Bab 4 : Fifty

578 84 13
                                    

Tatapan mata kosong itu terus mengarah ke bawah, memandang sepasang kaki mungil dengan kulit bersih yang menjuntai lemah dari atas tempat tidur. Pikirannya melayang, entah ke mana saat ini, sampai suara pintu yang terbuka seketika membuat atensinya teralihkan sesaat.

Ia menoleh, namun sedetik kemudian terperanjat dengan apa yang dilihatnya.

"Lino," panggil sosok yang berdiri di ambang pintu dengan nampan di tangannya itu. Ia berjalan mendekat, menaruh apa yang dibawanya sebelum berjongkok, menekuk lututnya di lantai tepat di depan sosok yang ia sebutkan namanya tadi.

Tangan besar si kakak tergapai, menggenggam jemari mungil yang lebih muda dan mengusapnya dengan lembut.

"Kamu gak sayang sama aku lagi, ya?" tanyanya sembari menautkan tatapan sedih pada sepasang jelaga hitam penuh luka di depannya.

Lino tak menjawab. Sama seperti saat Chandra bertanya padanya tadi, ia hanya diam mengulum bibirnya, menahan suara isak tangis yang hampir lolos dari sana. Tapi gerumul air yang membendung di kelopak netra membuat pandangannya terhalang, kian mengabur seiring dengan rasa sakit yang semakin menyeruak. Pelik.

"Kenapa?" tanya sang kakak, suaranya pelan dan terdengar serak dengan mata mulai berkaca-kaca. "Kamu udah gak mau ketemu lagi denganku? Kamu membenciku?" tambahnya.

Kepala itu menggeleng pelan, dipaksakannya untuk menjawab walau dengan suara yang terdengar bergetar hebat, "aku ... mau ketemu Mama," katanya.

"Dan memilih untuk meninggalkanku? Meninggalkan Bunda? Meninggalkan Felix juga?" sahut si kakak segera.

Mendengar itu wajah si adik semakin tertunduk, ia tak bisa menahan lebih lama lagi suara isak tangis yang lolos dari bibirnya. Bahu ringkih itupun nampak bergetar hebat, tangan mungil yang digenggam kakaknya pun terlihat meremat dengan keringat dingin yang mulai keluar semakin banyak dari pori-porinya.

"Kamu gak sayang sama aku? Apa kamu juga gak sayang sama Bunda sampai nekat melakukan itu?"

"Aku bukan siapa-siapa di keluarga Papa," jawab Lino segera.

Dan Julian terpaku seketika, memandangnya dengan tatapan terkejut bukan main. Cukup lama ia menautkan pada jelaga teduh yang perlahan mulai mengalirkan sungai kecil ke pipi pucatnya, sebelum genggaman tangan itu perlahan mengendur dan terlepas begitu saja.

Dengan suara lemah, Julian menjawab, "oh ... baiklah, kalau begitu terserah denganmu setelah ini. Aku takkan menghalangi apa pun keputusanmu lagi."

Lino semakin terisak, air matanya semakin deras turun mengalir dengan bahu berguncang hebat.

"Gak ada gunanya, Kak ... aku cuma menambah beban keluarga kalau Kakak memintaku buat terus bertahan. Aku bukan siapa-siapa, kehadiranku juga cuma bikin Papa kehilangan segalanya. Aku cuma bawa sial, aja," tangisnya.

Julian memalingkan pandangannya ke sembarang arah, menggigit bibir, mengusap wajah, menyugar rambutnya atau apa saja ia lakukan agar suara tangis itu tak ikut keluar dari bibirnya.

"Iya, kamu benar," katanya setelah mati-matian menahan emosi yang nyaris meledak.

"Pada dasarnya kamu sama aja kayak Papa; sama-sama egois. Kamu cuma mikirin dirimu sendiri, kamu gak peduli dengan perasaanku saat ini. Dan aku juga tau kalo kamu gak akan peduli dengan perasaan Bunda seandainya dia tau apa yang kamu lakukan semalam di jembatan. Benar 'kan?!"

"Kakak bilang gitu karna Kakak gak ngerti," tangis Lino semakin pecah.

"Iya, aku emang gak tau. Aku juga gak ngerti sama apa yang kamu rasakan selama ini. Aku juga gak pernah ngerasain sakit atau sedih setiap kali ngeliat Papa mukul kamu, aku gak ngerasain semua itu. Kamu benar."

"Kakak gak pernah ada di posisiku, Kakak juga gak ngerasain gimana sakitnya dijadikan pelampiasan atas dosa dan kesalahan orang lain. Kakak gak tau itu," sambungnya.

"Apa kamu pikir dengan kamu bunuh diri, terus kamu bakalan ketemu sama Mama di sana!? Kamu pikir Tuhan akan membuka pintu rumahnya untukmu? Kamu pikir kamu akan bahagia setelah semuanya kamu selesaikan begitu aja?!"

"Kak ...."

"Apa kamu juga pikir semua ucapanku semalam adalah kebohongan? Kamu pikir rasa sayangku itu cuma kata-kata biar kamu seneng aja? Enggak, Lino!"

"Aku capek, Kak!" teriak Lino dengan bahu bergetar hebat. "Aku capek! Kakak gak tau!"

Baiklah, Julian sudah tak sanggup menahan tangisnya lagi. Air matanya ikut menderai, turun ke pipi sama derasnya dengan tangisan si adik. Ia merunduk, mengusap wajahnya yang basah dengan kasar dan menengadah sesaat.

"Katamu, aku gak tau?" cicitnya pelan. "Aku tau itu! Kamu capek, aku tau! Kamu sakit, aku juga tau! Kamu ngerasa semua ini berat untukmu, aku juga tau karna aku ikut ngerasain semuanya, No!"

Lino tak menjawab, namun tangisannya yang semakin tersedu sedan sudah lebih dari cukup membuat Julian paham dengan semuanya.

"Aku sayang kamu! Aku sangat menyayangimu! Bahkan kalau kamu minta aku buat menumbalkan nyawaku agar Mama hidup kembali pun aku siap buat ngelakuin itu! Aku akan ngelakuin semuanya yang kamu mau, agar kamu bahagia. Aku juga pengen liat kamu bahagia, gak cuma sekedar di bibir aja ... hiks, aku mohon sekali ini aja padamu, tolong sayangi dirimu sendiri, No."

"Sayangi dirimu sendiri karena kamu itu berharga. Mungkin kamu pikir enggak buatmu, tapi buatku, buat Bunda, dan buat orang-orang lain yang juga menyayangimu, kamu itu berharga, Lino," tangis si sulung pecah.

Lino menangis sejadi-jadinya, ia turun ke lantai dan segera menghambur dalam pelukan Julian. Menangis tersedu di sana tanpa bisa berkalimat lebih dari sekedar untaian kata 'maaf' berulang kali.

"Kamu adikku, gak peduli apa kita sedarah atau enggaknya. Gak peduli apa kita lahir dari rahim yang sama atau enggaknya. Kamu adikku, dulu, sekarang, sampe nanti tetap gak akan berubah. Dan aku sayang sama kamu lebih dari aku sayang pada diriku sendiri."

Chandra tak bermaksud menguping, namun ia sengaja diam-diam memerhatikan keduanya sejak tadi dari sela pintu yang terbuka; lantaran takut akan terjadi hal yang tak diinginkan di sana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Chandra tak bermaksud menguping, namun ia sengaja diam-diam memerhatikan keduanya sejak tadi dari sela pintu yang terbuka; lantaran takut akan terjadi hal yang tak diinginkan di sana.

Tak pernah Chandra kira ia akan ikut meneteskan air mata manakala melihat apa yang terjadi dalam sepetak ruangan tersebut. Melihat dengan mata kepalanya sendiri seberat apa beban yang disimpan kedua kakak beradik itu diam-diam dari kerasnya dunia.


























 Melihat dengan mata kepalanya sendiri seberat apa beban yang disimpan kedua kakak beradik itu diam-diam dari kerasnya dunia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Song title : Brother —Kodaline

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now