Setelah makan, Axel akhirnya membawa Wina kesebuah hotel setelah mengetahui bahwa gadis itu bahkan tak mempersiapkan kepergiannya dengan matang. Axel tidak tahu apa yang harus dia lakukan jika tadi dia tidak mengetahui Wina berada di Semarang. Gadis ini terlalu ceroboh, dan itu menakutinya.

Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya? Axel bahkan tidak berani memikirkannya sedikitpun. Setelah Neneknya, dia tidak bisa kehilangan Wina juga.

Memesankan sebuah kamar, Axel memberikan kartu kunci pada Wina yang sedang melihat majalah di ruang tunggu lobi. “Ini, kamar 403. Kamu gak apa-apa tinggal di sini sendiri kan? Besok pagi aku jemput kamu.”

Wina meraih kartu kunci itu dan mengangguk. “Gak apa-apa, tapi tinggal di sini—gak mahal?” Ragu-ragu, Wina sudah menduga kamar di hotel ini pasti mahal bagaimanapun juga ini hotel bintang empat. Dia sedikit malu dan tidak enak.

Menyentil pelan dahi Wina, Axel berdecak, “ngapain kamu mikirin itu. Ini kan tanggung jawab aku sampai kamu ada di sini. Aku gak bisa bawa kamu ke rumah, di rumah lagi gak kondusif. Lagipula, gak baik perempuan bermalam di rumah laki-laki.”

Seketika wajah Wina merona, “siapa yang bilang aku mau nginap di rumah kamu!” Kurang malu apa dia sebagai seorang perempuan ditegur seperti itu oleh seorang laki-laki. Wina cemberut.

Axel mendorong kacamata di pangkal hidungnya dan menyeringai, Wina yang tampak malu sejujurnya sangat imut. Mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut Wina, Axel tak menutup-nutupi pandang sayangnya. “Ya sudah, aku pulang dulu ya. Besok aku jemput jam Sembilan, terus kita ke makam Mbah Putri, gimana?”

Berkedip beberapa kali, Wina akhirnya ingat alasan kedatangannya ke tempat ini. Dia bukan datang untuk berlibur, tapi untuk menghibur Axel, kenapa malah jadi pemuda itu yang mengurusnya. Tersenyum tipis, Wina mengangguk.

Axel membalas senyum gadis itu, kemudian memasukan kedua tangannya pada kantong depan celana jeansnya, “Nanti aku telepon, aku pulang ya.” Memandang Wina beberapa detik lebih lama seakan dia tak bisa melepaskan gadis itu, Axel pun akhirnya berbalik.

Menatap punggung Axel yang semakin menjauh, seketika Wina berdiri, “Xiel…”

Axel berhenti, dan kembali berbalik.

Mungkin, Wina sebenarnya adalah mahluk impulsif, karena tubuhnya lebih sering bergerak terlebih dahulu daripada otaknya. Tanpa dia sadari, dia sudah menghampiri Axel dan memeluknya. Membuat pemuda itu terkejut.

Axel mungkin tidak setampan dan sekeren Kak Dira, dia juga terkesan kutu buku. Tapi Axel wangi, seperti teh yang baru diseduh. Hari ini, Wina juga menyadari bahwa Axel sangat dewasa dan dapat di andalkan. Dia mungkin tidak seperti Kak Dira, tapi Wina tidak menyesal mengenal Axel.

—dan tanpa benar-benar dipahaminya, kesedihan Axel membuat hati Wina sakit.

“Aku datang buat kamu, jadi ingat kamu gak sendiri.”

Axel masih berdiri kaku, keterkejutannya bercampur tidak percaya dan bingung. Dia tidak yakin apakah jantungnya berfungsi dengan normal saat ini, karena sesaat tadi dia yakin organ itu berhenti untuk kemudian mendadak berdetak begitu kencang. Mengangkat satu tangannya dengan ragu, Axel mengelus perlahan rambut Wina yang ikatannya telah longgar. Dia tidak balas memeluk, tidak yakin apakah itu hal yang tepat untuk dilakukan mengingat meeka berada di tempat umum saat ini.

“Um, aku tahu,” bisiknya.

Wina melepas pelukannya, ada senyum manis di wajah gadis itu tercampur oleh rona merah yang tampak cantik. “Kalau gitu, sampai besok?”

Axel bergumam menyetujui, kembali mengusap rambut Wina perlahan. “Aku pulang dulu.”

“Hati-hati di jalan.” Mengangkat tangannya, Wina melambai canggung.

Clockwork MemoryWhere stories live. Discover now