20. Big miss

109 11 0
                                    

"Dad! Buru! Bel Uda bunyi." Mereka tidak sempat pulang lagi ke rumah. Keluarga itu baru tiba di sana, namun putri semata wayangnya bersikeras ingin bersekolah.

Ghea mencondongkan tubuhnya dan mencium kedua orangtuanya. Dia langsung turun dan berlari menuju kelasnya.

"Nathan!" Sapanya langsung memeluk pria itu.

Nathan berbalik dan memeluk Ghea.

"Dari mana aj lo, tai?"

"Biasa! Healing," kekeh Ghea.

"Buru, nanti kita terlambat!" Ucap Ghea sembari meninggalkan Nathan.

Nathan marah tapi Ghea tidak peduli. Yang dia pedulikan adalah bahwa Nathan pasti merindukannya. Dia tidak boleh lemah dan menunjukkan bahwa dia menyukai Nathan untuk saat ini.

"Ghea!" Sekelasnya berbondong-bondong menghampiri Ghea.

Mereka melayangkan pertanyaan dan langsung memelukinya.

  Waktu pun berlalu dan jam pulang sudah tiba.

"Loli! Lo jangan ngilang tiba-tiba deh! Buat khawatir aja," ucap Nathan.

Ghea tersenyum bahagia dibuatnya. Pria yang dia cintai khawatir padanya.

Mereka berhenti di lampu merah.

"Es!"

Nicho yang berhenti tepat di samping mereka menoleh.

"Lo khawatir sama gue gak?" tanya Ghea.

Nicho mengangguk.

"Bagus! Berarti lo masih manusia," ujar Ghea.

Mereka pun kembali melaju dan sampailah mereka di markas. Tidak bisa dipungkiri jika mereka memang merindukan pembuat onar itu.

"Bocil!" Sapa mereka saat motor Nathan dan Nicho baru masuk.

Ghea melompat turun.

"Anak-anak bunda, baru seminggu ditinggal udah pada gede," ucap Ghea. Dia menyalami mereka seolah-olah dialah ibunya.

"Dari mana aja, cil?"

"Healing. Nanti bunda bawa kalian semua, deh," jawab Ghea. Dia meninggalkan mereka dan ikut masuk.

"I'm home!"

Semua berlari menghampiri suara yang menghilang selama satu Minggu itu.

"Bocil!" Ucap Bram langsung memeluk Ghea.

"Utututuuu ...." Ghea membalas pelukan Bram yang hangat itu.

"Ghea?" Devan berlari dan menghampiri mereka. Dia mendorong Bram dan langsung memeluk Ghea.

"Jangan ngilang kayak Laa, dong!" Ucap Devan penuh rindu.

"Van! Ya... van..., gue gak bisa nafas," ujar Ghea kesusahan karena pelukan erat itu.

Devan melepas pelukannya dan memegang bahu Ghea.

"Lo darimana aja, hah? Pergi gak ngasih kabar! Tolol lo!" Marahnya. Devan kembali memasang wajah sangarnya.

"Healing. Ga ada jaringan," balas Ghea.

Devan menghela nafasnya.

"Duduk, lo harus cerita. Kita capek nyari lo," ucap Devan.

"Kok nyariin aku? Kalo aku gak pamit keluar biasanya daddy ngelapor ke polisi. Gue kan keluar sama daddy dan mommy," jawab Ghea.

"Otak lo!" Kesal Nathan.

"Kita keluar kota karena ada urusan sama kerabat. Sekalian healing,” jelas Ghea berbohong.

Semua menatap Ghea khawatir. Mereka tidak mungkin mengatakan jika dirinya dicari Alex juga.

"Gue kira lo mati," ucap Hans.

Ghea cengingisan. Memang benar dia hampir mati.

"Kalo gue mati, lo yang duluan gue hantuin. Sayangnya gue gak mati," balasnya.

"Lo kan kucing, cil! Mana bisa mati, nyawa lo banyak," ucap Revan.

"Tapi Ghea!..." Mereka menatap Ghea. Gadis itu mengangkat telepon yang menghentikan pembicaraan mereka.

"Dimana?"

"Di luar, mom. Ada Nathan, kok."

Nathan menoleh. Ghea selalu saja menyebut dirinya agar bisa keluar.

"Masih lama? Orang ini tiba-tiba pengen jumpa kamu, katanya rindu!"

Ghea tertawa.

"Ada kak Naya? Nanti habis ini Ghea ke toko deh!"

"Iya. Uda minum obat?"

"Udah." Ghea berbohong.

"Ghea mau brownies semalam, ya mom," kata Ghea memelas.

"Kan jauh belinya. Nanti mommy cari in deh."

"Oke! Love you mom!" Ghea mematikan ponselnya.

"Apa tadi?" lanjut Ghea.

"Lo sakit?" tanya mereka.

Ghea menggeleng tapi mata mereka tertuju pada kasa ditangan kiri Ghea yang terlihat karena jaketnya yang tertarik.

"Sebenarnya gue kecapean, jadi harus di infus." Ghea berbohong lagi. Tapi setidaknya kebohongannya benar.

"Biasanya lo bau melati. Gue heran tiba-tiba bau obat," ucap Bram.

"Anjing! Lo kira gue hantu apa?"

"Mirip sih," ujar Bram terkekeh geli melihat Ghea yang kesal.

 "Eits, tahan! Bekas gigitan lo minggu lalu belum sembuh!" Bram menyilangkan tangannya karena takut.

"Apa lagi sih?!" Ghea heran dengan telepon yang tiba-tiba masuk lagi.

"Apa?"

"Ihh! Kek macan lo! Gue bunuh lo lama-lama!" Ucap Nasrini dari sebelah.

"Hehehe... Apa istriku?" tanya Ghea.

"Lo ga ada kabar, gue khawatir."

"Gue baik-baik aja!"

"Bagus! Lo harus ikut gue sekarang, gue mau nyiksa lo sekalian kita nonton ke bioskop."

"Gak mau! Tontonan lo buat mual, jijik gue!" tolak Ghea.

"Halah, nanti lo suka juga! Tapi gue memang mau ngomongin sesuatu sama lo."

"Oke, tapi besok yah! Kita bolos," ucap Ghea dan mematikan ponselnya.

"Nasrini?" tebak Nathan. Dia tahu Ghea dan Nasrini terkadang saling menyebut kata istri untuk candaan.

Ghea mengangguk. Beruntung dia tidak menyalakan speaker seperti sebelumnya, dia tidak mau orang-orang tahu kebiasaan spesial temannya itu.

Ponsel Ghea kembali berdering.

"Jangan dibanting!" Sontak mereka khawatir karena Ghea mengerang yang kesal.

"Sini gue yang angkatin satu persatu," ucap Bram meraih ponsel Ghea.

"Permisi, Gheanya sibuk. Dia baik-baik aja, kok." Bram menjawab panggilan itu dan mematikan telepon.

"Gitu caranya, sayang. Emosi lo, tahan dikit," ucap Bram.

"Gue cari makan dulu. Lo harus minum obat," ujar Nathan.

"Iya makasih, nyet. Sekalian jajanannya yah, Than!"

Your Best FriendWhere stories live. Discover now