Bab 4 : Seventy One

714 100 14
                                    

Suara isak tangis samar-samar terdengar dari arah dapur, membuat sosok yang diam-diam memerhatikan di kejauhan itu merasa ikut sedih melihatnya.

Di sana, di belakang sudut meja menghadap ke pintu belakang, Lino duduk di lantai sembari menangis memandangi piring nasinya yang hanya diguyur kecap saja, sementara itu di ruang makan ada sang ayah bersama saudaranya yang lain tengah makan enak dengan rupa-rupa lauk pauk.

Hanya ia yang ada di dapur itu, tersudutkan sendirian tak berkawan, tak ayalnya dianaktirikan lantaran hanya karena melakukan satu kesalahan kecil; salah membelikan rokok, sang ayah tega menghukumnya dengan tak membolehkannya makan di meja, tak boleh pula mengambil lauk yang ada di sana.

Tapi, masa bodoh dengan larangan untuk tak mendekatinya, Julian diam-diam datang dan ikut duduk di lantai, di sebelah adiknya, memandangnya.

"Ino ..." panggilnya pelan, membuat wajah bocah delapan tahun itu terangkan dengan linangan air mata yang membasahi pipinya. "Makan sama aku, yuk," ajaknya kemudian.

Lino terisak-isak, kepalanya menggeleng pelan seraya menjawab, "eng-enggak dibolehin sam-ma Papa, Kak." Suara itu tersendat tangisnya sendiri, wajahnya kembali merunduk dan memandang pilu makan siangnya hari ini.

Ah, andai saja Mila melihat hal ini sudah dapat dipastikan Kenan akan dimarahinya. Tapi, sayangnya sang ibunda sedang tak di rumah, ia sedang bekerja saat ini, menyisakan ketiga anaknya bersama sang suami saja.

Mendengar jawaban dari si adik, kakaknya itu lantas bangun dan pergi. Tapi tak lama kemudian ia kembali lagi membawa sepiring nasi putih bersama sebotol kecap di tangan.

"Aku duduk di sini juga, ya ... boleh?" tanyanya.

Lino—yang masih meneteskan air mata itu—hanya diam memandang bingung, tak mengerti kenapa Julian mau duduk di lantai bersamanya, makan dengan nasi dan kecap saja sedangkan di meja makan ada ayam goreng kesukaannya.

"Nan—hiks ... nanti Kak-Kakak dimarahin Papa kal-lau makan sama ak-aku di sini," katanya tersedu sedan.

Namun, alih-alih kembali ke ruang makan dan meninggalkan si tengah sendirian, Julian justru tersenyum simpul sembari menyahuti, "kalau kamu gak duduk di sana, aku juga gak mau. Mending duduk di sini aja, lantainya adem."

Lino diam, masih tak mengerti dengan alasan kakaknya itu. Tapi, jauh di lubuk hati Julian merasa sedih lantaran sadar bila kehadiran adiknya tak pernah dianggap ada oleh ayahnya sendiri, jadi biarkan ia sedikit menghibur Lino dengan duduk dan ikut makan di sini.

Tapi, siapa sangka selanjutnya Lino malah berkata, "Kakak ... jangan jadi anak bandel cum—hiks ... cum-ma buat belain ak-ku, ya."

"Tapi kamu emang pantas dibela, No. Karena kamu adikku. Bahkan jika ini adalah rapalan mantra yang bisa  membangunkanmu, aku akan terus mengatakannya ribuan kali," lirih Julian saat sekelebat mimpi menyambangi tidurnya, membuat ia kembali terjaga dan sadar bila sedari tadi tak sengaja terlelap di sisi ranjang.

Ah, sebenarnya itu bukan mimpi, melainkan ingatan masa kecil mereka yang terulang kembali dalam benaknya. Lagi, lagi, dan lagi seperti malam-malam sebelumnya.

"Jadi, kumohon, sekali ini saja padamu, aku tak meminta banyak, aku takkan meminta hal lainnya, aku hanya ingin kamu bangun. Kumohon bangun, buka matamu, aku ingin melihat kelereng bulat itu lagi. Aku ingin mendengar suaramu lagi," pintanya putus asa.

Siapa sangka apa yang terjadi selanjutnya setelah Julian berkata demikian? Mungkin semesta sedang dalam rasa yang baik malam ini, karena tangan mungil yang sejak tadi digenggamnya itu mendadak memberikan respon.

Jarinya berkedut pelan, dan Julian tersentak kaget bukan kepalang. Ia segera bangun, merundukkan kepala mendekat ke arah wajah adiknya.

"Lino?" panggilnya pelan.

Tak ada jawaban, wajah teduh itu masih terlihat lelap dalam tidurnya. Tapi Julian tak lantas berhenti, ia kembali menyebutkan nama si adik seperti tadi, "Lino?"

Masih sama. Tak ada respon yang berarti, Julian nyaris menyerah dengan upayanya sendiri. Mungkin yang tadi ia rasakan hanyalah kebetulan saja. Mungkin juga hanya ilusi semata lantaran terlalu mengharapkan jika adiknya akan tersadar dari koma jika ia mengajaknya bicara.

Tapi ....

Grep!

Tangan itu bergerak lagi! Membalas genggaman tangan Julian dan membuat si empunya terhentak luar biasa.

"No?! Kamu bangun, No?!" pekiknya, sebelum lari keluar dan mencari siapa saja yang melintas di lorong saat ini. Tapi, di kejauhan ia melihat ibu dan ayahnya tengah berjalan mendekat.

"BUNDA! PAPA! LINO BANGUN!" jeritnya kencang, saking histerisnya justru membuat kedua orang tuanya berlarian seketika. "LINO BANGUUUN!!!"

Mila panik, begitu juga dengan Kenan. Keduanya segera berhambur masuk ke dalam ruangan, namun saat hendak mendekat, Kenan justru menghentikan langkahnya, terpaku di seperempat jalan dengan hati yang berkecamuk.

Lino bangun, tapi apakah anak itu mau melihatnya? Apakah anak itu mau mendengar ucapan maaf darinya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika Lino tak memaafkan semua kesalahannya?

Mendadak Kenan merasa takut dan malu, ia mundur dan terpojok sendiri di dinding tanpa berani mendekat, membiarkan sang istri dan si sulung Julian yang menyambut Lino.

Dosaku terlalu banyak, bagaimana mungkin ia akan memaafkannya? Lirih sang pria dalam hati.


























Kaget, tetiba aja dapet peringkat 1 dari ht Stray Kids :'))***Song title : Simfoni Hitam —Sherina Munaf

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kaget, tetiba aja dapet peringkat 1 dari ht Stray Kids :'))
***
Song title : Simfoni Hitam —Sherina Munaf

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now