Bab 3 : Thirty Four

546 78 11
                                    

Sinar cerah itu menelusup dari sela-sela tirai putih yang berkibar dibelai mesra sang angin. Membawa kembali kesadaran yang sempat menghilang dari sosok di atas kasur, membuat alisnya tertaut sesaat sebelum kelopak berbulu mata lentik itu bergerak perlahan.

Tak seluruhnya terbuka dengan jelas, bagian sebelah kiri hanya bisa separuhnya saja karena kelopaknya membengkak; bekas kena hantam tinju sang ayah. Begitu juga senasib dengan sudut bibirnya yang pecah. Atau lebam di pipi. Atau lecet di dahi dan dagunya. Tak ada beda, semua luka bekas pukulan semalam benar-benar menyisakan bengkak serta rasa sakit yang luar biasa.

Perlahan lengan itupun terangkat; memperlihatkan segumpal perban yang membalut telapak kanannya.

Suara merintih sakit seketika terdengar manakala ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur dan duduk di tepian. Melamun di sana.

Jelaga indah itu memandang kosong langit biru dari balik kaca jendela kamarnya. Hamparan awan putih tipis ikut mengarak terbang burung-burung kecil yang sebagian akan bertengger di kabel listrik. Tidak ada yang aneh, setiap hari memang demikian adanya.

Dan diam-diam Lino berharap; andai saja ia dilahirkan menjadi seekor merpati, ia mungkin takkan duduk melamun di dalam kamarnya saat ini. Ia mungkin sedang terbang mengudara dengan teman sesama burung lainnya. Atau ia mungkin sedang bertengger di kabel listrik; berayun ringan di sana sembari bernyanyi riang gembira. Atau mungkin tengah duduk di dahan pohon yang rindang; membuat sarang dari ranting dengan burung betina yang menjadi pasangannya. Atau mungkin ... tidak semuanya.

"Hhhh ..." napas panjang itu sudah dihembuskannya lebih dari tiga kali hari ini. Sedang di atas meja belajarnya ada setumpuk tugas sekolah yang terus menertawakannya; lataran belum juga ia sentuh sejak semalam.

Ah, tentu saja Lino belum menyentuhnya, sebab semalaman penuh hanya ia habiskan dengan terisak di balik selimut; meringis perih dan mati-matian menahan tangis lantaran benda sekaligus impiannya kini telah hancur remuk.

Kembali terputar dalam kepalanya; hal terakhir yang ia ingat sebelum ia pingsan setelah pukulan telak yang diberikan sang ayah ke wajah, serta tendangan kuat di perutnya. Menyakitkan sekali. Ucapan saat makan malam tempo hari dan semalam yang terus bertumpang tindih berulang kali.

Kau hanya membuang-buang waktumu dengan melakukan semua itu. Kenapa kau tidak bisa seperti kakakmu!? Dia pintar, dan bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Atau adikmu? Dia lebih muda darimu, tapi lebih bisa diandalkan! Apa kamu gak malu?! Kau seharusnya menjadi contoh yang baik untuknya, Lino! Bukan sebaliknya!

Benar, Julian adalah anak yang sempurna. Dia pintar, penurut dan segala hal baik ada padanya. Begitu juga dengan si bungsu; Felix. Anak itu sudah seperti matahari di rumah ini.

Lantas Lino sendiri? Entahlah, rasanya kehadirannya memang tak berguna sama sekali, bahkan tak lebih baik daripada seonggok sampah.

"KARENA SEMUANYA MEMANG SALAHMU! SALAHMU LAHIR KE DUNIA INI! DAN SALAHMU JUGA SYANA MENINGGAL! SALAHMU DATANG KE HIDUPKU, SALAHMU JUGA SEMUA BAHAGIAKU MENGHILANG! SEMUA KARENA SALAHMU!"

Mata itu terpejam erat manakala benaknya berusaha menampik ucapan sang ayah yang kian berputar terus menerus dalam rungu. Namun seberapa kuat ia membantah pun tetaplah sama hasilnya. Ucapan Kenan memang benar, dan ironisnya Lino mengakui itu.

"ANAK PEMBAWA SIAL!"

Hembusan napas lelahnya kembali terlontar, kali ini disertai setetes air mata yang mengalir lembut ke pipinya, walau pada detik berikutnya segera ia hapus lagi.

Cklek!

Mendadak pintu kamar itu terbuka dan Julian muncul dari baliknya, berjalan mendekat lalu berdiri di sisi ranjang tempat adiknya duduk kini.

"Ino," panggilnya pelan, tapi si tengah tak menggubris sama sekali. Tatapannya masih terus mengarah ke langit biru di luar sana. "Aku sudah mendengar semuanya," kata si kakak kemudian.

Julian tentu takkan menanyakan apakah adiknya itu baik-baik saja atau tidak, karena tentunya ia pun tahu bila keadaannya takkan bisa disebut demikian.

"No ... maaf."

Ucapannya kali ini berhasil membuat atensinya di sana dilirik oleh si adik; walaupun tak jua mau mengeluarkan sedikitpun suara.

"Maaf aku gak ada di sana semalam, aku gak tau kalau Papa bakal ngelakuin itu lagi padamu," tuturnya, terdengar pelan dan sarat akan rasa penyesalan.

Lino masih tak menjawab, ia hanya diam memandang wajah kakaknya dengan netra berkaca-kaca. Tapi selang sedetik kemudian tetesan air mata itu kembali jatuh di pipi seputih pualamnya.

"Aku gak mencuri," cicitnya pelan serta parau, dan bersamaan dengan suaranya yang terdengar, semakin banyak pula air matanya yang berjatuhan. "Aku gak mencuri," ulanginya lagi.

Julian bisa melihat bahu ringkih adiknya yang nampak tegang, jemari tangannya yang saling mengepal di sisi tubuh, serta gemetar dari bola mata yang mengatakan bila ia tengah mati-matian menahan tangisnya.

Ia bisa melihat dengan jelas semuanya.

"Aku tahu," namun pada akhirnya hanya kata itu yang dikatakan oleh si kakak sebagai jawaban. "Bunda mengatakan semuanya padaku," tambahnya.

Lantas tubuh tinggi nan tegap si sulung nampak mengambil tempat di sisi tubuh adiknya. Ia memandang lekat sisi wajah manis si tengah yang saat ini terlihat kacau; lebam memerah di pipi, sudut bibir yang terluka, lecet pada pepisnya dan sebelah mata yang membengkak karena dihantam benda tumpul.

Ironis, bukan hanya di sana saja hal serupa didapati Julian dari Lino. Tapi di beberapa tempat lain seperti lengan, juga kaki. Pun tak menampik akan ada serta di balik baju yang dikenakannya.

Tapi dibanding itu, gumpalan perban yang membalut belakang telinga kanan juga telapak tangannya adalah yang paling menyita perhatian si sulung. Luka jahitan bekas pecahan vas bunga yang didapatkan si adik semalam; masih nampak mengeluarkan rona merah kecoklatan dari balik kain kassanya.

"Bukan aku yang mencurinya," kalimat itu terulang lagi.

Kali ini tangisan pilunya pun lolos serta dari bibirnya, yang sedetik kemudian disambut pelukan erat dari sang kakak; berusaha mengobati luka di hati saudaranya, walau nyatanya ia juga ikut tersakiti saat ini lantaran tak bisa melakukan apa-apa untuk sekedar menolong. Semua sudah terjadi.

"Aku gak mencurinya, Kak."

Namun andai saja keduanya tahu jika dari balik kusen pintu ada si bungsu yang diam-diam mengintip. Pula ikut menitikkan air mata ke pipi berbintik cantiknya mana kala ada gumaman kalimat lirih yang ia ucapkan, "Kakak, maafin aku."





























Song title : Untuk Hati Yang Terluka —Isyana Sarasvati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Song title : Untuk Hati Yang Terluka —Isyana Sarasvati.

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now