HEROIN

By ayurespati

1.9M 145K 59.9K

Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tid... More

HEROIN - CANDU
1. The Cold Princess
2. Sepasang Masa Lalu
3. Jaminan Bahagia
4. Endorse Mantan
5. Yang Tertinggal
6. Menelan Kenangan
7. Luka Masa Lalu
8. Cincin Pengikat
9. Selalu Ada Jalan Pulang
10. Dinding 10 Tahun
11. If You Really Care
12. LURUH
13. Merajut Kenang dan Harap
14. Back to You
15. End The Day with You
16. The Kiss
17. Rasa Mendua
18. Tak Bersekat
19. Own You
20. DUA SISI
21. Mencinta
22. Bukan Ramayana
23. Enganged
24. Just Him
25. Consequences
26. Badai
27. Bersama
28. HEROIN
29. Melawan Dunia
30. Best Friend's rule
31. LABELING
32. Terungkap
33. Deal with Problems
34. Asing
35. The Guardian
36. Guardian Angel (2)
37. It is Decided
38. Transisi
39. Not a Cinderella
40. Jauh
42. Mendarah
43. Where's Your Prince?
44. Pemeran Utama
45. Something Between Us
46. Benteng Hati
47. Harap
48. Terombang - Ambing
49. Comeback
50. We aren't we
51. Jodoh?
52. Mutual Feeling
53. What is Love?
54. LOVE YOURSELF (END)
SPIN OFF HEROIN
Extra Part Heroin x Antidote

41. Ujung Tanduk

20.8K 2.3K 4.1K
By ayurespati

Nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain

November Rain - Guns N' Roses

Semburat senja hari itu menggelayut manis di antara gedung-gedung pencakar langit. Mia tergoda untuk mengabadikan pemandangan itu melalui ponselnya.

Setitik keberanian mulai muncul dalam dirinya untuk kembali aktif di media sosial. Ia memasang foto langit Jakarta dengan semburat oranye sore itu, di instastory-nya.

Beberapa menit setelahnya, dm-nya kembali banjir. Well, sebelumnya memang sudah penuh. Namun, semenjak skandalnya dan Arsen memuncak, ia meng-uninstall instagramnya. Saat beberapa hari lalu ia kembali mengunduh aplikasi itu di ponselnya, pemberitahuan yang masuk masih dalam porsi yang Mia bisa mengabaikannya.

Berbeda dengan sore ini, saat dm-nya kembali dibanjiri pesan. Dalam tempo pesan masuk yang begitu cepat, Mia dapat membaca beberapa pesan yang menusuk uluh hatinya.

Anj*ng. Nih pelakor udah mau ngegoyang lagi?

Nerima jasa numpang buang p*ju ga?

Mia.. r u ok? Be yourself dear, don't listen to ppl who dont know you

Ka Mia kapan update lagi? Kangen nih

Beberapa kesempatan, Mia dapat menangkap adanya pesan positif. Namun, pesan itu tergeser ke bawah, didesak oleh luapan pesan berisi makian dan hujatan.

L*nte

Yang nemenin akan kalah dengan yang nenenin

Mia hendak menjauhkan ponselnya, ketika satu pesan WhattsApp dari Tonny, menghiasi layar ponselnya.

****

Tonny resign.

KEPARAT! Dasar Parasit! Mia memaki dalam hati. Bisa-bisanya bangsat kemayu satu itu meninggalkannya setelah apa yang sempat diambilnya dari pencapaian Mia dulu.

Kontrak dengan brand-brand ternama, tawaran endorsement yang deras mengalir tiap hari, perjalanan vlog dan pemotretan ke berbagai tempat di Indonesia maupun negeri tetangga, semuanya dinikmati Tonny tanpa kepayahan. Tubuh gempalnya seolah berlayar tanpa lelah melakukan ekspansi di dunia hiburan. Setiap tetes keringat menjadi senyuman.

Naif. Bukan senyuman lah poinnya. Semua akan baik-baik saja jika pundi-pundi uang terus mengalir. Sampai akhirnya mereka sampai pada kondisi di mana Mia terperosok seperti sekarang. Akar-akar masalah hanya menjerat Mia. Mereka yang bisa angkat kaki dengan mudah, jelas saja memilih terus berjalan sambil melambaikan tangan. Meninggalkan Mia tanpa sesal.

Shit! Setelah ini apa lagi? Mia bahkan sudah tidak punya sesuatu yang tersisa untuk kehilangan lagi.

Jam menunjuk pukul sepuluh malam. Dari dalam kamar, Mia bisa mengintip Arsen yang tengah serius mempelajari beberapa berkas dan sesekali menelpon seseorang entah siapa.

Kira-kira pukul delapan tadi, Arsen tiba di apartemen dengan wajah kusut.

"Kamu udah makan? Aku bawain dimsum kesukaan kamu," kata Arsen tadi sembari melepas kemejanya lalu berjalan menuju kamar mandi.

Begitu selesai mandi, Arsen langsung hinggap di meja tempatnya biasa menyelesaikan pekerjaan.

"Sen," panggil Mia, bersamaan dengan bunyi panggilan masuk dari ponsel Arsen.

"Bentar." Arsen menyahut, tangannya segera meraih ponselnya yang tergeletak di meja.

Berbeda dengan penelpon-penelpon sebelumnya, kali ini Mia mengenali siapa yang ada di seberang sana. Meski Arsen memilih menjauh ke balkon ketika menerima telepon, Mia dapat menangkap bibir Arsen melukiskan senyum di sela-sela pembicaraannya.

Di ambang pintu kamar tempatnya berdiri, Mia terpaku. Senyum itu... apakah Arsen sering kali memperlihatkan senyum yang sama ketika bicara dengen perempuan di telepon itu? Bulu halus di sekitar leher Mia meremang membayangkan koneksi yang tercipta antara Arsen dan Moza.

Arsen menyudahi pembicaraannya, lalu kembali ke sofa. Laki-laki itu menandaskan rokoknya yang tersisa beberapa senti ke asbak. Matanya kembali terpaku pada layar laptop.

"Kamu tadi habis dari rumah?" tanya Mia.

Arsen mengangkat kedua alisnya selagi tangannya menari di atas keyboard. "Iya. Enand bikin ulah lagi."

"Kalo urusan papa kamu sama kantor?"

"Nggak ada yang bisa dipertahanin di situ. Papa minta aku buat beresin beberapa hal. Tapi semuanya terkendali," jawabnya.

Mia lega. Namun, detik itu pula ada yang menggelitik hatinya. Diam-diam ia berpikir. Sudah pasti. Untuk apa mengkhawatirkan Arsen yang di saat yang katanya terpuruk pun, masih memiliki tangan-tangan yang siap meraihnya agar tidak terperosok lebih jaug ke dalam jurang? Mia tersenyum sinis.

"Terus, yang tadi itu Moza 'kan?"

Arsen mengangguk. "Dia mau ngajuin proposal ke salah satu perusahaan di US. Aku bantu ngoreksi," jawabnya.

Mia tersenyum masam. Setelah urusan papanya, lalu ikut terlibat dalam perkara Moza, besok apalagi? Dipaksa menikah supaya hubungan dua keluarga semakin kukuh dan memperkuat aliansi bisnis mereka?

"Kamu sama Moza...." suara Mia sedikit tersendat.

"Sayang, kita bahas itu nanti ya? Aku mau ngelarin ini dulu," jawab Arsen, tanpa mengalihkan pandangan.

"Nanti." Mia mengulang jawaban Arsen. Kalimatnya menggantung di ruang apartemen Arsen yang cukup luas.

Sunyi dan sumbang. Hanya terdengar suara keyboard dan detak jarum jam. Bahkan di kala Mia sedang hancur-hancurnya, dunia masih berjalan semestinya tanpa perlu repot-repot bersimpati padanya.

Mia tergelak. "Kok kayaknya di sini aku doang ya, yang ngerelain banyak hal demi hubungan ini?"

Jari-jari Arsen yang semula bergerak cepat di atas keyboard, terhenti. Ia mendongak. Dilihatnya Mia tengah bersandar di dekat pintu kamarnya sambil bersedekap. Kulit putih Mia tampak kontras dengan jubah tidur hitam yang dikenakannya. Itu adalah salah satu koleksi busana tidur Mia, yang menjadi favorit Arsen. Salah satunya bahkan pernah sobek dan berakhir di tempat sampah akibat ulah tangan nakalnya.

Arsen menatap Mia, tapi gadis itu membuang muka dan menatap ke arah jendela. Lampu-lampu dari jendela gedung seolah menjadi pengganti bintang yang tersembunyi di balik pekatnya polusi di langit Jakarta.

"Maksud kamu apa?" tanya Arsen pelan. Namun, nadanya menuntut penjelasan.

Mia menoleh sembari merapatkan jubah tidurnya. Dipandanginya sosok yang setahun belakangan menjadi candunya siang dan malam. Sampai sekarang, rasa cintanya pada sosok itu sama sekali tidak berkurang. Justru semakin meluap hingga menghantui Mia dengan kemungkinan - kemungkinan buruk yang menyongsong di depan.

Saat memulai hubungan ini kembali. Mia tahu langkahnya tidak mudah. Namun, Mia hanya manusia biasa. Ada kalanya ia terlalu lelah dengan gempuran beruntun yang menyerangnya tanpa henti, bahkan saat luka sebelumnya belum terobati.

Mia pikir, tidak akan jadi masalah selama itu Arsen. Mia pikir, meski tidak selalu manis..., ia bisa menutup pahit dengan rasa manis selama Arsen ada bersamanya. Pahit yang semakin lama mendominasi, selama ini diterima Mia dengan berpeluk pada harapan yang digantungkan Arsen.

Namun semakin lama, Arsen yang dikiranya mengecap rasa dari gelas yang sama, tampaknya masih punya cadangan gelas raksasa berisi madu manis untuk dikecap. Keluarganya, latar belakangnya.... Entah kenapa rasa muak Mia terhadap semua itu berlipat ganda malam ini.

"Kamu sama Moza. Sampai kapan kalian kayak gini? Aku juga muak lihat kamu seakan nggak punya kontrol. Semua selalu tentang keluarga kamu. Aku muak jadi satu-satunya pihak yang nggak punya apa-apa kalo hubungan ini nggak berhasil." Mia akhirnya meloloskan apa yang membuatnya sesak.

Mendengar itu, Arsen yang sejak pagi merasakan kepalanya nyaris pecah karena ditimpa hal buruk bertubi-tubi, akhirnya tersulut emosi.

"Kamu pikir demi sama kamu aku nggak ngorbanin apa-apa? Kamu pikir aku nggak usaha mati-matian sampai akhirnya ada di ujung tanduk kayak sekarang? Aku udah hampir nggak ada harganya di sana, Mia... Buat apa? Karena aku merjuangin hubungan ini."

Mendapati nada Arsen meninggi, Mia menatap Arsen nyalang. "Kamu cuma di ujung tanduk. Kamu nggak pernah bener-bener hancur. Karena kamu nggak mau..., pada akhirnya, kamu bakal kembali ke tempat asal kamu, ke keluarga kamu. Dan mereka akan selalu nerima kamu."

Arsen berdiri dari tempatnya duduk, lalu berjalan menuju kekasihnya. Bukan, ia tengah berjalan menuju dunianya. Mia adalah dunianya.

Bersamaan dengan itu, banyak hal berkelebat di kepala Arsen. Bayangan Irene yang enggan tersenyum dan tidak lagi manja padanya, Enand yang hilang respect padanya karena menilai dirinya mengkhianati hubungannya dengan Moza hanya karena ingin tidur dengan Mia, sakit hati papanya karena anak penurutnya tiba-tiba melawan, juga Moza yang bahkan tidak seperti Mozanya lagi karena luka dan kecewa. Semuanya ia abaikan demi Mia.

Lalu sekarang, Mia masih mempertanyakan pengorbanannya? Lelucon macam apa ini? Arsen meremat tangannya, otot-ototnya menonjol menahan amarah.

"Kamu nggak tau apa yang aku buang demi sama kamu, Mia... Aku ngelepas aset karena batalin pertunangan, harus tega ngelihat Papa didepak dari direksi, aku juga ditinggal orang-orang yang aku sayang. Enand, Irene, Moza--"

"Kalo kamu ngerasa itu terlalu berat, kenapa nggak berhenti aja? Buat apa sih kita kayak gini, Sen? Udah terlalu banyak juga yang sakit, kan?"

Arsen membeku. Ia meragukan apa yang dibawa angin ke telinganya. Amarahnya seketika berubah menjadi ketakutan.

"Kamu...." Arsen tidak bisa menyuarakan kalimatnya. Suaranya tercekat. Ia tidak percaya kalimat itu keluar dari bibir manis wanitanya.

"Mungkin udah saatnya mimpi indahku berakhir, ilusi ini..." Mia menjeda kalimatnya. Bersamaan dengan itu, tetesan pertama air matanya keluar. Menjadi saksi kekalahannya malam ini. Hingga satu kelimat lagi ikut lolos bersama air mata lain yang mulai mengalir. "Aku capek."

"Apa?" Otak Arsen menumpul. Ia seolah hanya mengenal satu kosa kata itu. Dan tidak sanggup bicara lagi. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Mia berpikiran untuk mengakhiri semuanya? Mengakhiri apa yang bagi mereka adalah nyawa. Bagaimana bisa Arsen hidup setelah ini?

Mia mengusap pipinya yang basah. "Seharusnya, kita nggak mengulang lagi apa yang dulu pernah kita akhiri, Sen."

Mia berbalik memasuki kamar dan mengunci pintu rapat-rapat, sebelum Arsen sempat mengejarnya.

------------------------------------to be continued

Akankah mereka pisah? 🥲
Gak rela huhu
Buat yang nggak sabar sama kelanjutannya, bisa langsung cusss ke karyakarsa ayurespati ya...
Tersisa 4 karya menjelang ending, yang bisa dibeli satuan maupun paket:

1. HEROIN (Bab 41-45)
2. HEROIN (Bab 46-50)
3. HEROIN (Bab 51-55) TAMAT
4. Heroin Epilog + Extra Chapter

Link karyakarsa di bio...

Continue Reading

You'll Also Like

246K 17.3K 38
Sebelum meresmikan hubungan pacaran, sepasang anak manusia sudah mengetahui perasaan satu sama lain. Saling mencintai, saling menyayangi, saling meng...
729K 9.6K 31
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
162K 9.8K 37
Komplek elit yang dihuni oleh para tuan, nyonya dan nona tuan muda, perihal kehidupan Jaeyong, Yuwin, dan Johnten Family.
932K 46K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...