HEROIN

By ayurespati

1.9M 145K 59.9K

Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tid... More

HEROIN - CANDU
1. The Cold Princess
2. Sepasang Masa Lalu
3. Jaminan Bahagia
4. Endorse Mantan
5. Yang Tertinggal
6. Menelan Kenangan
7. Luka Masa Lalu
8. Cincin Pengikat
9. Selalu Ada Jalan Pulang
10. Dinding 10 Tahun
11. If You Really Care
12. LURUH
13. Merajut Kenang dan Harap
14. Back to You
15. End The Day with You
16. The Kiss
17. Rasa Mendua
18. Tak Bersekat
19. Own You
20. DUA SISI
21. Mencinta
22. Bukan Ramayana
23. Enganged
24. Just Him
25. Consequences
26. Badai
27. Bersama
28. HEROIN
29. Melawan Dunia
30. Best Friend's rule
31. LABELING
32. Terungkap
33. Deal with Problems
34. Asing
35. The Guardian
36. Guardian Angel (2)
37. It is Decided
38. Transisi
39. Not a Cinderella
40. Jauh
41. Ujung Tanduk
42. Mendarah
43. Where's Your Prince?
44. Pemeran Utama
45. Something Between Us
46. Benteng Hati
47. Harap
48. Terombang - Ambing
49. Comeback
50. We aren't we
51. Jodoh?
52. Mutual Feeling
53. What is Love?
SPIN OFF HEROIN
Extra Part Heroin x Antidote

54. LOVE YOURSELF (END)

71.6K 3.2K 1K
By ayurespati

Arsen tidak pernah berubah. Bahkan di saat seperti ini pun, tindakannya selalu manis.

Hanya saja, Moza sudah mulai menyaring hal-hal manis dari sahabatnya itu. Layaknya makanan, ada sesuatu yang murni manis, ada pula rasa manis karena pemanis buatan. Yang kebanyakan berubah menjadi rasa pahit.

Kalimat Arsen barusan memang terkesan manis. Namun, semuanya semu dan hanya berujung kepahitan.

Sudut mata Moza menangkap bayangan Romeo yang berjalan memasuki mobil. Keduanya tengah berada di parkiran gedung perkantoran yang menyatu dengan mall. Tadinya Moza membawa kendaraan sendiri, tapi sialnya ban mobilnya malah kempes dan ia tidak punya banyak waktu untuk menunggu sampai bannya selesai diganti dengan ban cadangan.

Moza kembali menatap layar ponselnya, lebih seperti melamun alih-alih mengetikkan balasan.

"Moz, are you ok?" tanya Romeo, yang kini sudah masuk ke dalam mobil dan mendapati Moza terpaku dalam raut sendu.

Alih-alih menjawab pertanyaan Romeo, Moza justru terngiang kalimat sahabatnya.

Beat a bunch of bastard?

Oh, really? Moza tersenyum pahit.

Matanya lantas mengarah ke Romeo, yang masih menatap ke arahnya.

Then come here. I'm with bastard right now.

Come here. Beat him and grab my hands away from him.

Moza berbisik dalam hati. Terus berbisik. Hingga tiba-tiba matanya memanas.

"Moz? Something happen?" tanya Romeo lagi, ketika mata Moza mulai berlinang. Romeo hendak membuka mulutnya lagi, ketika akhirnya Moza lebih dulu bersuara.

"Kiss me."

"What?"

"Just shut up and kiss me..." pinta Moza dengan napas tersengal. Dan ketika Moza membuka mulut untuk meminta ke sekian kalinya, Romeo lebih dulu membungkam suara perempuan itu dengan bibirnya.

Mata Moza terpejam. Dalam hatinya, terus berbisik kalimat...

Kiss me until he comes. Kiss me until he shout my name and drag me away from you. Kiss me until he comes...

Namun, tidak seperti sebelumnya-sebelumnya... Arsen tidak pernah datang. Tentu saja. Semua orang waras juga tahu Arsen sedang terbaring di rumah sakit. Dirinya saja yang berharap, mungkin karena ia sudah tidak waras.

Tangan Moza meraih tengkuk Romeo, memperdalam ciuman. Dalam decap bibir yang saling beradu, Moza mengganti untaian kalimat dalam batinnya.

Bila ciuman ini tidak sanggup mendatangkannya, setidaknya cium aku sampai rasa sakit ini hangus terbakar gairah.

****

Setelah mengetahui cara pandang papanya dan memilih untuk melakukan dengan caranya sendiri, lantas apa yang Arsen lakukan?

Memilih dan memutuskan dengan siapa ia akan menjalani kehidupan romansa?

Tentu saja tidak. Memangnya siapa Arsen, sampai seenaknya memilih wanita?

Arsen hanya belajar. Membiarkan kesendirian menyadarkannya akan perasaannya terhadap perempuan...

Arsen mencintai Mia dalam kadar romantisme yang begitu tinggi. Berhasrat ingin mengayomi dan membahagiakan. Yang saking besarnya, hingga membuatnya sanggup mengalah untuk berjalan sendirian tanpa adanya sosok Mia di sisinya. Merangkum cinta itu hingga mengkristal dalam dadanya, asal Mia tidak tersiksa lagi.

Sementara pada perempuan lain, yang dalam hal ini adalah Moza, Arsen menyayanginya dalam kadar yang melebur di antara dua ranah. Lebih dari teman, tapi juga tidak bisa dipaksakan sebagai pasangan. Doktrin bahwa Moza adalah sahabatnya, yang tidak selayaknya ia pandang dalam lingkup hasrat sebagai laki-laki, mengakar dalam dirinya kuat-kuat. Membentangkan jarak dan tabir tak tertembus, bahwa hubungan mereka hanyalah sebatas pertemanan.

Pertemanan. Arsen menyadari bahwa hubungan itu memiliki sedemikian aturan dan batas yang seharusnya mulai ia perjelas. Karenanya, ia tidak akan bertindak di luar batas dengan dalih melindungi sahabatnya itu. Ia percaya, Moza adalah dewasa yang bertanggung jawab dengan segala keputusannya.

Berhari-hari setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan berangsur pulih, Arsen kembali menjalani rutinitasnya. Berkonsentrasi meraih tujuan-tujuan lain, serta membiasakan diri untuk menerima apa yang ia miliki.

Arsen kembali ke unit apartemennya setelah mengambil kiriman paket dari lobi. Paket itu berukuran cukup besar dan dikemas dengan kertas cokelat. Begitu masuk, ia segera merobek kertas pembungkus kiriman tersebut, hingga perlahan isinya mulai terlihat.

Sebuah lukisan. Karya Mia.

Diangkatnya lukisan itu, lalu mengamatinya sebentar. Lukisan itu menggambarkan hutan dengan satu pohon besar menonjol, dari sekian pepohonan di sekitarnya. Pada pohon itu, berdiam sosok wujud perempuan seperti peri. Perempuan itu begitu cantik, kulitnya berkilau. Beberapa sisi tubuhnya yang bersemu hijau, menyatu dengan sulur-sulur tanaman.

Arsen meraba lukisan itu, mengingat dongeng yang pernah diceritakan Mia dulu. Sesuatu seperti mengerubungi dadanya. Sekelebat momen kala itu pun terbayang lagi. Akhirnya, ia meletakkan lukisan itu. Kemudian meraih sepucuk surat yang terselip di sana.

Ia mengambil tempat di sofa ruang tamunya. Diawali tarikan napas agak panjang, Arsen mulai membaca isi surat tersebut.

Apa kabar, Sen? Aku harap kamu baik. Selalu baik. Karena di sini aku juga begitu.

Udah lihat lukisannya? Akhirnya aku berhasil menyelesaikan lukisan itu, setelah dulu sempat tertunda.

Aku ngirim ini bukan maksud apa-apa. Cuma pingin ngasih tau kalau aku ngelukis lagi. Dan untuk lukisan pertama ini, kebetulan kamu lah penerima yang paling tepat.

Beberapa waktu ini, aku ketemu orang-orang baik. Awalnya cuma sharing pengalaman. Lalu berlanjut ngebuka jalan aku buat ketemu orang-orang baik lain. Kamu tau RuangUsaha? Aku jadi BA mereka sekarang. Bekerja dengan mereka menyenangkan, aku bisa belajar banyak.

Sen, waktu dan peristiwa mendewasakan aku. Termasuk kamu.

Kamu yang datang di saat-saat terbawah hidupku. Kamu yang melihat aku dengan berbeda. Kamu yang asing dan mendekat di saat yang lain menjauh. Kamu yang berani masuk dan bertindak saat yang lain hanya diam menatap. Kamu yang segarang itu waktu menghadapi orang, tapi lembut luar biasa di depanku.

Kita yang muda, berpisah karena nggak berdaya. Kita yang tumbuh dewasa, nggak menyadari bahwa waktu ternyata nggak mampu membendung kita yang masih berharap. Sampai akhirnya kita ketemu lagi.

Dulu aku bingung. Kenapa kita harus ketemu lagi? Aku bingung. Antara benci kenapa dipertemukan. Tapi juga benci kenapa pertemuan itu terlambat. Saat semuanya makin rumit. Sampai akhirnya kita mutusin buat bareng-bareng lagi.

Aku bahagia, Sen. Dalam waktu yang singkat sama kamu, kamu memperlakukan aku dengan baik.

Sayangnya, jatah kita mungkin hanya sampai di waktu yang pendek itu. Jatah kita untuk belajar dan mendewasakan diri bersama, cuma sesingkat itu. Selebihnya, kita akan lebih mudah kalau berjalan masing-masing.

Dan aku akhirnya mengerti. Kenapa kita dipertemukan lagi. Untuk menyelesaikan semua yang belum usai. Mengikhlaskan semuanya tanpa memupuk harapan untuk bersisian lagi. Tanpa berusaha mencari jawaban dari segala bentuk kemungkinan dan pengandaian tentang kita yang dulu belum terjawab.

Kamu adalah bagian dari tahapan di hidupku. Aku nggak pernah menghapus atau menyesali semuanya.

Sekali lagi, makasih buat semuanya. Semoga kita berkembang jadi pribadi yang lebih baik.

Sincerely,
Mia.

Arsen diam sejenak. Meresapi kalimat-kalimat Mia, yang sebagian juga ia rasakan akhir-akhir ini. Ia pun melipat surat tersebut dan samar-samar teringat nama usaha rintisan yang disebutkan Mia tadi.

RuangUsaha? Arsen seperti pernah mendengar platform baru tersebut. Ia pun segera mengecek ponselnya dan melakukan pencarian. Dalam hitungan detik, muncul sederet artikel dan beberapa ulasan, juga video promosi.

Mata Arsen seketika pada salah satu video yang baru saja diunggah sekitar dua hari lalu, dengan Mia tampak sebagai tumbnail. Ia pun langsung menonton video promosi tersebut.

Benar, Mia ada di sana. Dengan wajah ceria memaparkan tentang RuangUsaha. Senyumnya kembali dan pembawaannya lebih percaya diri.

Arsen tersenyum, dadanya menghangat. Sudut matanya sedikit basah. Ia lega Mia bisa hidup dengan baik, sesuai janji yang mereka sepakati ketika mengakhiri hubungan asmara mereka.

Belum puas memenuhi rasa penasaran dan rindunya, Arsen memutar video lain yang menampilkan wawancara Mia dengan salah satu media, dengan Mia sebagai wajah dari RuangUsaha.

Lagi-lagi Arsen tersenyum. Namun berbeda dengan sebelumnya, yang dipenuhi keharuan, semangat Mia kali ini seolah menjadi cambuk yang memotivasinya untuk kembali hidup dengan lebih baik.

Apakah ini akhir dari kisah mereka?

Tidak ada yang tahu. Yang Arsen tahu, bila di masa depan terbuka kesempatan baginya untuk bersama Mia..., Arsen berjanji akan memperjuangkan wanita itu dengan cara yang benar dan mulia.

****

Antrian para undangan di depan pintu masuk hall dalam sebuah hotel berbintang, terhambat oleh salah satu pemuda yang tengah berdebat dengan petugas.

"Saya beneran diundang, coba cek daftar undangan sama KTP saya deh. Jangan main tarik-tarik gini dong! Kalo ada orang yang HP-nya jatuh ke toilet sebelum naik ke sini, gimana?" maki seorang pemuda usia belasan atau mungkin akan menginjak dua puluh tahun itu, ketika dipaksa menyingkir oleh petugas ketika tidak bisa menunjukkan undangan.

Mia, yang juga tengah berjalan melewati screening dari petugas di pintu masuk, tanpa sengaja menangkap pemandangan itu. Diperhatikannya pemuda yang kini mengenakan setelan jas warna navy. Perawakannya mirip sosok yang sangat dikenalnya, hanya saja dengan lebar bahu lebih kecil dan gaya rambut sedikit lebih gondrong.

"Biarin dia masuk." Mia berseru kepada laki-laki berseragam yang tampak kualahan mendebat ocehan pemuda itu. Baik petugas maupun pemuda itu, menoleh ke arahnya. "It's ok. Dia sama saya," imbuhnya.

Maka, pemuda itu pun langsung mengibaskan tangan petugas yang tadi berusaha mencekalnya, sambil melotot sebal. Mia mengulum senyum, ketika sosok itu menepuk-nepuk jasnya seolah baru saja tercemar sesuatu yang kotor.

"Thanks," ucap sosok itu ketika akhirnya berjalan di sisi Mia, yang dibalas anggukan saja oleh wanita itu. "Well, gue emang beneran diundang. Cuma kayaknya Papa lupa konfirmasi kalo yang dateng bukan dia sendiri, tapi gue. Sialan! Gue udah keburu ngotot kayak orang bego lagi. Udah gitu, pas gue telponin buat ngirimin lagi undangannya, nggak diangkat!" omel cowok itu, yang tak lain adalah adik Arsen.

"Jadi kamu sekarang mulai terlibat sama urusan papa kamu?" tanya Mia.

Enand mengangguk. "Arsen fokus sama kantor barunya, business consultant. Makanya gue yang ketiban ribet sekarang," jawab Enand. Pipinya sedikit memerah, menyadari ia baru saja mengoceh pada sosok yang sama sekali tidak akrab. Bahkan, sempat ia ibaratkan kerak bandel yang menempel pada kakaknya.

Mia mengangguk paham. Kemudian matanya menangkap sosok Pandu, salah satu founder RuangUsaha, bersama Sabda. Ia pun menoleh ke arah Enand.

"Aku ke sana dulu ya? Enjoy acaranya," ucap Mia dengan nada welcome yang hangat. Mengingat ia adalah bagian dari acara ini.

****

Lampu-lampu dalam hall yang semula terang, kini meredup ketika sebuah video rangkuman kesuksesan seseorang diputar. Video yang memotivasi itu menyita perhatian seluruh hadirin. Hingga ketika seorang pria yang yang tak lain adalah sosok dalam video tersebut akhirnya hadir di panggung, riuh tepuk tangan terdengar begitu meriah.

"We have a good time for reflection. Now, it's time to celebrate!" ujar pria itu, sebagai sambutan dibukanya acara.

"Ucapan terima kasih, saya haturkan kepada Bapak Menkop dan UKM yang bersedia hadir di acara ini, juga perwakilan dari organisasi usaha kecil yang ada di berbagai wilayah Indonesia. Selanjutnya, kepada rekan saya Pandu, selaku salah satu founder yang bersama saya mengeksekusi ide gila ini. Kepada tim saya, juga untuk Mia, sosok yang ada di depan, maupun di balik layar populernya platform dan komunitas kami," ucap Sabda, pria berusia awal tiga puluh itu.

Beberapa pasang mata sempat mengarah ke Mia begitu nama wanita itu disebut. Mia yang kali itu duduk di kursi undangan, tersenyum lembut. Wanita itu mengenakan dress merah dengan rambut ditata membentuk gelungan simple ke atas. Tampilannya begitu anggun, tanpa berusaha menutupi tatto di bahu belakangnya.

Acara ini merupakan peresmian besar-besaran kerja sama RuangUsaha dengan beberapa UKM. Di tempat duduknya, Enand yang diminta papanya untuk datang supaya bisa belajar dan berinteraksi dengan banyak orang-orang hebat dalam acara ini, ikut melirik ke arah Mia. Ia tidak menyangka mendengar sanjungan atas sepak terjang Mia, dari sosok yang memiliki kredibilitas seperti Sabda.

Sabda adalah sosok yang dikenal objektif, pendapatnya sering kali menjadi acuan. Jadi ketika ia mengatakan Mia memiliki peran penting, maka hal itu tidak bisa dianggap remeh. Enand menyesal pernah menatap Mia sebelah mata, sebagai figur yang hanya mengandalkan kemolekannya saja. Rentetan prestasi seolah tertutup oleh kontroversi yang menyertainya, apalagi jika pengakuan soal kehebatan Mia keluar dari mulut kakaknya, yang ia tahu sebagai "bucin" Mia nomor 001. Jelas Enand menganggap omongan itu hanya sampah. Namun kini, pandangannya terhadap sosok itu mulai berubah.

Usai beberapa sesi, acara pun sampai pada sesi ramah tamah. Para tamu menikmati hidangan juga bercengkrama dengan tamu-tamu lain yang duduk di meja berbeda.

"Waktu podcast pertama lo muncul, gue lagi di WC tau! Tiba-tiba sepupu gue gedor-gedor, nyuruh gue buka hape. Eh, ternyata elu! Nggak jadi berak, malah mewek gue!"

"Lebay lo!" Mia menyunggingkan senyum, mendengar celotehan Tonny yang saat ini tengah bergabung di mejanya. Keduanya kebetulan bertemu karena Tonny mendampingi aktrisnya yang juga diundang ke acara ini. Sejak melihat Mia kali pertama di sesi penyambutan tadi, cowok itu sudah berniat untuk ngobrol dengan mantan rekan kerjanya itu.

"Beneran! Sekarang lo sibuk apa deh?" tanya Tonny, sambil mencomot kue sus.

"Ya sibuk sama ini. Gue nggak cuma jadi BA. Tapi ikut di tim marketingnya. Podcast juga."

"Serius bagus sih podcast lo. Ngundang orang-orang nggak terkenal, tapi nggak biasa. Mulai dari cewek yang kasus video itu... sampe kemarin Tania yang punya Skylife kan?"

Mia mengangguk. Tangannya melambaikan tangan pada seseorang yang menyapanya sekilas. "Lo mau juga diundang?"

"Terus judulnya Deep Talk with My Ex Manager Who Dumped Me," seloroh Tonny.

Keduanya tergelak.

"Terus yang ngurusin lo sekarang siapa?"

Alis Mia terangkat. "Manager maksudnya?" yang dibalas anggukan oleh Tonny. "Nggak pake manager. Gue lebih sering sama timnya Mas Sabda soalnya."

Tonny kembali manggut-mangut. Tangannya kini mencomot kue pai mini yang tersisa di piring. "Lo kok bisa kenal Sabda sih?"

"Helen kenal Mas Sabda. Katanya, dia terinspirasi dari bisnis gue yang gagal. Gue iseng aja mau diajak ketemu pas awal. Penasaran juga. Ternyata cocok, jadinya kita kerja sama deh." Mia mencoba merangkai titik-titik dimana ia berusaha menghadapi masa sulitnya waktu itu.

Tonny tersenyum simpul. Matanya melirik ke satu titik di belakang Mia, mengisyaratkan Mia untuk mengikuti arah pandangnya. Di sana, Sabda tersenyum ke arahnya. Kemudian kembali melanjutkan perbincangannya dengan salah satu wakil dari kementerian.

"Demen sama lo kayaknya. Daritadi curi-curi lihat lo terus," bisik Tonny sembari mencondongkan kepalanya ke arah Mia.

Mia langsung mencubit lengan cubby temannya itu, lalu tersenyum sambil mengibaskan tangannya. "Siapa sih Ton, yang nggak demen sama gue?" candanya, yang langsung membuat Tonny mendelik.

"Kalo udah gini, yakin nih gue! Lo udah baik-baik aja. Mia is back! Ya gini ini harusnya Mia Luris!" seru Tonny. Keduanya pun tertawa.

Dada Mia menghangat. Ya, Tonny benar. Dirinya sudah baik-baik saja. Ia bahagia menjalani kehidupannya sekarang. Ilmu baru, relasi baru, lingkungan yang mendukung.... Perasaan senang mengalahkan sakit yang sempat menderanya.

Perkara cinta? Mia tidak ingin memikirkannya terlebih dulu. Begini saja sudah cukup.

------------------------TAMAT---------------------

Epilog dan Extra Part bisa dibaca di karyakarsa ya (ayurespati)

See you ~

Continue Reading

You'll Also Like

302K 8.1K 10
Sofia terpaksa menikah karena kesalahan fatal satu malam. Pernikahan tanpa cinta membuat wanita itu semakin menderita. Akankah Sofia mempertahankan r...
903K 44.1K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2K 137 4
"Pada kenyataannya semua ini bukanlah surga, melainkan neraka yang sengaja aku ciptakan sebagai ilusi."
6M 315K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...