"Aku..." Arsen melangkah untuk memperpendek jarak antara dirinya dan Moza. Ia menghela napas, lalu merogoh saku celananya. "Mau balikin ini. Ketinggalan di rumah."
Moza terpaku. Ditatapnya ikat rambut miliknya yang tertinggal di rumah Arsen tempoh hari. Ia mendekat, kemudian mengambil benda itu dari tangan Arsen.
Keduanya kembali terdiam. Hingga akhirnya, Arsen bersuara lagi. "Kamu udah makan?"
Moza mengernyit. Setelah datang malam-malam dan mengembalikan ikat rambut seolah benda itu penting sekali, Arsen menanyakan soal makan? Basa-basi apalagi ini?
"Udah. Sebelum lembur tadi aku udah pesen makan," balas Moza.
"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Arsen. Lirih, bahkan nyaris terdengar seperti hanya helaan napas. Lelaki itu kemudian menunduk.
"Sen," panggil Moza.
"Hm?"
"Kamu ngapain ke sini?"
Ada gerakan menelan dari leher Arsen, lalu tangannya bergerak mengusap dagunya yang ditumbuhi rambut tipis. "Aku lewat sini, jadi mampir."
"Kamu memang hampir tiap hari lewat sini, kan?"
Arsen mendengus agak keras, setengah tertawa. "Itu masalahnya. Aku lewat sini tiap hari tapi nggak pernah ketemu kamu."
Kening Moza mengernyit lagi. "Kamu mau ketemu aku, ada apa?"
"Apa harus ada perlu dulu, baru aku bisa ketemu kamu?" tanya Arsen balik, kini terdengar lebih lantang.
"Ya enggak," balas Moza. Detik setelahnya, ia berupaya menerjemahkan pesan yang coba disiratkan Arsen dari pertanyaannya. Namun, gagal. "Sen, poin kamu apa sih? Aku nggak ngerti."
Arsen menatap Moza beberapa saat. Kini posisinya sudah tepat di hadapan perempuan itu. Dalam kepalanya, ia menelisik. Mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan - pertanyaannya beberapa minggu ini.
Apa yang ia lewatkan selama ini? Perubahan apa yang tidak dilihatnya, karena jarak mereka yang terlalu dekat... juga kebersamaan yang menjadi kebiasaan?
Arsen mengamati mata bulat Moza yang memantulkan bayangannya. Moza kecil yang dulu selalu bersama orang tuanya, kini tumbuh dewasa. Selama ini, Arsen tidak pernah memandang Moza sebagai wanita yang ada untuk ia kagumi dalam bentuk romantis. Ia menyayangi Moza, menjagokan Moza dalam segala hal... karena memang Moza adalah sahabatnya.
Bersahabat sedemikian lama, seberapa besar luka yang ia ciptakan untuk sahabatnya ini, hingga sosok itu memilih menghindar?
"Kita ini... terjebak dalam hubungan apa, Moz?" Arsen menatap Moza, matanya tampak sayu. "Selama jeda waktu ini, sejak kamu minta supaya kita ada jarak dulu ... Aku terus kepikiran kamu setelah pengakuan itu. Tapi lagi-lagi aku nggak bisa ngehubungin kamu karena takut kamu nggak nyaman ... Maka, selama itu juga aku nyoba."
Arsen menarik napas dalam, seolah kalimat yang ia untai berikutnya membutuhkan energi lebih. "Aku nyoba keluar dari zona sahabat. Seeing you as a woman. I was trying to turn my feeling from way to love. Buat ngebuka kemungkinan kalo kita punya mutual feeling. Sehingga aku nggak nyakitin kamu."
Arsen menggeleng. "Tapi nggak bisa."
Moza menyimak. Mendadak untuk menelan ludah saja, tenggorokannya terasa sakit.
"I can't put our relationship into romantic way. Dulu, waktu kita sepakat buat tunangan dan berkeluarga... Aku berkaca dari orang tua kita. They're just two people who know each other well, they're married, and then have kids. Without fall in love. Dulu aku pikir itu nggak masalah, selama mereka saling menjaga hubungan baik as a partner, dan nggak ada salah satu di antara mereka yang invest sesuatu yang lebih, dan berharap ngedapetin hal yang sama dari partnernya.
"Itulah gambaran pernikahan yang aku janjikan sama kamu dulu, lewat pertunangan kita. Bahkan setelah akhirnya kita ngebatalin semuanya dan tetap berteman, aku kira kita masih di jalur yang sama. Sampai akhirnya aku tahu apa yang kamu rasain. Aku jadi benci sama diri aku sendiri karena ternyata nyakitin kamu."
Suara Arsen tercekat. Ia menatap Moza dengan pandangan yang mulai mengabur karena air mata. "Aku sayang sama kamu, Moz. Dan aku benci nggak bisa kasih hal yang sama ke kamu. Maafin aku. Maaf karena aku nggak bisa geser posisi orang lain di sini buat kamu..." Arsen menunjuk dadanya. "Mia masih di sini, Moz... sekalipun dia ninggalin aku, aku nggak ngelihat ada celah buat gantiin posisi dia." Detik itu pula Arsen meraih kedua tangan Moza, kemudian berlutut di hadapan gadis itu sambil menangis. "Maafin aku... aku nggak bisa."
Moza, yang ikut pilu melihat pria yang dicintainya sedemikian tersiksa, akhirnya ikut berlutut. Ia meraih wajah Arsen, kemudian merapatkan dahinya ke milik sahabatnya itu.
"Sen... it's something you can't control. You don't have to say sorry," katanya, kemudian memberi jarak untuk bisa saling menatap. "My feeling, it's my business. You don't have to force yourself to love me. Peluang perasaan kita dibalas dengan porsi yang sama oleh orang lain, itu sama kecilnya kayak peluang menangin lotre. Sebagian bilang itu cuma fantasi."
Arsen masih tergugu dan terus meminta maaf karena merasa frustrasi tidak bisa mencintainya, juga merasa bersalah karena membuatnya terluka. Maka, Moza meraih lelaki itu dalam pelukan. Baik untuk meredam tangis putus asa Arsen, juga untuk meredam sakitnya sendiri, bersamaan dengan air matanya yang luruh.
Malam itu, keduanya menyadari satu fakta. Bahwa cinta adalah satu kemewahan, yang mereka berdua tidak memiliki kuasa untuk memenangkannya.
****
Mia suka melukis. Lantas, mengapa ia pernah sangat membenci melukis?
Darah seni mengalir dalam tubuhnya, begitu kata orang-orang. Kelahirannya dulu dikaitkan dengan seorang seniman yang menjadi teman kencan ibunya selama beberapa minggu. Seseorang yang bahkan mungkin tidak tahu kalau Mia ada di dunia, karena perbuatannya.
Mia membenci orang itu. Karenanya, saat bakatnya dikait-kaitkan dengan bakat orang itu, Mia berhenti. Arsen lah yang kembali membuatnya melukis. Membuatnya berani menggoreskan warna pada kanvas, juga pada hidupnya hitam putih.
Namun, Arsen pula yang membuat tangan Mia goyah untuk sekedar memegang kuas, setelah kepergian sosok itu. Kini, setelah kembali berpisah dengan sosok itu... Mia akhirnya memberanikan diri demi menuntaskan keinginannya yang dulu sempat ia bicarakan dengan Arsen. Membuat lukisan peri hutan.
Mia tengah membenahi beberapa detail, ketika ponselnya berbunyi. Ia pun segera meletakkan pallet yang dipegangnya, demi meraih ponselnya. Nama Sabda tertera di sana.
"Mia, sorry... meetingnya kita ganti via video conference aja. Setengah jam lagi. Bisa? Gue cuman mau jelasin gambaran umum kerja sama kita aja sebenarnya. Detail kontrak bakal gue kasih pas kita ketemu langsung."
"Oke, bisa kok."
"Good. Bentar lagi gue kirim linknya ya. Thank you, Mia." Pria itu pun mengakhiri panggilan.
Sabda adalah CEO RuangUsaha. Kenalan Helen, yang tengah merintis StartUp. Sosok yang waktu itu sempat diceritakan Helen tertarik padanya, karena kegagalannya. Sungguh konyol memang. Ketika kegagalan justru menjadi batu loncatannya kali ini, selain namanya yang memang dikenal orang. Sabda adalah contoh orang pengikut sistem meritokrasi*. Sesuatu yang disukai Mia ketika bekerja sama dengan klien di dunia profesional. Sabda juga sosok ambisius dengan segala kecerdasan dan kreativitasnya, mengubah kemalangan menjadi senjata.
*meritokrasi adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin/mengambil kendali berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan identitas suku, agama, kekayaan, senioritas, dan sebagainya.
Kontroversi Mia, track record Mia... Sabda bilang, itu adalah kelebihan yang dimiliki Mia untuk menjadi magnet. Tinggal dipoles saja, untuk menyesuaikan market mana yang dituju. Karenanya Mia tidak berpikir dua kali untuk menerima pinangan menjadi Brand Ambassador, sekaligus terlibat lebih jauh dalam bisnis tersebut.
Mia menoleh ke arah jarum jam, yang tergantung di dinding apartemen baru miliknya. Apartemen tipe studio yang ia sewa bulanan.
Jam menunjuk angka sepuluh. Karena tidak jadi datang ke kantor Sabda, ia pun memutuskan untuk mengambil barang-barangnya di tempat Arsen siang ini juga. Sekaligus meninggalkan sesuatu untuk mantan kekasihnya itu di sana.
****
Mia memasuki unit apartemen Arsen yang sepi dan tidak begitu terang. Ia menoleh ke arah jendela, rupanya Arsen lupa menyibak tirai jendela sebelum berangkat kerja. Berjalan ke arah tirai, Mia menemukan mangkuk berisi sisa sup di meja pantry.
Saat ia meraih tirai untuk membukanya, betapa ia dikejutkan dengan suara batuk dari seseorang.
"Arsen? Kamu kenapa?" Mia menoleh ke arah Arsen, yang ternyata tengah berbaring di sofa.
Arsen menggeleng. "Maaf, aku nggak bilang kamu kalo hari ini aku nggak ngantor. Jadi kamu ketemu aku," ucap Arsen. Wajahnya terlihat pucat.
Mia berdecak mendengar permintaan maaf itu. Kondisi Arsen sedang tidak sehat, lantas kenapa pria itu justru minta maaf ? Ia pun menunduk untuk melihat keadaan laki-laki itu.
"Apa yang sakit? Perut kamu lagi? Obat kamu mana?" tanya Mia.
Sementara Arsen, yang tengah meringis sambil memegangi perutnya, kini menunjuk ke meja ruang tamunya.
"Tolong ambilin hp. Aku mau ke dokter," katanya, setengah merintih.
Tanpa basa-basi, Mia pun segera meraih ponsel itu. Tangannya tanpa sengaja bergerak hingga membuat layar ponsel berhadapan dengan wajahnya. Seketika ia seperti tersengat, begitu lock screen terbuka begitu saja. Yang berarti fitur Face ID dari ponsel Arsen masih mengenali wajahnya, sebagai salah satu dari dua orang yang bisa mengakses perangkat tersebut.
Seolah tak ada habisnya, jejak-jejak kebersamaannya dengan Arsen masih bertebaran di sana-sini. Berapa banyak lagi yang harus mereka hapus agar terbiasa berjalan sendirian?
Mia meremas ujung kemeja yang saat itu dikenakannya, kemudian segera menghubungi taksi untuk mengantar ke rumah sakit terdekat, tanpa lebih dulu memberikan ponsel tersebut ke pemiliknya.
----------------------------to be continued
Mutual feeling.
It's 1 in a million.
****
Oh iya, adakah yang salfok sama Sabda? Apakah Sabda Mr.X nya Mia? Tapi kok... Mia kembali dipertemukan sama Arsen?