Bab 3 : Forty One

503 74 5
                                    

Ramai. Adalah satu kata paling tepat untuk mendeskripsikan keadaan apa yang dilihat kini.

Sebuah panggung besar nampak berdiri megah di tengah lapangan yang berada dalam kawasan Asrama Tentara, salah satu lapangan terluas selain yang ada di dekat Balai Kota.

Event musik yang sejak berbulan-bulan lalu mereka bicarakan kini akhirnya digelar pada sore hari yang cerah, dan dihadiri dengan banyaknya kalangan, terutama para muda-mudi.

"Nomornya gak aktif dari dua hari lalu," gumam Cassie sembari terus menekan-nekan ikon hijau di layar ponselnya; berusaha menghubungi seseorang.

"Gimana nih? Masa rhytem kita gak ada?" tanya Jijie pada Abin dan Haris yang berdiri di dekat mereka.

"Kemana sih tu anak!? Bagian dibutuhin gak nongol!" gerutu Haris yang malah dirasa memperburuk keadaan.

Keempatnya sejak tadi nampak ketar-ketir lantaran member mereka tak lengkap, sedangkan giliran tampil hanya tinggal hitungan menit saja.

Cassie mendekap case violinnya erat, merapal doa dalam hati semoga Lino datang tepat waktu bak mukjizat. Tapi saat itu juga salah satu dari mereka; Haris mendadak menyeletuk tajam yang membuat kawan-kawannya menghujamkan tatapan tajam.

"Kan udah gue bilang dari awal kalo cari orang lain aja! Ngapain ngajak si Lino!? Dia kan gak bisa main gitar!"

Abin menoleh dengan pandangan nyalang dan lantas menjawab, "lo punya otak gak sih kalo ngomong? Ide awal mula band ini ada aja karna dia! Gak salah dong gue sama Jijie ngerekomen dia lebih dulu ketimbang ngajak orang lain dari luar buat gabung!?"

"Ya terus mana anaknya? Udah tinggal bentar lagi, jangankan dateng bisa dihubungin juga enggak!" balas Haris tak kalah lantang.

"Sabar dikit ngapa sih? Mungkin dia lagi di jalan sekarang!"

"Eh, kok jadi malah ribut sih? Tunggu aja sebentar lagi, mungkin Lino emang lagi di jalan dan telat dikit aja."

"Cassie gak usah ikut ngebelain!"

"Aku bukan mau bela, Ris! Tapi kamu nyadar gak sih kalo kita tuh lagi di tempat umum?! Kamu gak malu apa diliatin banyak orang?!"

"Sob, udah, udah! Jangan malah ribut gini!" Jijie yang awalnya hanya diam memerhatikan akhirnya mau tak mau ikut menengahi ketiganya. "Lagian masih ada waktu buat nunggu, mungkin yang Abin sama Cassie bilang bener; Lino lagi di jalan sekarang ini," tambahnya.

Ketiga kawannya itu hanya bisa diam pada akhirnya, kembali menunggu salah satu member dari band mereka dengan harapan semoga yang tadi terucapkan memang bukanlah bualan. Dengan harapan semoga Lino segera sampai di sana tepat waktu.

Tapi sayang.

Lima menit, sepuluh, lima belas, bahkan hingga akhirnya mereka telah dipanggil dan bersiap untuk naik ke panggung, Lino tak kunjung datang. Hingga mau tak mau band itu tampil dengan member tak lengkap.

"Gimana nih?" tanya Abin saat mobil yang ia kendarai menepi di pinggir jalan, di depan sebuah rumah mewah dengan gerbang terbuat dari kayu jati berdinding tinggi

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

"Gimana nih?" tanya Abin saat mobil yang ia kendarai menepi di pinggir jalan, di depan sebuah rumah mewah dengan gerbang terbuat dari kayu jati berdinding tinggi.

"Udah malem, besok aja," jawab Cassie dari kursi penumpang.

"Gak bisa! Kita harus samperin dia sekarang! Enak aja dia gak dateng tadi!" pekik Haris di sebelahnya.

"Lu bisa gak sih gak pake emosi mulu!? Heran gue!" itu Jijie yang menyahuti dengan sarkas dari kursi depan.

"Udah! Udah! Ribut mulu!" Abin menggeram kesal, lantas ia melirik arloji di lengan kirinya dan melihat jika jam sudah menunjukan pukul 23.45 malam. Terlalu larut jika harus datang menamu saat ini, bukan? Pikirnya.

Mendadak Jijie membuka pintu dan lantas pergi keluar, membuat Abin memekik lantaran kaget, "heh! Lu mau kemana?!"

Tapi pertanyaan si kawan tak dipedulikan sama sekali, dan remaja itu terus melangkah mendekati sebuah pos kecil di sisi gerbang. Entah apa yang dilakukannya, namun sekitar lima menit kemudian ia kembali masuk ke dalam mobil.

"Ngapain lu?" cecar Haris.

"Gue tanya satpamnya dulu," katanya.

"Nanya apaan, Jie?" itu Cassie yang ikut bertanya lantaran penasaran.

"Nanyain, Lino ada di dalam apa enggak."

"Terus?" Abin ikut bersuara.

"Ada sih, tapi ...."

"Tapi? Tapi kenapa?"

"Sabar napa sih, Ris!"

"Ya 'kan gue kepo, Bin!"

"Duh, berisik banget kalian tuh, diem dulu bentar kenapa sih, Jijie kan belum lanjutin! Hayo, Jie! Lanjut!"

"Yeee ..." baik Haris maupun Abin seketika berseru lantaran Cassie justru membawel sendiri.

Jijie terkekeh pelan, namun hanya sekian detik saja sebelum wajahnya berubah serius, dan ia menjawab, "kata satpamnya, Lino ada tapi lagi sakit."

"SAKIT APA!?" tanya ketiganya serempak, membuat Jijie refleks melonjak karena kaget.

"Mana gue tau! Emang gue emaknya! Lagian satpamnya juga gak mau jawab pas gue tanya begitu, terus malah nyuruh gue pulang pas gue nanya boleh masuk apa kagak!" papar Jijie penuh luapan emosi.

Dari balik kaca mobil itu, Haris diam-diam melirik ke arah balkon salah satu kamar di lantai dua rumah tersebut. Balkon kamar Lino lebih jelasnya, dan ia melihat jika lampunya gelap gulita; menandakan jika si empunya mungkin sudah tertidur saat ini. Berbeda dengan balkon sebelahnya yang terlihat terang benderang.

Mendadak ia merasa sedih dan sedikit bersalah karena sudah menundingnya yang tidak-tidak; mengatakan jika Lino tak serius di dalam band mereka, dan menjadikannya alasan kekalahan yang didapatkan band kecil itu pada event musik sore tadi.

Lagi, sebagai salah satu sahabat yang paling dekat dan mengenalnya sejak lama, Haris juga merasa kalau ia kini jauh berubah dari yang Lino kenal dulu. Berbeda dengan sahabatnya itu yang tak pernah menunjukan sikap atau sifat lain selama pertemanan mereka; Lino tetap sama seperti yang Haris ingat. Pendiam, tak banyak bicara, selalu mengalah dan juga penyendiri. Mungkin sekarang sedikit meningkat karena ia juga tahu jika Lino diam-diam mulai menaruh perasaan pada lawan jenisnya.

Walau getir saat diingat kembali bila gadis yang Lino sukai adalah kekasihnya sendiri.

"Ya udah, besok aja datengnya," gumamnya pelan. Berusaha mengusir semua rasa dan lamunan yang sempat mendera dirinya.

Tak ada yang membantah saat itu, ketiga kawan lainnya hanya mengangguk mengiyakan sebelum deru kendaraan roda empat tersebut kembali menyala dan melaju lagi, membelah jalanan yang mulai sepi.

Namun andai saja keempatnya tahu jika di balkon yang terang benderang itu, seseorang nampak berdiri di sana, diam memerhatikan mobil mereka pergi menjauh dengan perasaan bimbang.

"Apa yang harus kukatakan jika mereka menanyakan keadaanmu saat ini, No?" lirihnya.





























"Apa yang harus kukatakan jika mereka menanyakan keadaanmu saat ini, No?" lirihnya

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Song title : Dear God —Avenged Sevenfold

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Onde histórias criam vida. Descubra agora