27. Jangan sampai terlambat

118 7 0
                                    

"Nicho, kamu jangan dingin kayak bunda kamu dong! Ayah udah cape ngejar Christine, kamu malah nerusin sifat dingin dia!" Brama sedikit kesal dengan putranya yang datang diam dan kini ingin pulang tetap diam juga.

"Iya, ini Nicho mau pulang. Nicho pamit." Nicho hanya terpaksa. Dia memang sangat malas untuk bicara.

"Kalo kamu gak pulang minimal sekali dua hari, rumah kamu ayah gusur!" Ancam Brama.

"Iya." Nicho masih malas berdebat dengan ayahnya.

Brama mengantarkan Nicho keluar dari ruangannya. Rumah sakit ini memang milik sang ayah.

Dia melihat Nicho berhenti. Putranya menatap heran Dian dan keluarganya yang baru saja memasuki lift.

"Kenapa Ghea disini?" gumamnya.

"Oh, kamu kenal?" Tanya Brama dan Nicho mengangguk.

"Ayah kasihan sama dia. Putri Dian masih muda dan ceria, semoga saja dia bisa sembuh. Dia teman kamu, yah?"

Nicho menatap ayahnya dengan serius.

"Ghea kenapa, yah?" tanya Nicho khawatir.

"Masuk dulu lagi, biar ayah kasih tau." Mereka pun kembali ke ruangan sang Brama.

"Ghea kenapa, yah?" tanya Nicho.

"Penyakit jantung bawaan," jawab Brama membuat Nicho terkejut.

"Keluarga mereka memang mencoba merahasiakannya dari semua orang," lanjutnya.

Nicho masih tidak bisa berkata-kata. Dia menatap serius ayahnya yang tidak sedang bercanda itu.

"Jantungnya lemah sejak dia masih bayi. Atrial Septal Defect! Dia juga pernah operasi penggantian katup empat tahun yang lalu," jelasnya membuat Nicho semakin membisu.

"A-ayah gak lagi becanda, 'kan?" tanya Nicho terbata.

Brama menggeleng. Dia tahu putranya dingin seperti istrinya. Melihat kekhawatiran Nicho, mengertilah dia bahwa putranya itu dekat dengan Ghea.

"Kamu semangatin Ghea, yah. Dulu ayah sama Dian itu teman SMA. Gak nyangka anak kami juga temanan," ucap pria paruh baya itu.

Nicho terdiam.

"Yah, Nicho mau pulang. Hmm... apa penyakit itu memungkinkan ..." Nicho tidak melanjutkan perkataannya. Sebagai seorang yang ingin menjadi dokter, sedikit-sedikit dia sudah mempelajari dunia medis.

"Keajaiban, doa dan harapan. Juga dorongan dari orang-orang disekitarnya," balas Brama.

***

Ghea menatap punggung Nathan yang mengemudi.

"Tumben lo gak rewel," ucap Nathan.

"Lagi gak mood," balas Ghea dingin.

"Kenapa? Ini kan gak jadwal tamu bulanan lo." Nathan heran dengan sikap Ghea akhir-akhir ini.

"Gue gak boleh lengah! Gue harus jujur! Tapi kapan gue punya keberanian?" Batin Ghea mulai berkecambuk.

"Hello my Loli?"

"Than... gue .., gue laper, Than!"

"Kebiasaan banget lo nge-skip sarapan. Nanti di kantin aja." Nathan terdengar kesal dan khawatir seperti biasanya. Setidaknya itu membuat Ghea sedikit tenang.

Ghea menyandarkan kepalanya ke punggung Nathan. Andai saja dengan begitu Nathan langsung bisa membaca perasaan Ghea.

Sesampainya di sekolah, mereka langsung ke kantin.

Ghea menyantap santai makanannya.

"Lo jangan belepotan, Loli," ucap Nathan sembari membersihkan ujung bibir Ghea.

"Apa masih ada kesempatan?" batin Ghea.

"Nanti mau ikut ke markas, gak?" tanyanya.

"Gue les! Tapi yaudah, tinggal bolos." Ghea setuju.

"Gak! Gak boleh bolos!"

"Hidup cuman sekali, Than! Gue mau nikmatin! Siapa yang tau kalo besok gue mati?" ujar Ghea santai.

"Lo betul! Tapi gak bole nyianyiain waktu yang tersisa." balas Nathan tegas.

"Iya!" Ghea masih mencoba terlihat santai.

***

"Bocil!"

What's up, kesayangan bunda?” Ghea membalas sapaan mereka dengan semangat.

"Dua hari ini dari mana aja, cil?" tanya salah satunya.

"Biasa. Bunda sibuk nyari rupiah," balas Ghea. Dia kemudian mengikuti Nathan masuk ke dalam.

"Yavan!" Sapanya pada Devan yang sedang sibuk dengan tabletnya.

"Ini nih! Penyemangat gue," ucap Bram menyambut Ghea.

"Dari mana aja?" tanya Devan menepuk kursi disampingnya agar Ghea duduk disana.

"Gue ada urusan. Ngapain lo?" tanya Ghea sembari mengintip tablet Devan.

"Biasa, gue sibuk." Devan menunjukkan tabletnya yang berisi dokumen-dokumen.

"Ni markas kok sepi kayak kuburan?" tanya Ghea.

"Makanya lo harus datang biar rame." Devan mematikan tabletnya.

"Bram, lo lapar gak?" tanya Ghea.

Bram menggeleng. "Gak," jawabnya sambil menoleh.

"Tapi gue laper," ujar Ghea.

"Beliin sesuatu yang asam tapi pedas dong," pintanya.

"Bakso bakar kayaknya enak juga!" Lanjut Ghea membayangkan makanan semua itu.

Bram menggeleng.

"Gak, gue sibuk!" Brama menolak.

Ghea menoleh ke Hans.

"Apa?" tanya Hans dingin.

"Beliin dong," jawabnya.

"Selama lo gak disini rasanya tenang banget. Sekarang gue tersiksa lagi."

"Oh! Mau gue siksa benaran lo?" Ghea mulai kesal.

"Ada yang lain?" tanya Hans membuat Ghea tidak jadi marah.

"Gak, gak tau nanti. Makasih, beb. Bunda makin sayang, deh," ucap Ghea sumringah membuat geleng-geleng.

"Makan lo yang sehat dikit," ucap Devan gemas.

"Iyah. Yang lain mana? Gue pengen ledakin markas ini. Sayangkan kalo semuanya gak disini?" tanya Ghea.

Tidak ada Nicho, Gabriel, dan Revan. Anggota lain juga terlihat sedikit kali ini.

"Ada misi. Lo mau semangka, gak? Biar gue ambilin," tanya Bram dan langsung pergi. Dia kembali lagi dan membawa nampan berisi potongan semangka.

"Lo baik banget. Pengen gue jual," ucap Ghea dan memakan semangka itu.

"Cil! Lo punya dendam ya sama gue? Tega lo ngejual gue." Bram menggerutu dan pergi ke luar. Dia memang sedang sibuk. Jika tidak, dia akan membantu Ghea mengganggu yang lain.

Your Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang