Bab 4 : Fifty Three

455 77 9
                                    

Satu bulan berlalu ...

Lino mulai terbiasa menjalani kesehariannya dengan jadwal yang lebih padat selama empat pekan belakangan ini.

Ia akan berangkat sekolah seperti biasa; menggunakan sepeda, pulang tepat waktu, segera mandi, makan siang—jika memang sempat—lalu pergi bekerja menggunakan bus atau angkutan umum lainnya, dan baru pulang sekitar pukul sebelas malam.

Sebenarnya selama sebulan itu juga Mila maupun Julian menaruh curiga, lantaran anak itu terus menerus pulang nyaris larut. Dan jika ditanya habis dari mana, jawaban; ada les, selalu menjadi jalan ninjanya.

Hingga suatu pagi disaat Mila hendak mencuci pakaian, tak sengaja ia menemukan sesuatu dari tumpukan baju Lino yang hendak ia masukan ke dalam mesin.

"Ini, bukannya seragam?" gumamnya disertai alis yang saling bertautan bingung. Buru-buru ia masukan baju lainnya ke mesin cuci sebelum memutar tubuh dan beranjak pergi.

 Buru-buru ia masukan baju lainnya ke mesin cuci sebelum memutar tubuh dan beranjak pergi

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Statistika?

Lino tersenyum kecut mengingat jurusan apa yang dijadikan taruhan sang ayah dengannya. Harusnya Lino tahu, Kenan tidak mungkin semudah itu untuk memaafkan dan menerima dirinya di sini. Harusnya Lino juga tahu kalau kebencian Kenan padanya sudah menjadi darah yang akan terus berdesir laju dan takkan terhenti sebelum mati. Harusnya Lino tahu, ia memang tak pernah akan punya tempat di rumah ini.

Buku fisika yang terbuka dengan banyaknya rumus ditatapnya kini terlihat berputar-putar. Angka demi angkanya seolah tengah tertawa dan mengolok; lihatlah si bodoh yang berlagak pintar ini! Bisa-bisanya dia bertaruh dengan ayahnya sendiri. Tidak tahu diri sekali!

Lino lagi-lagi tersenyum getir dalam diam.

Cklek!

Mendadak pintu kamarnya terbuka, dan ada Mila yang berdiri di ambangnya. Bibirnya tersenyum simpul saat bertanya, "boleh Bunda masuk?"

Lino menolehkan wajahnya, mengabaikan rumus di buku yang sedang ia tulis saat ini untuk sesaat. Kepala itu mengangguk pelan manakala menjawab, "iya, boleh Bunda."

Langkah kaki jenjang berkulit putih itu nampak mendekat sebelum duduk melantai di depan meja bundar, dan memerhatikan buku-buku yang berserakan di atasnya.

"Ino lagi belajar, ya?" tanyanya kemudian.

Si anak mengangguk pelan, tak menjawab lebih selain sebuah gerakan semata. Perangainya itu justru membuat si ibu menjadi sedikit bimbang; haruskah ia menanyakan kendati apa yang ditemukannya, atau tidak. Terebih lagi, Lino nampak begitu serius belajar; mengerjakan tugas-tugas sekolah yang sempat terabaikan lantaran sibuk bekerja.

"Tumben hari ini Ino gak sepedahan sama Juy? Biasanya Bunda liat kalian sering pergi bareng setiap Minggu pagi, sekarang-sekarang kayaknya Ino sibuk banget sampe jarang sepedahan lagi, ya?" ucap si ibu, membuka obrolan dengannya.

Lino mengangkat wajahnya sesaat, hanya beberapa detik saja untuk menautkan tatapannya dengan karamel indah Mila, setelah itu ia kembali fokus pada tugas sekolahnya.

"Aku mau ujian, Bunda. Jadi gak sempet buat main sepeda keluar," jawabnya pelan.

Mila diam dan hanya mengangguk lemah, paham benar akan kalimat si anak barusan. Tapi ia sungguh penasaran dengan hal yang ditemukannya, hingga ia pun kembali berucap, "Bunda boleh nanya sesuatu gak sama Ino?"

Lino tak lekas menjawab, ia hanya merespon dengan hal yang sama seperti tadi; mengangguk seadanya tanpa ada kalimat yang diucapkan. Membuat Mila nampak menghela napas panjang sembari menunjukan sebuah benda yang sejak tadi ia sembunyikan di balik punggungnya.

"Bunda nemuin seragam ini dari keranjang baju kotor punya Ino pas nyuci tadi. Ino mau jelasin ke Bunda, ini baju siapa?"

Lino terperanjat kaget tatkala melihat apa yang ditunjukan Mila padanya, pikirannya kembali teringat; jika semalam sehabis pulang ia tak sengaja melemparkan seragam itu ke dalam kantung laundry di pojok kamar, bersatu dengan pakaian kotor lainnya.

Dan kini ia tak bisa menjawab selain diam memandangi seragam OB yang dipegang Mila. Sedangkan ibunya itu jelas menuntut sebuah jawaban dari sorot mata yang menatap intens padanya.

"Ino tau 'kan kalau Bunda gak bisa dibohongi? Bunda sebenarnya udah tau kalau selama beberapa minggu belakangan Ino ada melakukan sesuatu di luar sana, tapi Bunda gak pernah menyangka kalau Ino sampai melakukan hal ini juga," cakap Mila. Suaranya pelan, namun sarat akan rasa kecewa yang amat kentara.

"Maaf, Bunda." Akhirnya suara itu terdengar lagi selama beberapa saat hanya diam, bungkam dengan jawabannya.

"Kenapa Ino sampe kerja begini? Uang jajan yang Bunda kasih masih kurang? Atau Ino ada sesuatu yang pingen dibeli tapi gak mau bilang?"

Lino menggeleng, ia bingung harus menjawab apa. Satu sisi ia tentu takkan mengatakan jika pekerjaan ini dilakukan lantaran ia yang terlanjur membuat sebuah perjanjian pada sang ayah. Namun, pada sisi lainnya juga ia tak mungkin membohongi ibunya sendiri.

Pada akhirnya suara itupun terdengar kembali. "Aku pengen belajar mandiri, Bunda," ujarnya membuat alasan.

"Dengan kerja jadi OB?" sahut Mila kemudian.

Dan Lino pun mengangguk lagi. "Aku pengen belajar cari uang sendiri biar kalau udah dewasa nanti gak nyusahin Bunda lagi," paparnya.

Mila menghela napas panjang, ia lantas menggenggam tangan Lino dengan sesekali memberikan usapan di atasnya. Wajah cantik itu terlihat sendu, tatapannya menyiratkan kesedihan meski tak diucapkan.

"Kenapa kamu gak bilang sama Bunda?" lirihnya.

"Aku gak mau nyusahin Bunda terus," jawab Lino pelan. "Aku udah terlalu sering bikin Bunda sama Kakak susah, buat kali ini aja aku pengen bikin Bunda sama Kakak bangga, sekali ini aja."

Mila lantas menarik si anak ke dalam pelukannya, merengkuh tubuh itu dengan erat sembari mengusap punggungnya perlahan dan berbisik lembut di telinga, "Bunda selalu bangga dengan dirimu, Ino. Jangan pernah bilang kalau kamu nyusahin Bunda ataupun Juy lagi. Kamu gak pernah menyusahkan siapapun di sini. Mengerti?"

Mendengar itu, Lino pun membalas ucapan Mila dengan sebuah anggukan sebelum tangannya melingkar di punggung sang ibu dan berbisik lirih di sisi wajahnya.

"Makasih Bunda, udah mau ngerawat aku dari bayi sampe sekarang ini. Aku gak peduli apakah aku anak kandung Bunda atau bukan, aku gak peduli apakah aku lahir dari rahim Bunda atau bukan. Buatku, Bunda adalah ibu terbaik sedunia, dan aku bahagia karena bisa punya ibu kayak Bunda."

Ya, Tuhan. Mila saat itu juga meneteskan air matanya di balik punggung Lino. Tangannya semakin erat memeluk tubuh kurus itu dengan penuh akan rasa sayang nan tulus dari hatinya. Dan batin Mila berdoa; kiranya Tuhan akan selalu memberikan Lino kebahagiaan sepanjang hidupnya.

"Bunda sayang sekali sama kamu, Lino."


















Song title : Astronout —Simple Plan

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Song title : Astronout —Simple Plan

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin