Chapter 17 - I'll send you to hell

Start from the beginning
                                    

Setibanya di rumah Helena, Ayah Helena sudah berdiri dengan gunting kebun di tangannya.

Melihat bagaimana tatapan Ryan terpaku padanya, Matthew tanpa sadar menatap waspada pada benda yang orang tua itu pegang.

Helena bisa merasakan sikap tegang Matthew. Ia tidak bisa menghentikan tawanya. "Tenang saja. Ayahku tidak akan membunuhmu jika kau segera pergi."

Matthew terkekeh dengan alis sebelah terangkat. "Oh sangat disayangkan. Bukankah aku harus berperilaku sopan?"

Melihat Matthew keluar duluan membuat wajah Helena suram. Bukankah dia sudah bilang untuk pergi saja? Matthew mengelilingi mobil dan membukakan pintu mobil untuknya sebelum mendekati Ryan.

"Gunting yang besar, Mr. Alexandras," Matthew menyapa Ryan.

"Cukup untuk mengoyak daging beserta tulang." Ryan melakukan gerakan memotong udara sangat kuat dengan gunting tersebut membuat Matthew tanpa sadar sedikit memundurkan wajahnya.

"Dia suka berkebun." Hillary datang dari dalam. Dan mendekati mereka. "Kalian sudah pulang?"

"Mrs. Alexandras," Matthew menyapa Hillary. Baru saja ia ingin mengambil tangan Hillary untuk dicium sebagaimana sikap bangsawan semestinya, Ryan sudah menghentikannya dengan mengarahkan gunting yang ia pegang. Dengan senyum yang masih terpatri, Matthew melupakan tata kramanya.

"Bukankah aku sudah bilang untuk memanggil namaku saja?" Hillary pura-pura menegurnya dengan ekspresi marah.

Dan Matthew membalasnya dengan senyum sopan. "Baiklah."

"Pulanglah," Helena berkata pelan. "Mom, Dad, aku akan masuk dulu."

Kedua orang tua Helena bergumam.

Sebelum Helena pergi, Matthew berbisik di telinganya, "Apa kau masih marah padaku?"

Helena menatapnya dengan tatapan intens yang sulit diartikan sebelum menjawab, "Entahlah."

Matthew berdecak dalam hati. "Aku akan menjemputmu besok."

Helena tidak menjawab lagi. Dia hanya pergi dari sana masuk ke mansion.

"Kamu tidak ingin masuk?" tanya Hillary.

Matthew menggeleng. "Aku akan pulang."

"Sayangku, bukankah kau tadi ingin mengambil keranjang?" Ryan bertanya menyadarkan Hillary.

"Ya Tuhan. Aku hampir lupa." Hillary tertawa. "Kalau begitu aku akan masuk dulu. Sampai jumpa, Matthew."

"Sampai jumpa, Hillary."

"Mrs. Alexandras." Matthew menatap Ryan bingung ketika orang tua itu menyelanya. "Jangan pernah memanggilnya Hillary."

"Menurutku itu lebih baik daripada memanggilnya Mommy," Matthew berkata dengan berani.

"Menurutku kau lebih baik pergi sekarang sebelum aku menendangmu," Ryan berkata datar.

Matthew mengangguk patuh. "Aku pulang dulu, Mr. Alexandras."

Saat Matthew berbalik, Ryan menghentikannya.

"Tunggu sebentar. Ambil kartu identitasmu di sini."

Matthew berjalan mundur ketika berbicara, "Tidak usah terburu-buru, Pak. Aku mencium anakmu lagi hari ini. Lebih baik kau menyimpannya di kantongmu."

Seketika wajah Ryan menggelap. Ia berjalan menuju Matthew yang sudah mencapai mobilnya. "Aku akan membuangnya!"

"Ide bagus. Dengan begitu aku tidak akan kembali ke Inggris. Terima kasih atas bantuanmu, Dad."

Belum sampai perjalanan Ryan, Matthew sudah masuk ke mobil dan mengendarainya keluar. Melihat Matthew melambaikan tangannya untuk Ryan dengan sikap beraninya membuat Ryan berang.

"Aku mendoakanmu mengalami kecelakaan!"

"Siapa yang kau doakan mengalami kecalakaan, Sayangku?"

Ryan menoleh ke belakang di mana Hillary sudah datang dengan keranjang di tangannya. Menatapnya dengan marah. Hillary pasti salah paham dengannya.

Ah bocah sialan! rutuk Ryan dalam hati.

***

Hera mengerang ketika ciuman mereka semakin dalam. Saat ini ia duduk di pangkuan Jacob dan mencengkram kedua bahu Jacob. Sedangkan pria itu yang duduk di sofa, membawa tangannya meraba sepanjang garis tubuh Hera dan berhenti di pinggang kecil wanita itu, ia memberikan sedikit kekuatan di sana membuat Hera bergetar. Jacob tersenyum dalam ciuman mereka dan ia memperdalam ciumannya hingga seseorang menginterupsi mereka.

"Hera? Apa yang sedang kau lakukan?!"

Mendengar suara itu membuat Hera kesal. Ia melepaskan ciuman mereka lalu menatap malas pada Alice, kekasih ayahnya.

Jacob pun ikut menatap Alice dengan kerutan di dahinya. "Siapa wanita ini? Aku tidak tahu kamu punya saudari."

Dengan datar Hera menjawab, "Dia bukan siapa-siapa."

Alice tampak tidak terganggu sama sekali dengan jawaban itu.

Hera menghembuskan napasnya. Ia turun dari pangkuan Jacob lalu duduk di sebelah pria itu. Menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan membiarkan kedua kaki jenjangnya berada di paha Jacob. Salah satu tangan pria itu menggenggam jemari halus Hera dan satunya lagi mengeluskan kaki Hera dengan sayang.

Alice dengan wajah tebal mendekati mereka dan duduk di sofa seberang. "Ini pertama kalinya kita bertemu. Siapa namamu?"

"Siapa dia bukanlah urusanmu," Hera menjawabnya dengan malas.

"Hera, ayahmu berpesan pada—"

Hera segera berdiri dengan wajah tenang. "Dengar, jangan pernah ikut campur dalam urusanku."

"Tapi, Hera— Hera, tunggu!"

Hera tidak mendengarnya. Ia segera menarik Jacob ke atas menuju kamarnya. Menutup pintu, Hera segera melepaskan sepatunya.

"Apa dia kakakmu?" tanya Jacob.

Hera mendengus kesal. "Aku tidak memiliki kakak perempuan."

Saat Jacob ingin bertanya lagi, Hera sudah menghentikannya. Hera mengalungkan tanganya di leher Jacob dan menatapnya dengan wajah imut.

"Jangan membahas dia lagi, oke?"

Jacob tersenyum. Ia memegang pinggang Hera dan membawa wanita itu menuju tempat tidurnya. Jacob kembali menciumnya perlahan. Ketika ingin membuka kancing pakaian Hera, sebuah suara kembali menginterupsi mereka. Namun kali ini bukan suara wanita melainkan pria.

"Jika kau berani membuka baju adik perempuanku, aku akan mengirimmu ke neraka."

Ergh sial. Hera mengerang dalam hati.

*TBC*

Jangan lupa follow akunku Riri Lidya dan juga instagramku: ririlidya7

Suka chapter ini? Mau aku rajin update???

Vote ⭐️ spam komen 💬 dan share ⌲

Happy reading, Loves!

Riri Lidya:*


VENUS [#5 Venus Series]Where stories live. Discover now