Bab 1 : One

1.3K 170 15
                                    

Ddrrrsss ...

Ddrrrsss ...

Derai air langit masih mengguyur bumi dengan deras, angin bertiup kencang, daun-daun di pohon berguguran, ranting kering saling bergesekan, dan derap kaki lari anak kecil ikut mengiringi suara-suara alam di sekitarnya.

Tak peduli dengan suara gemuruh guntur yang menggelegar, tak peduli dengan sinar terang dari kilat petir yang sesekali menyambar di atasnya, bocah berusia delapan tahun itu terus berlari dengan wajah ceria, padahal sudah sekujur tubuhnya basah kuyup karena kehujanan.

"Kakaaaakkk ..." teriaknya panjang, membuat seorang anak lain yang tengah duduk di depan sebuah toko permen menoleh, dan seketika itu juga membelalakkan matanya. "Aku menaaaanggg..." teriaknya lagi.

"Ya ampun! Kamu kok hujan-hujanan!?" pekik yang lebih tua mana kala sosok adiknya itu telah berdiri di depannya dengan napas terengah-engah.

"Sepatu kamu mana? Kok nyeker gitu kayak ayam?" tanya kakaknya kemudian.

"Ha? Oh, sepatuku ada di sini," jawab si adik sembari memutar tubuh; menunjukan ransel merah berbentuk mobil yang masih bergelayut di bahunya. "Aku masukin biar gak kebasahan," kelakarnya kemudian sembari terkekeh kecil.

"Dasar."

Rambut gelap hitam itu turun menutupi seluruh kening dan nyaris mengenai matanya yang bulat. Wajah mungil nan lucu itupun nampak memucat, namun senyum yang terkembang tak luntur walau hujan terus mengguyurnya.

"Aku menang!" ulangi adiknya.

"Sini," si kakak segera menarik lengan adiknya agar berlindung di bawah payung yang tengah ia pakai. "Kamu tuh bandel banget, Bunda 'kan gak ngebolehin kita mandi hujan," cercanya.

"Gak pa-pa kok, Bunda gak akan marah," sangkal si adik, masih mempertahankan kurva indah di bibir mungil itu. "Aku menang, ih! Kakak gak denger, ya?" ulanginya sekali lagi, namun kali ini disertai gerutu dan bibir dimanyunkan.

"Iya aku denger kok," sahut yang tua sembari terus mengiringi langkah kaki mungil adiknya, menyusuri jalan menuju rumah mereka yang berada dua blok di depan sana.

Tapi belum jauh berjalan mendadak langkah si adik berhenti, tangan kanannya menengadah dan ia pun berkata, "Terus mana hadiahnya? Katanya kalo aku menang lomba gambar hari ini, Kak Juy mau ngasih aku hadiah," tuntutnya menagih janji.

"Ya ampun, Lino. Pulang ke rumah aja belum sampe, udah nagih hadiah segala," omel yang tua seketika.

Lagi, bibir mungil itu nampak dimanyunkan kembali seperti tadi. Dan tangan yang menengadah pun segera diturunkan ke sisi tubuhnya.

"Iya deh," katanya kemudian dengan nada yang kecewa.

Ah, hampir lupa. Dua anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar ini bernama Julian Ginandra dan Dzalino Ginandra.

Julian, atau yang akrab dipanggil Juy-si sulung-ini lahir tiga tahun lebih tua dari Lino. Ia juga sudah duduk di kelas 5, sementara adiknya masih di kelas 2. Dan selain si bawel yang senang main hujan-hujanan ini, masih ada satu lagi adik Julian yang lain, yakni; Felixeo Ginandra, atau Felix panggilannya. Usianya baru menginjak 5 tahun, dan masih duduk di kursi Taman Kanak-kanak. Walau demikian ketiganya amat akur dan saling sayang antara satu sama lain.

Seperti saat ini, Julian bahkan tak ragu membiarkan setengah bahunya basah hanya karena harus berbagi payung dengan Lino, yang padahal di dalam ransel merahnya sudah tersedia jas hujan miliknya sendiri; namun enggan dipakai.

"Yuk," ajak kakaknya sembari mengaitkan tangan ke bahu ringkih adiknya, membawanya kembali berjalan menuju rumah.

"Menurut Kakak, apa nanti Papa bakalan seneng kalo tahu aku menang lomba menggambar?" tanya Lino di sela-sela suara riuhnya rintik hujan.

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now