Bab 1 : Eleven

643 119 39
                                    

"Jadi? Hantunya gimana? Kak Chan beneran ketemu?"

"Ya, gak tahu. Chan juga gak ngelanjutin ceritanya kayak gimana sama aku."

"Ah, digantung! Gak asik!"

Julian menggelengkan kepalanya tatkala mendengar suara dengkusan dari Lino; yang terdengar kecewa karena ceritanya barusan. Kisah tentang hantu atau mahkluk gaib memang paling manjur untuk membuat adiknya itu penasaran. Jadi, jangan kaget kalau Lino akan menggerutu bila cerita yang didengarnya tidak nyambung atau berakhir dengan kata gantung.

"Eh? Kamu udah tahu belum?" tanya yang lebih tua. "Katanya mau ada pasar malem di lapangan yang ada di depan Kantor Kecamatan itu. Ada banyak arena permainan juga," cakapnya lagi.

Kali ini ia meletakkan bola basket yang sejak tadi dimainkannya ke sisi teras rumah, di mana ada Lino duduk di sana sembari membaca manga.

"Hm? Pasar malem?" itu bukan si tengah yang menjawab, melainkan si bungsu yang muncul secara tiba-tiba dengan membawa mainannya; helikopter ber-remote control.

Kedua kakaknya itu menoleh padanya sesaat, sebelum kembali menautkan tatapan pada satu sama lain. Julian berdehem sejenak sebelum menjawab, "iya."

"Mau ke sana dong!" seru si bungsu mendadak.

Lino masih diam, tapi rautnya nampak menyiratkan rasa cemas pada si sulung dan seolah bertanya; bagaimana ini?

"Mm ... Lix mending tanya Papa dulu, ya. Kalo Papa ngasih ijin baru Kakak anter ke sana," ucap Julian pada akhirnya.

"Gak mau!" hentak si adik, "kalo bilang Papa nanti gak dibolehin," tambahnya.

"Ya udah, coba tanya sama Bunda," itu Lino yang menimpali.

"Pasti gak bakalan dibolehin juga."

"Ya berarti gak usah dateng."

"Ih, Kak Ino gak peka! Masa cuma aku yang gak boleh dateng ke sana?!" gerutu si bungsu lagi yang seketika mengundang tawa dari kakak keduanya.

"Iya, iya, nanti Kakak coba tanyain ke Bunda kali aja dibolehin kalau Kakak yang anterin," jawab Julian akhirnya. Pasrah dengan rengekan adik kecilnya itu. Ia lantas berjalan masuk ke rumah dan meninggalkan keduanya di teras.

"Kak Ino coba liat!" unjuk Felix kemudian pada mainan yang ia bawa seperginya kakak tertua mereka.

"Hm? Apaan?" tanya si tengah sembari menutup komik yang ia baca, dan lantas mendekat ke arah si bungsu. Anak itu segera membuka kardus mainannya dan menunjukan pada si kakak dengan wajah begitu ceria.

"Taraaa ... ini Helikopter! Papa yang beliin sewaktu kemarin pulang dari mall," katanya.

Lino tertegun sejenak, memandang mainan di tangan Felix itu dengan nanar. Dan entah kenapa ia teringat saat kecil dulu mana kala ia pernah merengek meminta mainan serupa dengan itu, tapi Kenan malah memukulnya. Rasanya beruntung sekali jika Felix bisa mendapatkan benda yang dulu pernah ia impikan.

"Kakak mau main?" tanya si adik, yang seketika membuyarkan lamunan Lino. Sebuah remote control pun disodorkan ke hadapannya oleh Felix, sembari mengulangi ucapannya tadi, "mau main?"

Senyum di wajah Lino seketika merekah, betapa ingin ia mencoba memainkan benda yang dulu pernah membuatnya menangis semalaman; lantaran tak bisa memilikinya. Tapi saat tangan itu terulur dan nyaris menyentuh si benda, niatnya pun ia urungkan.

Jangan! Harganya mahal, kalau sampe rusak, Papa pasti bakalan marah lagi.

Mungkin serangkai kalimat itulah yang membuatnya membatalkan niat untuk mencoba mainan si adik, dan hanya berakhir menjadi gelengan kepala semata sembari berkata, "gak usah, kamu aja."

"Oh, ya udah kalo Kak Ino gak mau," kata si bungsu. Ia jelas tak mengerti alasan dibalik gelengan kepala itu. Dan lantas asyik bermain sendirian.

Lino menghela napas panjang. Ia berdiri dan kemudian berjalan ke dalam rumah; hendak masuk ke kamarnya. Tapi saat melewati satu ruangan di sisi kamar orang tuanya, kaki itupun berhenti. Ia terdiam di sana dengan seuntai pikiran yang menyambangi hatinya.

Jika Felix bisa memiliki mainan semahal itu, apakah ia juga boleh memiliki sepatu baru?

Wajahnya ditengadah, menoleh dan memandang lekat bilah kayu persegi itu. Hatinya bimbang, antara memaksakannya untuk masuk atau justru meneruskan langkahnya untuk berlalu; kembali berjalan menuju kamarnya sendiri.

Tapi setelah sekian sekon dihabiskan dengan pikiran serta hati yang saling tolak menolak, Lino pun akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu.

Tak butuh waktu lama, suara yang menitah untuk masuk pun segera menyapa rungunya.

"Pa-Papa ..." panggilnya pelan sembari berjalan mendekat.

Di sana, di balik meja luas dengan kayu eboni berukiran indah terlihat sang Direktur sedang asyik memerhatikan laptop serta beberapa map berisi dokumen di hadapannya. Ia hanya menggumam kecil mana kala anaknya itu datang memanggil.

"Mm ... Papa ... boleh aku minta uang?" tanyanya pelan. Sangat pelan, nyaris tak terdengar jika saja Kenan tak memiliki telinga yang terbilang tajam.

"Uang?" ulangi sang ayah, wajahnya terangkat dan tatapannya seketika mengingimidasi si tengah yang berdiri dengan takut di hadapannya. "Untuk apa?" tanyanya kemudian. Begitu tegas.

"Se-sepatu ... aku mau minta uang buat beli sepatu," tutur si tengah ragu-ragu.

"Sepatu? Memangnya kenapa dengan sepatumu?"

"Sepatuku udah rusak, Papa ... telapaknya udah berlubang," jelas Lino.

"Alasan! Kamu cuma mengada-ngada untuk itu. Bilang saja kalau kau mau menggunakan uangnya untuk keluyuran!" bantah sang ayah.

"Enggak, Papa," sangkal anaknya seketika.

"Sudah! Papa sedang pusing banyak kerjaan, jangan buat jadi bertambah!" bentak Kenan kala tahu bila Lino hendak menyangkal ucapannya lagi, "lagi pula, kamu kan sudah besar! Harusnya kamu sudah bisa membeli barang pribadimu sendiri tanpa harus meminta uang dari orang tua lagi!" tambahnya.

"Tapi ..."

"Contoh kakakmu! Dia pintar menyisihkan uang jajannya untuk membeli keperluan pribadinya sendiri. Harusnya kamu bisa seperti itu!"

Ah, Lino ... harusnya ia jelas tahu jika akan jadi seperti ini pada akhirnya. Seharusnya ia tadi segera berlalu pergi ke kamarnya dan bukan malah nekat masuk ke ruangan ini. Seharusnya ia tahu jika ia bukanlah si bungsu yang akan selalu diutamakan kepentingannya, atau si sulung yang akan selalu dibanggakan perangainya. Ia jelas tahu jika ia berbeda dari saudaranya. Karena dengan begitu, Kenan tentunya takkan memarahinya lagi.

"Maaf, Papa..." dan sudah jelas jika hanya kalimat itu saja yang mampu dilontarkannya, setelah mendengar serangkai omelan berdalih nasihat dari sang ayah.

Maka kaki jenjang bertelapak mungil itupun keluar dari sana dengan wajah nampak murung. Ia tak lagi membantah kala Kenan kembali mengusir dengan alasan mengganggu pekerjaannya. Ia pun tak lagi berucap tentang sepatu atau hal lain, selain kata maaf yang mampu dilontarkannya.

Tapi, lagi-lagi Lino tak sadar jika seperginya ia dari sana ada orang lain yang diam-diam memerhatikannya dari balik dinding dapur.






































Tapi, lagi-lagi Lino tak sadar jika seperginya ia dari sana ada orang lain yang diam-diam memerhatikannya dari balik dinding dapur

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Song title; Not Mine -Day6

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now