HEROIN

By ayurespati

1.9M 145K 59.9K

Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tid... More

HEROIN - CANDU
1. The Cold Princess
2. Sepasang Masa Lalu
3. Jaminan Bahagia
4. Endorse Mantan
5. Yang Tertinggal
6. Menelan Kenangan
7. Luka Masa Lalu
8. Cincin Pengikat
9. Selalu Ada Jalan Pulang
10. Dinding 10 Tahun
11. If You Really Care
12. LURUH
13. Merajut Kenang dan Harap
14. Back to You
15. End The Day with You
16. The Kiss
17. Rasa Mendua
18. Tak Bersekat
19. Own You
20. DUA SISI
21. Mencinta
22. Bukan Ramayana
23. Enganged
24. Just Him
25. Consequences
26. Badai
27. Bersama
28. HEROIN
29. Melawan Dunia
30. Best Friend's rule
31. LABELING
32. Terungkap
33. Deal with Problems
34. Asing
35. The Guardian
36. Guardian Angel (2)
37. It is Decided
38. Transisi
39. Not a Cinderella
40. Jauh
41. Ujung Tanduk
42. Mendarah
43. Where's Your Prince?
44. Pemeran Utama
45. Something Between Us
46. Benteng Hati
47. Harap
49. Comeback
50. We aren't we
51. Jodoh?
52. Mutual Feeling
53. What is Love?
54. LOVE YOURSELF (END)
SPIN OFF HEROIN
Extra Part Heroin x Antidote

48. Terombang - Ambing

23.2K 2.3K 645
By ayurespati

Mia sudah tidak menangis lagi. Setidaknya setelah hampir satu bulan berada di sini.

Mia sudah tidak menangis lagi. Meski tidak bisa menjamin sejauh mana ia bisa bertahan.

Semuanya bisa saja luruh dengan mudah jika ia bersinggungan dengan segala hal tentang Arsen.

Arsen. Mia sempat melakukan panggilan melalui nomor ponsel baru hanya untuk mendengar suara laki-laki itu.

Kala itu awan berarak ke atas pemukiman. Hujan membasuh tanah kering, mengisi sela-sela lubang semut dan rayap. Mia duduk di kursi teras. Ponselnya menempel rapat di telinga kiri, sementara tangan kanannya membekap mulutnya sendiri rapat-rapat.

Takut bila desah napasnya bahkan dikenali. Takut kalau-kalau tangisnya terlepas. Jantung Mia berdegup cepat. Perasaannya carut-marut. Antara berharap mendengar suara yang dirindukannya, tapi lebih tenang bila yang terdengar di telinganya hanyalah nada sambung yang berkepanjangan.

Mia menunggu. Cemas.

Suara air hujan yang ibarat rombongan tentara langit, memukul atap. Menghasilkan suara bising sehingga menyamarkan apapun yang ribut dan berkecamuk dalam diri Mia.

Hingga akhirnya nada sambung lenyap. Berganti suara berat seseorang dari seberang. Seseorang yang hilang dari hidupnya. Seketika Mia merapatkan dekapan tangannya ke mulut. Berusaha meredam apapun agar tidak bocor keluar.

Mia hanya terdiam.

"Halo--bentar Pa!" Arsen bicara dengan seseorang di ujung sana. "Halo? Dengan siapa saya bicara?" ulang pria itu dari seberang.

Sebuah decakan sebal nyaris mengakhiri sambungan, sebelum akhirnya terdengar namanya disebut. "Mia?"

Arsen menyadari kejanggalan itu. Mia pun langsung memutus sambungan dan segera menonaktifkan telepon seluler itu.

Seketika tubuhnya luruh ke lantai. Meringkuk dalam pelukan bumi yang menerima air matanya yang jatuh bersama hujan.

Mia merindukan Arsen. Namun mendengar sosok itu sepertinya mulai bisa hidup normal dan bahkan kembali akur dengan papanya, membuat Mia membungkus rindu itu rapat-rapat. Lalu melepaskannya bersama air mata terakhir malam itu.

Mia lega Arsen bisa hidup normal, tapi ia juga tidak menampik bahwa fakta itu juga membuatnya patah hati.

****

Hangat sinar matahari menyapu sebagian area start Jogja Marathon pagi ini. Spanduk event dan sponsor mulai memenuhi jalanan sekitar Candi Prambanan. Para peliput dari berbagai media mulai memadati lokasi. Sementara para peserta sibuk melakukan pemanasan, ada juga yang berfoto ria sebelum peluh dan panas matahari yang membakar kulit, membuat muka mereka cemong.

Moza mengangkat satu kakinya untuk meregangkan otot-ototnya. Di dadanya sudah tertempel nomor peserta 0915. Di hadapannya, Romeo berdiri menatap sekeliling.

Laki-laki itu mengenakan setelan kaos berkerah abu-abu dan celana jeans warna hitam. Ya, celana jeans. Karena kehadiran Romeo di sini bukan untuk menjadi peserta, melainkan untuk penyambutan dan pemberian hadiah kepada pemenang.

Pasalnya, perusahaan Romeo merupakan sponsor terbesar dalam acara ini. Bekerja sama dengan pemerintah dan asosiasi altlet nasional, event ini menjadi salah satu wujud program CSR dari perusahaanya.

*CSR : Corporate Social Responsibility.

Maka, ketika tahu Moza menjadi salah satu peserta, Romeo menawarkan agar wanita itu menginap di hotel yang sama dengannya. Di kamar dengan fasilitas terbaik, bersebelahan dengannya. Tentu saja dengan connecting door, yang kata Romeo... hanya untuk berjaga-jaga kalau ada apa-apa.

Moza hanya menurut saja. Membiarkan pria itu berkreasi sesuka hati. Yang jelas, ia sudah bersiap Electric Shock Gun untuk self defense kalau cowok itu berani macam-macam.

"Udah siap?" tanya Romeo, kembali menatap Moza.

Moza hanya menjawab dengan sepenggal anggukan.

"Ambulan udah siaga. Tapi gue juga manggil orang buat khusus ngawasin lo."

Moza tersenyum tipis. "Thanks," ucapnya, lalu menyudahi kegiatannya. "Gue ke barisan sana ya? Banyak wartawan yang ngantri mau wawancara lo tuh. Cantik-cantik lagi," ucap Moza.

Romeo terkekeh. Benar saja, para jurnalis perempuan sedang berkumpul. Terlihat seksi ketika sedang serius bertugas. Namun, tentu saja pesona satu orang Moza masih berada di atas para jurnalis itu, sekalipun mereka dikumpulkan jadi selusin.

"Iya nih. Saatnya pencitraan dan tebar pesona. Lo paling memahami gue emang. Nggak perlu repot-repot penjajakan lagi buat dipinang," katanya enteng, kemudian memasang kacamata hitam dan memasukkan kedua tangan ke saku celana, bak model iklan kacamata.

Moza hanya memutar bola matanya geli. Ia pun berjalan ke sudut tempatnya bersiap untuk start sebentar lagi. Dalam perlombaan ini, Moza termasuk ke dalam 1.500 peserta yang mengambil katogori half marathon, yakni menempuh jarak 21km.

Ribuan peserta mulai menghambur dari titik start. Ribuan alasan hadir hingga membentuk tekad yang memacu kaki mereka untuk melangkah.

Bagi Moza sendiri, ada alasan kenapa ia berlari. Ada alasan kenapa ia menyukai sensasi pacuan yang membentuk ruang kesendiriannya, di mana hanya ada desak napas dan derap langkahnya. Membuatnya melepaskan segala penat, menggalih emosi lebih dalam untuk memahami dirinya sendiri, bahkan menyelam dalam ilusi pelarian.

Lari. Dari siapa ia ingin lari?

Bayangan Arsen melintas di benaknya. Moza menelan ludah, kemudian memacu langkahnya lebih cepat.

Arsen. Dialah alasan Moza mencoba melakukan hal gila ini. Mengeksplore berbagai hal demi mengesampingkan pikirannya tentang sahabatnya itu. Mencoba menemukan jawaban sedalam apa perasaannya pada sosok itu. Jika sebatas permukaan, harusnya akan lenyap dengan sekali sentak. Jika sebatas permukaan, harusnya tidak serumit ini sampai ia sendiri bingung mengartikan.

Moza ingin menghindari Arsen. Namun, ia tidak bohong jika ada bagian dari hatinya, yang mungkin lebih besar porsinya, menyukai dan merindukan kehadiran Arsen. Namun lagi-lagi, ia benci memupuk harapan yang besar kemungkinan akan berujung pahit.

Terik matahari makin terasa. Satu per satu peserta menyentuh garis finish. Moza, yang sejak beberapa menit lalu memilih berjalan, kembali melanjutkan larinya ketika garis finish terlihat. Sekitar seratus meter dari posisinya, Arsen berdiri dengan kedua tangan melambai-lambai.

Arsen? Sejak kapan dia di sini? Jauh-jauh ia ke Jogja, tapi ujung-ujungnya bertemu sahabat keparatnya itu lagi?

Keparat! Tentu saja kata itu tidak bermakna sebenarnya, karena yang terjadi selanjutnya adalah senyumnya mengurai lebar, semakin lebar seiring dengan Moza yang memperpendek jarak.

Namun semakin dekat dengan tujuan, sosok itu kian berubah. Ternyata, ia hanya berhalusinasi. Yang menunggunya sejak tadi bukanlah Arsen, melainkan Romeo. Pria yang bahkan namanya pun tidak pernah singgah di hatinya.

Tepat ketika Moza menyentuhkan kakinya ke garis finish, segalanya mengabur. Dengan sigap tangan Romeo menopang tubuh Moza yang nyaris ambruk. 

"You did it!" seru Romeo bangga.

Moza mengangguk, lantas tersenyum lemah.

"I did, Sen..." ucapnya melantur, disusul matanya yang tertutup.

"Tim medis!" teriak Romeo.

****

Mia membenci ini. Saat waktu sudah lewat dari tengah malam, dan dirinya belum juga mampu terlelap. Ia sudah berusaha memejamkan matanya sejak pukul sepuluh malam. Alhasil, sejak itulah segala hal dari yang penting sampai yang sangat sepele menyerang kepalanya.

Mia membenci ini. Ketika kepalanya bekerja berpuluh-puluh kali lipat, mengingat dan memikirkan segala hal, saat seharusnya ia beristirahat.

Apa yang akan ia lakukan setelah ini? Haruskah ia menjadi pekerja kantoran? Atau membuka usaha? Oh - bagaimana nasib keuangannya? Sampai berapa lama uang tabungannya mampu meng-cover biaya hidupnya saat ini?

Ia tidak memiliki pemasukan sama sekali, tapi tagihannya tetap jalan.

Tagihan dari beberapa aplikasi berbayar di ponselnya, yang belakangan ini jarang ia gunakan, tapi ia luput untuk berhenti berlangganan karena permasalahan yang ia alami. Belum lagi paket data ponselnya yang bersifat pasca-bayar. Dan, oh sial! Mia belum membayar tagihan kartu kredit!

Matanya yang sedari tadi dipaksa terpejam, kini membuka dengan sempurna. Mia menyambar ponselnya untuk mengecek tagihannya. Ia melihat tanggal yang ada di lock-screen ponselnya, lalu mengembuskan napas lega. Pembayarannya belum terlambat.

Khawatir akan kembali lupa, Mia segera mengecek emailnya untuk melihat tagihan. Ia mendengus melihat isi inboxnya dipenuhi tagihan, bahkan penawaran kartu aplikasi lain dan kartu kredit lagi.

Di tengah penelusurannya terkait email-email berisi tagihan, terdapat email dari RuangUsaha, salah satu manajemen Start Up waralaba yang kemarin diinfokan oleh Helen. Sahabatnya itu bercerita bahwa ia memiliki salah satu kenalan yang kini tengah merintis start up dan memerlukan figur untuk dijadikan BA.

"Lo kan pernah gagal bikin bisnis sendiri tuh. Dia kayaknya mau jadiin lo salah satu contoh gagal, supaya orang yang ngebet pengen usaha nggak gagal kayak lo. Dan akhirnya pakai solusi yang dia tawarin, yakni ikut beli Franchise lewat Start Up dia." Helen menjelaskan dengan nada bercanda, pasalnya ia menyebut Mia sebagai contoh gagal.

Usai membaca penawaran kerja sama tersebut, Mia kembali mengecek pesan masuk lagi. Seketika kegiatannya terhenti, saat melihat salah satu email yang menarik perhatiannya. Dilihatnya sebuah pesan dari alamat email pribadi, dengan nama yang dikenalnya. Mia mengarahkan kursornya pada pesan tersebut, karena subject pesan yang juga sukses menarik perhatiannya.

MIA PLEASE, I NEED UR HELP. URGENT!!!

--------------------------------to be continued

Huwaaa siapakah gerangan??

Wahai cinta.
Penyakit apakah ituuuu?
Satu per satu korban berjatuhan.
Menakutkan sekali.
Adakah vaksinnya??

Ada yang bilang, semua akan bucin pada waktunya, apakah itu benar??

Oh iya, aku mau ngucapin makasih buat semua yang udah support cerita ini. Sayang kalian banyak-banyak.

Continue Reading

You'll Also Like

246K 17.3K 38
Sebelum meresmikan hubungan pacaran, sepasang anak manusia sudah mengetahui perasaan satu sama lain. Saling mencintai, saling menyayangi, saling meng...
2K 137 4
"Pada kenyataannya semua ini bukanlah surga, melainkan neraka yang sengaja aku ciptakan sebagai ilusi."
167K 17.5K 49
[TERSEDIA DI DREAME] Karena kita tak lebih dari cerita singkat di malam hari. Bagi Verza, Rensha adalah sahabat terbaiknya. Bagi Rensha, Verza adalah...
942K 44K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...