Bab 3 : Thirty Eight

600 79 10
                                    

PAAAANGGG!

Obsidian Julian seketika membelalak kaget, ia melonjak dan segera bangun dari tempat tidurnya manakala suara benda pecah menyapa rungu.

Jam masih menunjukan pukul 02.48 dini hari, dan ia tak tahu suara apa yang sebenarnya ia dengar tadi. Tangan itu terulur, menggapai saklar lampu dan menekannya hingga kamar bernuansa hijau lembut itupun terang benderang. Lantas setelahnya ia segera mengambil tongkat baseball sebelum beranjak keluar, turun ke lantai bawah dengan tubuh nampak sigap; siaga jikalau ternyata ada maling yang masuk ke sana.

Tapi sesampainya di lantai bawah, Julian tak menemukan kejanggalan apa pun di sana. Tak ada orang, tak ada hal aneh apa-apa yang ditemuinya. Sempat ia mendekat ke arah kamar orang tuanya; menduga-duga barangkali di sanalah sumber suara itu berasal. Tapi yang ditemukan hanyalah kesunyian dan samar-samar terdengar dengkuran halus dari balik pintunya.

Tidak ada yang mencurigakan. Jadi, apakah yang tadi hanyalah efek kembang tidur belaka? Julian tak mengerti, kenapa terdengar nyata sekali?

Ia lantas naik ke lantai dua, hendak kembali ke kamarnya tatkala suara jeritan mendadak terdengar kencang dari balik salah satu pintu kamar kedua saudaranya.

"Waaaaaack ...!"

"Lino!?" pekiknya seketika, dan ia pun segera berlari masuk dengan setengah mendobrak pintu kayu jati itu.

Dan dalam gelapnya ruangan Julian pun segera menekan saklar hingga pendar lampu menerangi sekelilingnya, sebelum ia menemukan banyaknya pecahan gelas di lantai dan sosok yang menangis di sudut kamar; memeluk kedua lututnya sembari tersedu sedan.

"No! Kamu kenapa!?" pekik Julian kaget dengan apa yang dilihatnya.

Di sana, di sudut kamar adiknya itu menangis sembari terus menunjuk ke arah kasur. Wajahnya pucat pasi, bahunya berguncang dengan netra bercucuran air mata.

"I-itu ... hiks ... itu ..." tunjuknya dengan tangan gemetar kuat.

Sang kakak menoleh, melihat ke arah mana adiknya menunjuk. Tapi tak ada apa pun yang ditemukannya selain hal-hal lumrah; seperti biasa.

"Kamu liat apa, No?" tanya Julian, panik.

"Sel-selimutnya ... berjalan ... ma-mau makan aku," cicitnya kecil, tersendat tangis.

Wajah itu menunjukkan raut cemas, was-was dan ketakutan yang bukan sesuatu pura-pura. Lagi, tangan yang terus terangkat dan gemetar pun terlihat tak pasti menunjuk ke arah mana sebenarnya apa yang ia lihat. Sebab yang dilihatnya jelas hanyalah halusinasi semata.

Dalam pandangannya, Lino melihat selimut di atas kasur itu tiba-tiba saja berubah menjadi besar, bergerak seolah hidup dan seperti hendak menerkamnya. Membuat ia menjerit hingga melemparkan gelas di atas nakas dan lari ke sudut kamar; menangis di sana hingga si sulung akhirnya datang.

Julian sadar, ini adalah efek buruk dari panas tinggi yang Lino rasakan kini. Demam akibat luka-luka di tubuhnya bahkan meningkat, lebih parah ketimbang saat siang tadi. Dan karena itu juga ia segera membawa tubuh Lino ke dalam dekapan serta mengusap lembut punggung ringkih itu perlahan-lahan. Berusaha untuk menenangkannya.

"Sssstt ... gak ada apa-apa di sana, itu cuma halusinasi kamu aja," bisiknya di sisi telinga si adik.

Si tengah menangis, ia merenggut kuat piyama yang dikenakan kakaknya sambil terisak-isak pilu, mengatakan jika ia takut dan tak mau sendirian lagi. Dan si sulung jelas tahu jika adiknya itu sedang tidak dalam kesadaran penuh saat ini.

"Gak pa-pa, gak pa-pa," ia berusaha meyakinkan kemudian.

"Tak-kut, hiks ... jangan tinggalin ... hiks ... aku ...."

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now