Bab 1 : Ten

649 125 11
                                    

Lino tidak bisa datang ke sekolah dengan keadaan wajah penuh luka lebam. Jadi, sebelum berangkat, ia sempat meminjam cusion serta concelear milik Mila untuk menutupi bekas lukanya.

Ah, omong-omong Lino sudah dua hari tidak masuk dikarenakan sakit. Tentu saja saat ditanya oleh wali kelas; sakit apa, ia takkan menjawab sakit karena dihajar habis-habisan oleh sang ayah.

Kendati demikian ia pun datang ke sanggar lagi, namun kali ini bukan untuk ikut latihan tari, melainkan untuk meminta ijin tak lagi bisa melanjutkannya.

"Kenapa, Lin? Apa ini ada alasannya dengan ayahmu kemarin?" tanya Juwi to the poin saat Lino menjelaskan perihal kedatangannya. Tentu saja mereka membicarakan hal ini secara empat mata saja. Di belakang pendopo saat jam istirahat tiba.

"Bukan kok, Mbak. Saya cuma mau fokus belajar aja, soalnya selama ikut di sanggar ini saya jadi sering lupa bikin PR, jadinya nilai saya turun terus," papar Lino.

Tentu saja Juwi tak lekas percaya, lebih lagi tadi ia sempat melihat anak itu datang dengan kaki sedikit pincang. Dan saat ditanya kenapa, Lino justru berbohong dengan mengatakan ia jatuh dari tangga.

"Lin ... kamu tuh berpotensi sekali di bidang ini. Dan kalau Mbak boleh jujur, dibandingkan anak lainnya tarian kamu tuh yang paling luwes dilihat, Mbak tahu benar kalau kamu menari bukan hanya sekedar hobi, tapi juga karena kamu menemukan kehidupan di setiap gerakannya. Mbak tahu jelas itu biarpun kamu gak menjelaskannya."

Ucapan Juwi itu memang benar, dan sangat menohok hati Lino saat ia tersadar jika impiannya harus kembali pupus lantaran tak diijinkan oleh sang ayah. Remaja itu pun tak bisa menjawab lagi selain memandang sang guru tari dengan tatapan pilu, menyiratkan rasa sedih yang amat kentara walau ditutupi oleh senyuman di bibirnya.

"Mbak mau kamu pikirkan lagi. Kalau ini memang benar ada kaitannya soal ayahmu, biar Mbak yang bicara sama beliau. Moga-moga saja kamu diijinkan jika Mbak yang berbicara dengannya," tambah yang dewasa.

"Enggak, ini bukan karena ayah saya," bantah Lino seketika. "Maaf, Mbak. Tapi saya sudah memutuskan ini sejak kemarin, saya ingin berhenti," jawabnya.

Juwi terdiam, ia tak berkutik sedikit pun saat bibir-yang terlihat agak pucat-itu kembali menyuguhkannya senyuman miris. Senyum yang terasa pahit dilihat. Dan Juwita jelas tahu, hati kecil anak didiknya itu tentu takkan berkata demikian. Sebab menari bukan hanya sekedar hobi untuknya, melainkan sebuah dunia. Dunia kecil di mana hanya ada Lino dan segala kebahagiaan yang ia sembunyikan rapat-rapat dari dunia luar.

"Hhhh ... Mbak gak bisa menahanmu lagi jika seperti ini, Lin. Mbak hanya bisa mendoakan semoga kamu menemukan kebahagian lain setelah ini. Terus hubungi Mbak, ya? Kabari Mbak kalau kamu butuh sesuatu, oke?" cakap Juwi akhirnya. "Bu Nana pasti sedih jika tahu ada satu bintang kecil di sanggarnya yang menghilang," gumamnya pelan.

Lino kembali menarik senyuman getir di wajahnya, dan kepala itu lantas mengangguk pelan seraya berucap, "makasih, Mbak. Sukses terus ya, Mbak, buat sanggar ini."

"Aamiin ... ah, hampir saja lupa. Tunggu sebentar, ya. Mbak ada sesuatu untukmu," tambah sang guru sebelum beranjak dari kursi taman tempatnya duduk, dan pergi ke dalam pendopo.

Tapi belum sampai 5 menitan wanita itu sudah kembali lagi dengan selembar amplop di tangan, dan lantas memberikannya pada Lino sambil berkata, "ini ada sedikit untukmu."

"Apa ini, Mbak?" bingung Lino, tak lekas menerimanya.

"Ada sedikit uang jajan dari panitia kemarin yang dikasih untuk grup kita, karena sudah meramaikan acara di Balai Kota. Jumlahnya memang gak besar karena Mbak membaginya rata dengan semua anggota, tapi cukup buat kamu ngebaso," tutur Juwi disertai senyuman, "ayo diambil, itu hasil jerih payah latihanmu di sanggar, jangan ditolak," titahnya kemudian.

Wake Me Up When September End's ✓ [Lee Know, Juyeon, and Felix]Where stories live. Discover now