Less Talk, Less Chance 📍

2.8K 289 0
                                    

Soft but tender.

Begitulah yang pria itu rasakan dari sentuhan ujung pistol di dahinya. Menyentuh tipis kulitnya, terus bergerak ke samping dan berhenti tepat di pelipisnya. Tidak ada tekanan sama sekali memang. Namun hanya dengan mengingat nama pistol itu saja sudah membuat siapapun akan merasa berada di ambang kematian.

Pistol mewah Baretta Imperiale Moncetarlo yang memiliki harga milyaran itu akan segera merenggut nyawanya. Pria itu mulai menghitung mundur setiap detik yang tersisa.

"Tuan.." Seseorang yang dipanggil 'tuan' oleh pria itu hanya diam di tempatnya dengan seringaian yang tak pernah lepas. Tuannya itu juga tidak menunjukkan tanda tanda untuk menurunkan pistol yang berada di pelipisnya.

"Katakan, Troy." Oh, degup jantungnya semakin berpacu mendengar nada suara dari tuannya yang terdengar menakutkan.

"Kesempatanmu hanya satu kali sebelum peluru yang berada di dalam pistol kesayangan ku ini benar benar bersarang di kepala mu."

"Seseorang yang membantu gadis itu clear, tuan." Ucap pria itu akhirnya dengan sangat hati hati. Berharap sosok yang dia panggil 'tuan' itu mau mengasihani nyawanya.

"Saya sudah mencari info tentangnya. Dia membawa pistol karena dia memang mengikuti kursus menembak dan hari itu bertepatan dengan jadwal latihannya. Dia memang selalu membawa pistol itu ke sekolah setiap jadwalnya tiba."

"Pistol itu berisi peluru sungguhan!!"

Mata pria itu terpejam ketika merasakan ujung pistol itu mulai semakin menekan pelipisnya, bersiap menembus tengkoraknya.

"Ma.. Maaf, tuan. Tapi kursusnya memang selalu menggunakan peluru sungguhan karena kursus itu berada di bawah kendali militer langsung."

Dor..

Bersamaan dengan suara yang memekakkan telinga, tubuh pria itu jatuh ke lantai.

Keheningan menyelimuti si tuan yang masih berdiri dengan napas yang terdengar berat. Menahan gejolak amarah, matanya menyorot dengan begitu tajam.

**********

Seorang gadis masih setia berjongkok di depan sebuah pusara yang masih basah. Wewangian dari bunga yang di tabur menyeruak ke indera penciumannya, membuat dadanya terasa semakin sesak.

Beberapa orang mulai meninggalkan melangkah menjauh, sedangkan sisanya masih tetap tinggal. Hanya berdiri di belakang gadis itu, membiarkannya memiliki waktu untuk menumpahkan semua yang dirasakannya.

"Will..." Ucapan gadis itu teredam oleh isak tangisnya yang lirih.

"Maafkan aku..." Sambil terus mengusap nisan yang bertuliskan nama William Dawson, gadis itu masih terus menunduk dan mengucapkan berkali kali kata maaf.

Felix yang masih berdiri di samping Xavier menepuk pundak teman sekaligus tuannya. "Biar aku yang berbicara padanya. Kalian tunggulah di luar pemakaman."

Meski berat, mereka semua mengangguk dan meninggalkan Felix bersama gadis itu disana.

"Megg," Felix menepuk pundak gadis itu dan ikut berjongkok di bawahnya.

"Kau tau--"

"Aku tidak mau tau apapun, Felix."

Felix, pria itu menatap wajah Megg yang sembab dengan air mata. Dia sungguh ingin mengusap air mata itu. Namun dia masih harus menahannya karena dia paham batasan.

DARK Eyes Prince [END]Where stories live. Discover now