mobil. Kalau aja ak—"

Grep!

"Cukup!" Julian memotong ucapan itu dengan menarik tubuhnya ke dalam pelukan, dan membiarkan si bungsu menangis tersedu-sedu di sana, di dadanya yang bidang.

"Aku yang bawa sial!" teriak Felix di tengah suara isak tangisnya. "Aku yang bawa sial di rumah ini karena semua yang terjadi adalah salahku! Tapi kenapa selalu Kak Ino yang dijadikan korbannya!"

"Enggak!" bantah Julian kencang.

"Aku yang udah bunuh Kak Ino! Aku ngebunuh dia dan mengambil jantungnya! Aku pembunuh!" tangisnya meraung-raung dalam kegelapan.

"Cukup, Felix!"

Tubuh kurus itu berusaha memberontak dari pelukan, tapi berkali-kali juga ia mencoba selalu saja gagal; lantaran pelukan Julian lebih kuat daripada tenaganya.

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now