Chapter 34 - The days went well

Start from the beginning
                                    

Diana tersenyum lebar. “Ke mana, Pa?”

Tersenyum, Mike menjawab, “Klub komedi.”

***

“... Pertama kali aku melihatnya, aku tidak begitu menikmatinya. Tapi kemudian aku menonton lagi dengan salah satu teman Asiaku, dan aku melihat betapa berartinya dia melihat dirinya terwakili di layar, dan itu membuatku sangat menyukai film itu.
Lalu aku berkata, ‘Oh, um, itu tidak berarti Anda menyukai filmnya. Itu hanya hal yang merendahkan dan menyebalkan untuk dikatakan’.” Seorang pria di panggung klub komedi berceloteh dengan suara lucu.

Semua penonton tertawa. Termasuk Mike dan juga Diana. Dia kemudian menoleh dan bertanya, “Kamu mengerti, Little Bean?

Diana dengan polos menggeleng menyebabkan Mike tertawa lebih kencang.

***

Tiba di rumah, hari sudah sangat larut. Dari luar Maria bisa mendengar samar-samar suara tawa anaknya. Dia pun membukakan pintu dan melihat Diana dengan tas sekolahnya tersenyum lebar seraya memeluk lengan ayahnya. Sedangkan Mike terlihat menceritakan kebodohannya ketika masih muda.

“Hai,” sapa Maria membuat Diana berlari kecil mendekati ibunya di depan pintu. Dia memeluk anak gadisnya dan mencium dahinya. “Mandi dan segera tidur.”

Aye aye, Ma'am! Good night, Ma, Pa.

Maria tersenyum menatap anaknya yang telihat bahagia ketika memasuki kamar.

Setelah itu dia melihat ke luar di mana Mike menyalakan rokoknya dengan pemantik.

“Bagaimana kencan kalian?” tanya Maria yang bersandar di kusen pintu.

Mike menoleh sebelum mengangguk. “Menyenangkan. Akhir pekan ini kita akan pergi ke tempat yang kalian mau.”

Maria mengangkat alisnya. “Kita?”

Mike mendekat. “Kita. Aku, kau, dan Diana.”

“Dan aku pikir kau hanya beberapa hari saja di sini.”

Mike menghisap rokoknya tanpa menjawab. Mematikan dan membuangnya, dia kemudian mencium bibir Maria cepat dan mengajak wanitanya untuk masuk ke dalam rumah.

***

Hari-hari berlalu dengan baik untuk Diana. Rumah yang biasanya hanya ada 2 orang perempuan tampak hidup dengan kedatangan Mike. Karena keberadaan Mike di sana yang menceritakan banyak hal, Diana tidak pernah berhenti tertawa.

“Sayang, kemarilah. Little bean kita memiliki banyak surat cinta di tasnya!”

“Oh itu surat cinta? Aku pikir itu kunci jawaban tes.”

Mike mengerutkan dahinya melihat wajah polos anaknya dengan mata yang besar. “Siapa yang mengatakan itu?”

Mata besar yang murni. Kepala dimiringkan ke samping. Tanpa beban, Diana menjawab, “Beauty.”

Sementara itu di tempat lain, Helena pun merasakan kebahagiaan yang amat mendalam. Setelah saling terbuka dan mempercayai satu sama lain beberapa hari terakhir ini, dia akhirnya membuat kenangan bersama Matthew.

Sebuah kenangan yang tak terlukiskan.

Bertelanjang dada dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, Matthew menghembuskan asap ke atas. Ketika dia membawa rokok ke mulutnya lagi, dia melirik ke samping, di mana wanita berambut merah keemasan sudah tertidur pulas membelakanginya. Selimut hanya menutupi setengah punggung belakang wanita itu yang tidak mengenakan apa pun. Matthew mengambil ujung rambut Helena yang halus lalu memainkannya sambil tersenyum samar.

Dia kemudian mematikan rokoknya yang sudah menjadi pendek di asbak sebelum memeluk Helena dan menyusulnya ke alam mimpi. Tanpa tahu jika layar ponselnya berkedip ketika ada panggilan masuk. Setelah panggilan tersebut berhenti, satu pesan muncul.

Joanna: Ini penting. Angkat panggilanku, Matt.

Di pagi hari, Helena membuka matanya dan mendapati kepalanya berada di dada yang keras. Dia mendongak dan melihat wajah pulas Matthew.

Dia menyempatkan waktunya sebentar untuk melihat tato di leher Matthew. Bentuknya menjalar sangat rumit sampai-sampai Helena tidak tahu gambar apa di sana. Namun, saat dia melihatnya lebih teliti, dia hampir melewatkan bagian lain. Selain ukiran rumit tersebut, ada dua baris tulisan Cina memanjang ke bawah, sangat kecil, dan dibaluti ranting-ranting. Dia mengulurkan tangannya ingin menyentuh seni tersebut akan tetapi Matthew sedikit bergerak dalam tidurnya membuatnya menarik kembali tangannya.

Tidak ingin membangunkan prianya, Helena turun dari tempat tidur dengan amat perlahan. Dia memungut t-shirt Matthew yang sangat besar lalu memakainya. Dengan itu saja sudah menutupi setengah pahanya, jadi dia tidak repot-repot menggunakan celana.

Turun ke bawah, Helena melihat Jacob yang duduk di sofa dengan sebotol bir di tangannya. Dilihat dari kantung matanya yang menghitam, sepertinya dia tidak tidur semalaman.

Tidak ingin mengganggu waktu menyendiri Jacob, Helena melanjutkan langkahnya ke lemari es dan mengambil air mineral dingin.

Saat meminumnya beberapa teguk, Jacob bertanya, “Helena, apa yang disukai Hera?”

Helena mengangkat sebelah alisnya. “Jadi kau frustasi sampai tidak tidur karena memikirkan Beauty? Dia akan senang mendengar ini jika aku mengatakannya.”

“Hm, katakan saja.” Jacob memejamkan matanya lelah. “Katakan juga aku mau mengajaknya ke kamarku seperti yang dilakukan Matthew kepadamu. Dia meninggalkanku dalam keadaan keras tadi malam.”

Dia juga ingin membawa Hera ke rumah persahabatan dan melakukan hal hebat sepanjang malam.

“Jika hanya itu yang kau pikirkan, tentu saja dia akan menolakmu. Kau ternyata bodoh juga, Jacob.”

“Dia memang idiot.”

Suara Matthew yang sedang menuruni tangga membuat Jacob membuka matanya kembali.

Matthew hanya mengenakan celana jeans. Dia kemudian mendekati Helena dan memeluknya dari belakang. Ketika mereka hendak berciuman, Jacob segera membuang muka dan mengumpat.

“Hera memang wanita yang keras dan tegas, tapi dia menyukai pria yang lembut dan patuh.” Helena menatap Jacob. “Cobalah untuk bersikap seperti anak baik, bukan seperti bajingan.”

“Orang yang memelukmu itu paling bajingan di sini.”

Matthew menggeleng sambil menatap Jacob remeh. “Kau paling bajingan di sini.”

Matthew tiba-tiba mengangkat tubuh Helena dengan mudah lalu meletakkannya di atas meja hingga Helena menjerit kecil sebelum terkikik.

Kedua orang itu mulai bermesraan. Dan Jacob yang panas segera menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

"Hei, apa arti tato di lehermu?" tanya Helena ketika Matthew mengendus lehernya.

"Ayahku terburuk dan aku bajingan yang paling tidak beruntung"

Mengangkat alisnya tinggi, Helena tertawa. "Apa? Jangan bercanda."

"Aku tidak pernah bercanda."

Dan Helena menatapnya dengan tatapan rumit. "Aneh."

Matthew menyeringai. "Itu keren, kau tahu? Tidak banyak orang yang bisa tahu."

"Ya, termasuk aku," gumam Helena.

Tidak melanjutkan obrolan mereka, Matthew mendekati bibir Helena seraya mengarahkan kedua kaki jenjang kekasihnya untuk memeluk pinggangnya.

VENUS [#5 Venus Series]Where stories live. Discover now