23. Kecewa

119 7 1
                                    

Ghea merapikan rambutnya yang ditiup angin lembut.

Dengan dress coklat muda dan topi baret coklat tua, dia berjalan santai menuju salah satu kursi di taman itu.

Dia mengambil kaca kecil di tasnya dan menata kembali poni tipisnya. Tidak lupa menyemprotkan kembali parfum dengan aroma Vanilla Serynenya yang baru, alih-alih dengan parfum soft strawberry yang biasa dia gunakan.

Dia berharap penampilannya kini membuat pandangan Nathan berbeda. Semoga saja Nathan menaruh hati padanya, dan terbalaskan lah perasaan Ghea yang sudah dia pendam sejak lama itu.

 Lima tahun lamanya dia menaruh hati pada Nathan. Pria yang menjadi pusat cintanya itu tak kunjung peka dan membalas perasaan Ghea.

 Benar saja, Ghea tidak pernah berani jujur tentang sesuatu yang selalu saja menggetarkan hatinya. Dia selalu bertanya-tanya, apakah Nathan mencintainya? Kapan perasaan ini terbalaskan? Tidakkah dia mau persahabatan mereka melangkah lebih jauh lagi?

Ghea melihat jam di ponselnya.

Udara yang sedikit menusuk sore ini, tidak mampu membuat Ghea gentar. Dia sangat bersemangat untuk menghabiskan waktu dengan Nathan.

 Mungkin saja sebuah keajaiban terjadi. Ghea berharap peri cinta berpihak padanya kali ini. Semoga saja benang merah itu ada diantara dirinya dan juga Nathan.

 Ghea berdiri. Dia melangkah ke ayunan disana dan mulai bersantai.

 Merasa bosan dengan itu, dia menonton anak-anak yang bermain bola di lapangan kecil taman itu.

 Ghea menghela nafasnya. Langkahnya kini tertuju pada kursi tadi. Dia duduk dan kembali melihat jam di ponselnya.

Satu jam, dua jam, dan tiga jam. Nathan benar-benar tidak datang.

Ghea menatap kosong kedepannya.

Hatinya sakit.

 Apa girangan yang menghalangi pujaan hati itu sehingga mengingkari janjinya? Kenapa dia tidak mengabari sama sekali?

Awan gelap datang dengan segera. Taman yang biasanya digunakan untuk menikmati cahaya senja matahari yang memanjakan mata, seolah-olah mewakili kabutnya hati Ghea.
 
Kecewa, dia sangat kecewa.

 "Lo jahat, Than," lirihnya dengan air mata yang mulai mengalir deras.

Semua orang berlarian untuk berteduh. Hujan turun dan tinggallah Ghea sendiri disana.

Dia merasa seperti orang bodoh. Entah kenapa dia tidak mampu lagi berdiri dari sana. Kakinya terasa begitu kaku.

Dadanya sesak. Dia menangis tanpa terisak. Bahkan hujan yang membasah kuyupkan dirinya, kalah oleh airmata Ghea yang tak kunjung berhenti.

Hampa, kesal, amarah. Perasaan itu berkecamuk di benaknya.

Ingin sekali dia berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan kesesakan itu.

Hujan itu akhirnya reda. Ghea masih enggan untuk pergi dari sana.

Tenggorokannya terasa sangat sakit. Dia menghirup udara yang banyak dan menekan dadanya yang sakit, berharap sesak itu segera pergi.

Ghea bangun. Mulai menelusuri dan keluar dari taman yang sudah basah itu.

Pandangannya kosong. Dia merasa seperti abu yang akan diterbangkan ke mana saja oleh sang angin.

 Nicho menatap heran gadis di seberang dari kaca mobilnya. Dia memperjelas penglihatannya dan terkejut saat mengetahui siapa itu.

 "Ghea?” Dia berlari dan menghampiri Ghea.

 "Ghea," panggilnya seraya memegang pundak Ghea.

Ghea menundukkan kepalanya.

 Nicho menatap Ghea. Gadis dengan pakaian basah kuyup itu hanya diam. Dia terlihat melarat seolah-olah telah dicampakkan seluruh dunia dengan wajah penuh luka itu.

  “Ada apa, Ghea? Lo baik-baik, aja?"

 Ghea masih membisu. Mulutnya terkatup rapat tak sanggup mengeluarkan kata-kata.

 "Gue antar lo pulang, yah," ucap Nicho sembari menggandeng Ghea menuju mobilnya.

Sambil menyetir Nicho mencuri pandang. Gadis yang duduk disampingnya masih diam saja. Itu membuatnya benar-benar khawatir.

"Jangan kehujanan lagi, yah. Lo bisa sakit," ujar Nicho.

"Mm." Ghea bergumam pelan, benar-benar nyaris tak terdengar.

Mereka pun tiba. Ghea hanya diam dan menunduk sepanjang perjalanan.

"Lo masuk baru gue pulang," ucap Nicho setelah mereka sampai di depan rumah Ghea.

 Ghea masih diam dan tidak mau turun.

 Dia melihat rumahnya yang masih tertutup, menandakan orangtuanya yang belum pulang. Kemudian menoleh ke rumah Nathan. Motornya tidak disana, berarti Nathan juga belum pulang.

Nicho mengulurkan tangannya dan menyentuh bahu Ghea.

"Lo bisa masuk angin. Habis ini langsung mandi, terus minum air hangat, makan, baru bobo nyaman," ucap Nicho.

 "Bayi, lo bisa cerita apa aja sama gue," lanjutnya.

 "Makasi uda nganterin gue. Hati-hati," ucap Ghea dan turun dari mobil.

 Nicho memastikan Ghea masuk dengan aman sebelum melajukan kembali mobilnya.

Your Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang