30. Luka baru

129 12 0
                                    

"Aku sudah meninggalkan kehidupan lama ku, Novita! Demi kamu dan Ghea!"

"Bukankah itu pilihanmu? Kenapa kamu selalu mengungkitnya?" Novita tidak terima dengan bentakan Dian.

"Aku juga ninggalin kehidupan ku! Kamu egois! Kamu selalu saja menyalahkan ku!"

"Dengar! Aku sudah lelah dan kamu semakin membuatku muak!" Dian mengusap wajahnya dengan kasar.

"Muak?! Kamu lucu! Kalau begitu kenapa kamu tidak pergi saja?"

"Baik! Aku pergi! Ghea bersama ku!" Dian semakin naik pitam.

"Tidak! Ghea putri ku! Kamu tidak bisa membawanya! Dia bersamaku!"

"Dia putri ku juga! Semuanya selalu saja semaumu!"

"Semauku? Ini semua mau mu!"

Dian menghela nafasnya.

"Saat Ghea sembuh, kita putuskan dengan siapa dia akan ikut!" Ucapnya dan langsung keluar.

Novita melemparkan gelas sampai pecah. Dia kemudian terisak meratapi nasibnya.

Jam dua dini hari itu terasa sangat mencekam. Suara pecahan dan isak tangis Novita mengisi kesunyiannya.

Ghea menutup mulutnya dan dengan satu tangan lagi menekan dadanya yang ngilu.

Dia menangis tanpa suara.

Pertikaian itu terdengar jelas di telinganya. Kenapa orangtuanya berdebat lagi? Ternyata keharmonisan selama ini hanyalah drama. Ghea mengutuki kehidupannya yang penuh luka.

***

"Ghea sayang, sarapan dulu."

Ghea yang baru turun dari tangga menoleh ke meja makan. Dia tidak peduli dan langsung mengenakan sepatunya.

"Ghea gak selera," ucapnya kemudian dan langsung keluar.

Novita terdiam.

Dian tidak melanjutkan makannya dan langsung mengejar Ghea.

"Ayo, sayang.bKita bareng aja," ucap Dian.

Ghea diam dan langsung duduk di kursi belakang.

"Kamu kenapa, tuan putri?" tanya Dian.

Ghea hanya diam dan menatap keluar.

Dian merasa khawatir. Tidak biasanya Ghea duduk dibelakang. Dia khawatir Ghea mendengar perdebatannya dengan sang istri.

Sampailah mereka di sekolah Ghea masih dengan keadaan sunyi. Putranya benar-benar tidak mengatakan apapun bahkan saat dia bertanya.

"Hati-hati sayang, semangat belajarnya!" Ucapan Dian hanya dibalas dengan suara pintu mobilnya yang dibanting.

Dian kecewa. Dia takut kehilangan permata berharganya itu. Dia menyesali segala masa lalunya, dan menyesali sesuatu yang baru terjadi itu. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain berharap Ghea bisa sembuh. Apapun akan dia lakukan untuk Ghea.

Ghea langsung memasuki kelas dan mencoba menutupi wajahnya yang mulai dari tadi menahan tangis. Dia hanya bisa berpura-pura tidur untuk sekarang.

"Loli! Tega lo ninggalin gue," ucap Nathan yang baru tiba.

"Hmm." Ghea berdehem kemudian mengubah posisinya agar bisa melihat ke arah luar.

"Sakit lo? Tumben gak menggonggong," tanya Nathan duduk disebelah Ghea.

"Gak panas," lanjutnya setelah memegang kening Ghea.

Ghea tidak ada teman bicara meskipun dia punya banyak teman. Dia ingin bercerita untuk melonggarkan kesesakan yang mencekam nafasnya itu.

Itulah resiko seorang yang friendly. Semua teman, namun tidak semua teman bicara. Jangan salahkan mengapa yang ceria sebenarnya adalah orang yang paling hebat menutupi segala lukanya.

"Lo marah ya? Berantam sama siapa? Biasanya kan gue," tanya Nathan.

"Gue ngantuk," gumam Ghea tidak jelas.

"Oh, ya udah bobo. Nanti gue bangunin kalo guru dateng."

Ghea menghela nafas panjang. Mengulanginya berkali-kali sampai dia merasa sedikit longgar, dan sampai berani mengangkat kepalanya.

"Gue mau bolos," ucapnya kemudian.

"Gak! No! Gak boleh!" Nathan menghalangi.

"Udahlah, Than! Gue mau buang beban pikiran gue," ucap Ghea mengambil tasnya.

"Lo cepu, gue bunuh!" Ucapnya kemudian pergi.

Nathan menatap Ghea. Tidak ada alasan yang membuatnya untuk menahan Ghea. Dia tidak tahu kenapa Ghea tidak bersemangat seperti biasanya.

Kini Ghea berada di bus.

Dia hanya menatap kosong keluar dan menyenderkan kepalanya ke kaca. Matanya sudah pedih. Dia harus menahannya, setidaknya sampai dia tiba ke tujuannya.

Luar kota, kota neneknya yang dingin. Dia ingin menangis di batu nisan itu.

Neneknya adalah orang satu-satunya tempat menangis Ghea. Dia tidak perlu drama jika bersama wanita penuh kasih yang sudah kembali kepada sang pencipta itu.

"Nenek salah. Ghea bukan karunia, Ghea cuma beban," gumamnya dengan air mata yang mulai membasahi pipi.

Your Best FriendDonde viven las historias. Descúbrelo ahora