Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya bagi mereka sama-sama menjalin hubungan. Masing-masing dari mereka tidak tahu bagaimana bertindak dengan normal.
***
“Nanti pinjam kartu pelajar kamu untuk pesan tiket pesawat pulang.”
Wina yang sedang mengencangkan seat belt menoleh bingung pada pemuda di sebelahnya. “Aku udah beli tiket kereta untuk pulang besok.”
“Besok kamu gak sekolah?”
“Sekolah, tapi kemarin waktu pesan tiket untuk hari ini yang ke Jakarta habis, jadi cuma dapat besok.”
Axel mengernyitkan dahinya, “terus kamu bolos? Kamu bilang apa sama Mama, Papa kamu?” Sebenarnya, ini sudah menjadi pertanyaan Axel kemarin setelah mengantar Wina ke hotel. Datang begitu jauhnya, anak dibawah umur sepertinya apa bisa begitu saja dengan bebas pergi?
“Itu…” Wina ragu-ragu mencengkram seat belt di dadanya. “Aku bilang ke Bandung tempat neneknya Ditha teman sekelas aku.”
“Kamu bohong?”
Wina tak menjawab, hanya menundukan kepalanya.
Pemuda itu mendesah pelan, “Wina,…” terdengar pasrah, Axel tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Pada akhirnya, dia hanya menyalakan mobilnya. “Nanti kita beli tiket pesawat, kamu pulang hari ini.” Karena nada Axel terdengar tak bisa dibantah, Wina hanya bergumam menyetujui.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di area pemakaman, Axel memarkirkan mobilnya kemudian membawa Wina turun dan mencari makam Neneknya.
Area pemakaman itu rapi, dengan rumput jepang menutupi setiap makam. Axel menggenggam tangan Wina, dan menariknya agak jauh ketengah makam menuju sebuah makam baru yang tanah merahnya masih basah.
Alysia Pandita Hartadi
Nama itu tercetak di batu nisan dengan tinta emas. Axel berjongkok di sebelahnya, meletakan buket bunga yang dia bawa dan mengusap nisan itu dengan sayang. Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya, “Mbah, Axel datang sama Wina. Mbah Putri bilang, mau ketemu kan?”
Wina buru-buru mengikuti Axel, dan berjongkok di sebelahnya. “Mbah, maaf ya Wina baru bisa datang sekarang.”
“Kata Mbah Putri, gak apa-apa. Kamu datang aja, Mbah Putri udah senang.”
Wina membelalakan mata, menatap Axel agak takut. “Kok kamu tahu?”
“Mbah Putri barusan bilang,” jawab Axel cuek, mengutak-atik bunga di atas makam.
Tanpa sadar, Wina sudah menatap area pemakaman yang sepi, hanya beberapa orang di beberapa makam acak tapi tak ada siapapun di sekitar mereka. Hari itu cerah, namun Wina tiba-tiba saja merasa dingin. “Kamu serius?”
Axel meliriknya, “kenapa? Takut?”
“Aku…” Wina menggantung kalimatnya, sejujurnya dia memang takut tapi tidak bisa mengatakannya. Bagaimanapun, Axel pasti senang karena bisa merasakan kehadiran Neneknya lagi, jadi bagaimana bisa Wina tega mengatakan dia takut terhadap orang yang dikasihi Axel.
Tiba-tiba saja Axel tertawa, dan mengetuk pelan kepala Wina dengan buku jari telunjuknya. “Kamu percaya aku bisa dengar suara Mbah Putri?”
Seketika itu juga, Wina cemberut. Baru sadar kalau Axel mempermainkannya.
“Maaf-maaf,” melihat raut wajah Wina, Axel mengendalikan tawanya hingga hilang sepenuhnya hanya menyisakan seringai kecil menggoda. “Tapi aku gak bohong, Mbah Putri pasti bilang begitu. Waktu kemarin dapat telepon dari kamu, Mbah Putri betul-betul senang dan kondisinya tiba-tiba saja membaik. Aku bahkan berpikir berapa hari lagi dia bisa pulang. Tapi ternyata, takdir berpikir lain.” Suara Axel terdengar getir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clockwork Memory
RomansaNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 23
Mulai dari awal
