HEROIN

By ayurespati

1.9M 145K 59.9K

Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tid... More

HEROIN - CANDU
1. The Cold Princess
2. Sepasang Masa Lalu
3. Jaminan Bahagia
4. Endorse Mantan
5. Yang Tertinggal
6. Menelan Kenangan
7. Luka Masa Lalu
8. Cincin Pengikat
9. Selalu Ada Jalan Pulang
10. Dinding 10 Tahun
11. If You Really Care
12. LURUH
13. Merajut Kenang dan Harap
14. Back to You
15. End The Day with You
16. The Kiss
17. Rasa Mendua
18. Tak Bersekat
19. Own You
20. DUA SISI
21. Mencinta
22. Bukan Ramayana
23. Enganged
24. Just Him
25. Consequences
26. Badai
27. Bersama
28. HEROIN
29. Melawan Dunia
30. Best Friend's rule
31. LABELING
32. Terungkap
33. Deal with Problems
34. Asing
35. The Guardian
36. Guardian Angel (2)
38. Transisi
39. Not a Cinderella
40. Jauh
41. Ujung Tanduk
42. Mendarah
43. Where's Your Prince?
44. Pemeran Utama
45. Something Between Us
46. Benteng Hati
47. Harap
48. Terombang - Ambing
49. Comeback
50. We aren't we
51. Jodoh?
52. Mutual Feeling
53. What is Love?
54. LOVE YOURSELF (END)
SPIN OFF HEROIN
Extra Part Heroin x Antidote

37. It is Decided

19.7K 2.1K 5.1K
By ayurespati

Whenever I call you friend
I begin to think I understand
Anything we are
You and I have always been ever and ever

Whenever I Call You "Friend" - Stevie Nicks

"Nggak bisa, Sen. Sabtu ini jadwalku lembur." Mia menghela napas berat, ketika melalui telepon, Arsen menyampaikan keinginannya untuk kencan malam minggu. "Kamu dateng aja kayak biasanya, ya?"

Arsen berdecak. Mana mungkin ia tiba-tiba pergi jauh tanpa ada momen perpisahan berarti dengan gadis yang sangat disayanginya? Jangankan perpisahan, menyampaikan rencana kepergiannya saja, Arsen tidak tahu caranya.

"Aku nggak cuma mau liat kamu kerja. Aku mau ngomong sama kamu. Ngabisin waktu sama kamu. Sehari aja, Mia. Aku bakal ganti gaji kamu, kalo emang itu yang kamu khawatirin. Yang penting kita bisa ketemu," bujuk Arsen.

Namun, kata-kata itu rupanya sangat sensitif di telinga Mia. Gadis itu pun langsung bersikap defensif. "Kamu mau beli waktu aku? Kamu mau bayar aku buat nemenin kamu? Gitu?"

"Nggak gitu... bukan itu maksud aku."

Mia yang terlanjur tersinggung, tidak melunak. "Aku nggak bisa, Sen. Kita ketemu di sekolah aja hari Senin."

Arsen mengeluh dalam hati. Andaikan bisa, andaikan bisa...

"Kamu tau Mia, aku cuma minta sehari dari kamu. Sehari, Mia. Aku nggak akan minta kalo kita punya waktu lain."

Arsen mendadak emosional. Perasaannya acak-acakan. Ia bahkan tidak tahu sedang kesal dengan siapa. Papanya, nasib, Tuhan yang melimpahkan nasib kepadanya dan Mia, orang-orang yang membocorkan apapun tentang dirinya dan Mia ke papanya, atau dirinya sendiri.

Yang Arsen tahu, ia butuh menemui Mia. Karena semuanya berkaitan dengan gadis itu.

"Sen, kamu tau kan--"

"Aku tau." Arsen memotong. "Lupain aja. Silakan kerja karena itu memang lebih penting buat kamu. Dari awal, aku cuma gangguin kamu, kan?"

Arsen memutus sambungan telepon. Membuat Mia bertanya-tanya dan berujung pada perasaan bersalah. Esok harinya, ia pun mengirimkan pesan kepada Arsen.

Mia : Sen, maafin aku. Kita jadi ketemu kan? Aku tunggu di taman biasa ya?

Tidak ada balasan apapun dari Arsen.

Sampai akhirnya hari itu tiba. Mia menunggu hingga larut. Namun, Arsen tidak kunjung datang. Bahkan ketika jerit ketakutan Mia disuarakan karena tangan-tangan menjijikkan mulai mengambil kesempatan untuk menyentuhnya, Arsen sama sekali tidak terlihat.

Berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan hingga hitungan tahun. Arsen tidak pernah datang. Mencipta kekosongan dalam relung hati Mia. Membelit Mia dalam penyesalan dan kerinduan yang lama kelamaan menyelipkan benci.

Hanya waktu yang bisa menjawab. Manakah yang lebih berkuasa dan perkasa antara rindu dan benci.

****

Sementara di tempat Arsen, ia menjalani hari di lingkungan baru. Bertumbuh dewasa dengan satu perasaan mengkristal dalam dadanya.

Arsen mengenal banyak teman wanita. Namun, tak satu pun bisa menggeser seseorang yang sudah memiliki mahkota di sana.

Arsen pernah mencoba. Namun, semua hanya berujung pelampiasan dan kesenangan sesaat semata.

Pada akhirnya, ia harus menempuh perpisahan berkali-kali. Baik karena tidak tega menyakiti, maupun tidak sanggup memberikan lebih.

Perpisahan, akankah yang satu ini juga menjadi perpisahan yang ke sekian baginya? Arsen menginjak pedal gas untuk menuju rumah Moza.

****

Moza tengah menyisihkan kapas yang ia gunakan untuk membersihkan wajahnya, ketika kemilau berlian memantul dari lekuk logam yang melingkar di jemarinya. Ia terenyak sesaat, menatap benda itu lamat-lamat. Alisnya mengernyit. Mengapa cincin pertunganan itu masih tersemat di jari manisnya?

Jarinya yang lain hendak melepaskan benda itu dari tangannya, ketika terdengar nada panggilan masuk dari ponselnya. Ia menatap nama yang tertera di sana, kemudian menerimanya.

"Aku di depan, Moz." Arsen bicara begitu nada sambungnya berhenti.

"Ngapain?" Moza berseru, bangkit dari kursi depan meja riasnya. "Aku bilang kita ngomong lewat telepon aja, atau video call."

"Nggak bisa lah aku ngomongin ini tanpa ketemu kamu langsung," bantah Arsen.

Moza memutar bola matanya. "Rapat presiden aja bisa via teleconference. Kamu yang mau ngomongin masalah kita aja sok penting banget!"

"Ngomong langsung aja bisa kamu tinggal pergi, apalagi nggak langsung. Bisa-bisa kamu matiin sebelum aku selesai," sahut Arsen tak mau kalah.

Moza berdecak.

"Moz... kalo kamu nggak mau turun, aku yang manjat ke kamar kamu nih!" Arsen mengancam untuk melakukan aksi panjat-memanjat menggunakan tangga, seperti yang sering dilakukannya saat remaja dulu.

"Tangganya udah disingkirin. Takut ada maling! Lagian kayak masih lincah aja, mau panjat-panjat!" Moza tidak tahan untuk mengatai sahabatnya yang sering berpikir di luar nalar itu. Ia mendengus keras. "Iya aku turun! Kamu nggak usah masuk. Kita ngobrol di mobil kamu aja."

Beberapa menit kemudian, Moza sudah berada di dalam mobil Arsen. Ia sengaja tidak mengajak Arsen bicara dalam rumah, karena orang rumah bakal mencuri dengar. Lagi pula, ia tidak ingin ayahnya yang masih emosi tiba-tiba mengacungkan katana ke leher Arsen.

Ketika berada di dalam mobil, kening Arsen berkerut ketika mendapati Moza dengan cekatan memasang sabuk pengaman.

Menyadari tatapan Arsen, Moza segera menjelaskan maksudnya."Kita jalan keluar komplek. Sekalian cari makanan. Aku belum makan."

Dan mereka pun meluncur menyusuri jalanan lengang.

****

"Kamu 'kan tau aku nggak makan fast food!" seru Moza, ketika melihat bungkusan yang dibawa Arsen dari restoran 24 jam. Padahal, cowok itu tadinya memarkir mobilnya di depan restoran hanya karena ingin ke kamar kecil.

"Kamu pake piama gitu, how far can we go? Ini juga udah malem. Restoran udah pada tutup. Kamu mau, aku beliin lalapan lele kaki lima? Ada sayurnya tuh," ucap Arsen sembari menunjuk warung kaki lima pinggir jalan, yang masih terang benderang.

Moza memelotot. "Mending aku minum air putih doang!" katanya.

Arsen tergelak. "Atau nasi goreng?" goda Arsen lagi.

"Sen, ih!" Moza meninju lengan Arsen. Sementara cowok itu masih tertawa.

"Ya udah, kita balik ke rumah kamu aja ya? Makan sesuai kriteria kamu."

Moza mendengus. "Nggak usah," sergahnya dengan wajah cemberut. Detik berikutnya, tangannya meraih paket burger yang tadi diletakkan Arsen di dasboard.

Tepat saat itu, cahaya yang menyorot dari lampu kendaraan yang lewat menerangi ruang dalam mobil Arsen. Membuat sesuatu di jemari Moza berkerlip. Arsen menangkap momen itu. Seketika ia meraih tangan Moza.

Keduanya terdiam menatap benda itu bersamaan. Sebelum akhirnya Moza menarik tangannya.

"Jangan dipegangin! Aku nggak bisa makan," ujarnya, lalu membuka bungkus burger dan melahapnya dalam gigitan cukup besar. Matanya menatap lurus ke depan, tanpa memedulikan Arsen yang mengamatinya dalam diam.

Mereka sama sekali tidak bicara, sampai akhirnya Moza menghabiskan potongan roti terakhir dan menutup makan malamnya dengan meneguk air mineral yang tersedia di mobil Arsen.

Saat itu, ia tahu Arsen masih memperhatikannya.

"Berlian itu simbol abadi 'kan, Moz?" Arsen tiba-tiba bersuara.

Sudut bibir kiri Moza tertarik ke atas. "Jangan konyol. Nggak ada yang abadi."

Arsen meremas kemudi, matanya menatap jalanan sepi. "Malam itu di acara pertunangan kita, aku berniat buat mengabadikan apa yang kita punya. Supaya nggak ada orang lain yang mengisi."

"Tapi nyatanya udah ada orang lain, kan?"

Suara Moza terdengar sumbang. Keduanya sempat terdiam, sebelum Arsen bicara lagi. "Aku nggak bisa nepatin janji itu ke kamu."

"Kamu nggak pernah janji, Sen." Moza menatap Arsen, yang saat itu terlihat kuyu. "Waktu ide untuk kita nikah muncul di mobil waktu itu, kamu memang nggak janji untuk ngebuat aku bahagia. Aku yang maksa kamu."

"Aku nggak terpaksa sama sekali," sanggah Arsen cepat.

"Waktu itu." Moza terus mengoreksi, tak kalah cepat. "Enggak sekarang. Enggak setelah kamu ketemu Mia lagi."

Telak. Arsen mengusap wajahnya. "Terus setelah ini kamu gimana?" tanya Arsen, menjaga agar suaranya tidak terdengar parau.

"Aku gimana?" Moza tertawa ringan. Binar mata indahnya menatap Arsen tak percaya. "Aku nggak pernah ngemis buat dinikahi sama kamu loh, Sen."

"I know. I mean, pertunangan ini ada karena aku mau melindungi kamu."

Dan sekarang melindungiku sesuatu yang nggak terlalu penting 'kan buat kamu? Moza bergumam dalam hati. Ia tersenyum simpul.

"Kamu tenang aja." Moza menyibak rambutnya. "Orang tuaku mungkin udah kapok ngejodohin aku. Gimana pun, ide pernikahan aku sama kamu ada karena dari dulu Bunda sama kerabat kita memang sering berandai-andai kalo kita jadi pasangan. Jadi mereka ikut andil dalam hal ini. Mereka yang mendorong kita. Dan karena jadinya begini, mereka udah segan ngejodoh-jodohin aku sama orang."

"Terus makan malam sama Romeo itu apa?"

Moza terkejut mendengar pertanyaan tembakan Arsen. "Wow... are you spying on me?"

Arsen mengalihkan pandangan. Sebuah motor melaju kencang di jalanan, menyuarakan bunyi knalpot yang memekikkan telinga.

Moza menghela napas. "Itu makan malam formal. Aku cuma diajak Ayah. Romeo mau beli saham TJ.ent, jadi kami sedikit ramah tamah. Itu aja. Kamu juga 'kan yang nyetusin ide supaya kasih tawaran ke Romeo."

Arsen menelan ludah kasar. Akhirnya, ia sampai pada suatu babak yang membuat mereka berdua duduk bersama malam ini.

"Saham ayah kamu, sementara udah aman." Arsen merangkai satu per satu rantai rumit di antara dirinya dan Moza "Pencalonan Papa tinggal kami yang urus. Nggak ada masalah lain." Arsen menjeda kalimatnya. "Jadi... kita beneran udahan?"

"This is what you want, isn't it?" Moza bersuara lirih.

Arsen tidak menjawab. Kemilau cincin bergerak perlahan ketika Moza melepaskannya. Begitu terpisah dari jarinya, Moza meraih tangan Arsen untuk memberikan benda itu. Saat itu lah Arsen menariknya dalam pelukan.

"Ini bukan karena kamu nggak penting di hidupku, Moz." Arsen berbisik di dekat telinga Moza. Aroma parfum yang ia hafal, terhirup seketika. Arsen bisa mengenali varian mana yang dipakai gadis itu. "Kamu berharga banget buat aku."

Moza tersenyum samar. Dalam pelukan itu, untuk pertama kalinya Moza tahu bagaimana sesaknya menahan air mata. Maka ketika pertahanannya hampir mencapai batas, tangannya bergerak mengeratkan pelukan. Bersembunyi di antara bahu dan leher Arsen, Moza meredam apapun yang mulai bergejolak dalam dadanya.

------------------------------------to be continued

Ada yang mulai ........ (isi sendiri ya)

Apakah ini sebuah titik terang? Atauuu.. *dipersilakan beropini deh*

Continue Reading

You'll Also Like

940K 46.3K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
30.2K 1.3K 13
Highest Rank #1-men 22/7/18 #6-women 22/7/18 #15-perfect 22/7/18 #72-first love 22/7/18 gimana kalo punya bos yang narsisnya luar biasa,sombong,tapi...
1.9M 79.4K 37
Pernah di peringkat : #1 in action category (11 Agustus 2016 ~ 17 November 2016) Diftan Pablo seorang Mafia yg sangat tampan dan sangat kaya diusian...
134K 8.2K 40
#1 Racing (20-04-2020) Di balik kematian ayahnya, tersimpan sebuah rahasia besar yang mengungkap identitas Kimberly Schett yang sebenarnya. Orang-ora...