HEROIN

By ayurespati

1.9M 145K 59.9K

Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tid... More

HEROIN - CANDU
1. The Cold Princess
2. Sepasang Masa Lalu
3. Jaminan Bahagia
4. Endorse Mantan
5. Yang Tertinggal
6. Menelan Kenangan
7. Luka Masa Lalu
8. Cincin Pengikat
9. Selalu Ada Jalan Pulang
10. Dinding 10 Tahun
11. If You Really Care
12. LURUH
13. Merajut Kenang dan Harap
14. Back to You
15. End The Day with You
16. The Kiss
17. Rasa Mendua
18. Tak Bersekat
19. Own You
20. DUA SISI
21. Mencinta
22. Bukan Ramayana
23. Enganged
24. Just Him
25. Consequences
26. Badai
27. Bersama
28. HEROIN
29. Melawan Dunia
30. Best Friend's rule
31. LABELING
32. Terungkap
33. Deal with Problems
34. Asing
35. The Guardian
37. It is Decided
38. Transisi
39. Not a Cinderella
40. Jauh
41. Ujung Tanduk
42. Mendarah
43. Where's Your Prince?
44. Pemeran Utama
45. Something Between Us
46. Benteng Hati
47. Harap
48. Terombang - Ambing
49. Comeback
50. We aren't we
51. Jodoh?
52. Mutual Feeling
53. What is Love?
54. LOVE YOURSELF (END)
SPIN OFF HEROIN
Extra Part Heroin x Antidote

36. Guardian Angel (2)

18.9K 1.9K 3.1K
By ayurespati

~~~lanjutan flashback~~~

"Muka lo..." Moza hendak menyentuh luka di wajah Arsen. Namun, Arsen lebih dulu menghindar.

"Bokap lo mukulin lo lagi? Dia pengacara tapi nggak tau ada pasal kekerasan pada anak, ya?" cecar Moza.

Arsen berdecak. "Gue udah bilang 'kan, Moz... Romeo tuh brengsek. Dia cuma pingin pamer ke temen-temennya kalo dia bisa dapetin lo. Kalo cuma untuk soal taruhan, lo bisa mutusin dia setelah satu atau dua minggu!"

"Gue udah mutusin dia tadi pagi. Pas 2 bulan. Udah kayak magang," cetus Moza.

Arsen mengusap pipinya yang masih terasa perih. "Jangan diulangi yang kayak kemarin," lanjutnya.

"Siapa juga yang berani deketin gue kalo tau lawannya kayak lo. Rekaman lo mukulin Romeo sampe bonyok udah kesebar ke mana-mana."

Arsen tidak lagi bicara. Ia memang kesal terhadap Moza. Karena mau-mau saja diperdaya bangsat seperti Romeo. Meski ia juga kesal kepada dirinya sendiri karena gagal menjaga sahabatnya itu.

Namun, ada yang lebih menganggu pikirannya. Dalam benaknya berputar kejadian semalam. Papanya yang murka karena khawatir kelakuan Arsen merusak hubungan baiknya dengan keluarga Moza, papanya yang bahkan tidak peduli akan kondisinya, dan hidupnya yang akan seperti ini... sampai kapan?

****

11 tahun berlalu, Arsen tumbuh dewasa. Namun, tidak ada yang berubah. Ia masih alat yang digunakan papanya untuk mencapai ambisi-ambisinya.

Pagi-pagi, Arsen sudah berada di rumahnya. Rumah itu tak ubahnya seperti bangunan agung yang alih-alih menjadi rumah, justru menjadi benda mati yang menyimpan berjuta memori menyesakkan.

Sekarang Arsen tahu. Kenapa Enand memutuskan hengkang dari rumah ini dan memilih tinggal di sebuah tempat kost bobrok. Karena tidak ada yang bisa dipertahankan dari rumah ini. Dominasi papanya membunuh semua benih kehangatan di dalamnya.

Ia bahkan bertanya-tanya, sampai kapan Kazi bertahan? Akankah ibu tirinya itu menyusul mamanya? Atau wanita itu memang cerminan Papa dan begitu mencintai papanya? Sehingga bisa memahami segala sikap papanya?

Cinta.

Kemewahan yang tidak semua orang bisa meraihnya dengan mudah. Karena itulah ia bertandang ke sini.

"Arsen nggak ngerti kenapa hidup Arsen dipermasalahkan kayak gini? Banyak anak pejabat pacaran sama artis. Mulai dari anak wakil presiden, menteri, anggota DPR, sampai ketua partai. Orang tuanya duduk manis di kursi pemerintahan. Kenapa Papa yang nyalon jadi gubernur aja harus ngorbanin semuanya?" keluh Arsen setelah adu argumen dengan papanya memuncak. Ia memuntahkan hampir semua kekesalannya selama ini.

"Arsen mau nikah sama Mia," lanjut Arsen dengan suara mantap.

Kalimat itu membuat Papa menatapnya tak percaya. Seolah dirinya adalah Bisma yang baru saja mendengar Drupadi dinikahi oleh kelima Pandawa sekaligus. Tidak mungkin.

"Nikah kamu bilang? Sama pelacur itu?" Bahkan suara papanya tersekat di tenggorokan.

"Mia bukan pelacur!" Arsen menyalak. Matanya membara ketika menyanggah kalimat itu mentah-mentah. "Dan kalau pun iya, Arsen yang mau sama dia!" seru Arsen. "Kenapa? Kenapa Arsen nggak boleh bebas milih, satu kali aja. Arsen udah ngikutin kemauan Papa dari kecil. Baru kali ini Arsen begini. Dan nggak bisa juga? Kenapa? Enand bikin ulah ini itu, Arsen yang beresin. Enand boleh berbuat sesukanya, kenapa Arsen nggak boleh?" Arsen terus mengulang pertanyaan yang selama ini berkutat hanya dalam kepalanya.

"Jangan bawa-bawa adik kamu dalam masalah ini!" Papa kini membentak, emosinya tersulut.

"Jadi dia boleh bawa-bawa Arsen, sementara Arsen nggak boleh bawa-bawa dia?"

"Kamu nggak salah, ngebandingin diri kamu sama anak kecil? Selisih umur kalian bahkan jauh. Kamu harusnya malu punya pemikiran ini setelah dewasa! Apalagi kamu itu panutan buat adik-adik kamu!"

"Arsen nggak pernah melabeli diri Arsen sebagai panutan. Arsen juga nggak minta dilahirin jadi anak pertama. Bahkan Arsen nggak pernah minta dilahirin jadi anak Papa!" Arsen tidak bisa menahan lagi. Ia bangkit dari duduknya, napasnya tersengal. Diucapkannya kalimat yang bahkan ia sendiri terkejut bisa melafalkan kalimat sekeji itu kepada orang tuanya.

****

Bertahun-tahun lalu, setiap kali terjadi perdebatan... Arsen hanya akan menjadi pihak yang kalah. Arsen hanya akan menjadi pihak yang merelakan segala prioritasnya direnggut.

"Dari mana?" Papa menodong Arsen dengan pertanyaan, begitu melihat putranya melintas di dekatnya. Kala itu Arsen baru saja pulang, dengan seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya.

Arsen menoleh papanya sekilas. Sudut bibirnya tertarik ke atas, sebelum akhirnya menjawab dengan nada ramah. "Ngerjain tugas."

"Nggak bisa dikerjain di rumah?"

Kening Arsen berkerut. Ia merasakan kejanggalan dari pertanyaan papanya. Biasanya, beliau selalu oke-oke saja mau Arsen pergi ke mana pun. Karena papanya percaya, ia tidak akan melakukan hal aneh-aneh. "Tugasnya berkelompok. Arsen ngerjain bareng temen."

"Tugasnya yang berkelompok, atau berdua sama pacar kamu?"

Arsen tertegun. Dari mana Papa tahu?

"Papa udah lihat isi kamar kamu. Play Station sama koleksi mainan kamu udah nggak ada," lanjut papanya. Melucuti satu per satu hal yang disembunyikan Arsen beberapa waktu belakangan.

Arsen menelan ludah. Meski sudah mempersiapkan rangkaian jawaban jika ia berhadapan dengan situasi ini, tetap saja. Ia tidak terbiasa berbohong. Ia berdehem sedikit, lalu mengatur suara agar terdengar senormal mungkin. "Rusak. Jadi Arsen jual aja."

"Terus ke mana sekarang uangnya? Kenapa nggak dibeliin yang baru?" Kali ini pertanyaan Papa semakin mengerucut.

"Err.. itu..."

Belum sampai Arsen menyelesaikan kalimatnya, papa bicara lagi. "PS, barang-barang koleksi... Setelah ini apalagi? Mobil juga mau kamu gadaikan?" nada bicara Papa mulai meninggi.

"Enggak lah Pa..." secara tidak langsung, sanggahan Arsen terhadap pertanyaan terakhir Papa, mengonfirmasi kebenaran asumsi Papa sebelumnya.

"Papa dapat laporan dari guru les kamu, kalo kamu udah nggak pernah ikut kelas! Nilai kamu juga turun. Kamu ngapain sih, selama ini?"

Arsen hanya menunduk, tidak menjawab.

"Kamu jual barang-barang kamu, terus kadang kerja part time. Kamu lagi diburu bandar narkoba atau apa?"

Arsen mengusap wajahnya. "Arsen cuma bantu temen."

"Pacar kamu itu, cewek yang kamu titipin untuk kerja di resto Pak Beni 'kan? Jadi bener dia yang meras kamu?"

"Dia nggak meras Arsen... Arsen cuma mau bantu dia dikit. Dia nggak tau soal ini. Apalagi minta."

"Pak Rahmat lihat kamu di lokalisasi prostitusi. Kamu main ke sana, Sen? Cewek itu ngeganti duit kamu pake jasa itu?"

"Apa sih, Pa! Kok jadi yang enggak-enggak? Udah Arsen bilang, Arsen jual barang-barang itu supaya dapat uang buat bantu dia. Arsen kerja part time buat ganti yang lebih murah. Jadi Enand masih bisa main," terang Arsen dengan susah payah.

Arsen sama sekali tidak bohong. Mia tidak pernah meminta apa pun dari Arsen. Jangankan meminta, gadis itu bahkan tidak tahu. Yang Mia tahu, tiba-tiba pemilik kontrakannya berubah baik dan mematok harga diskon lima puluh persen. Padahal, Arsen lah yang sudah membayar setengahnya. Yang Mia tahu, tiba-tiba sebagian besar hutang yang ditinggalkan ibunya sudah dilunasi seseorang. Lagi-lagi Arsen lah orang melunasi hutang itu.

"Minggu depan kamu berangkat ke LA. Ikut Om Reinald, lanjut sekolah di sana." Kalimat papa hadir sebagai petir yang mengoyak Arsen.

"Pa! Nggak bisa gitu, Pa! Arsen mau sekolah di sini. Kasih Arsen kesempatan."

"Papa kasih kamu kesempatan buat hidup lebih baik di sana."

"Pa..." Arsen bahkan sudah merapat untuk berlutut dan memohon.

Rahang papa mengeras. Ia menatap putra sulungnya. Diberikannya dua pilihan. "Kamu yang pindah sekolah, atau dia yang keluar dari sekolah. Papa juga bisa bikin dia kehilangan pekerjaan."

****

Mia kembali mengunyah tomat cerrynya, ketika Arsen yang baru saja mandi sepulang kerja tadi, tiba-tiba bersiap keluar lagi.

"Kamu mau ke mana?" Mia beranjak dari tempat tidur.

"Keluar bentar," jawab Arsen yang baru saja mengenakan Ralph Lauren-nya.

"Papa kamu?" Mia menebak.

Arsen menggeleng, lalu mengoreksi. "Moza. Kami sempat ribut kemarin." Arsen menghela napas. "Iya, urusan Papa."

Mia memperhatikan kegiatan Arsen. Mulai menyemprot parfum dan mengambil dompet, juga kontak mobil. "Sayang..." panggil Mia.

"Hm?"

"Pertunangan kamu, apa masih lanjut?" tanya Mia hati-hati, membuat Arsen seketika mengalihkan perhatian ke arahnya.

Tangan Arsen terulur membelai rambut Mia yang terurai indah. Arsen hendak menjawab bahwa sekarang lah ia akan mengakhiri semuanya. Namun, ia tidak berani berjanji. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ia bertemu Moza setelah ini.

"Dikit lagi. Kamu sabar ya." Akhirnya, kata itulah yang bisa terucap dari mulutnya.

Mia merapatkan tubuhnya ke Arsen, memeluk laki-laki itu. Namun, bibirnya tidak berkata apapun.

"Mia? Kamu ada yang mau diomongin?" tanya Arsen lirih.

"Enggak," balas Mia. Padahal, banyak kata yang ingin ia sampaikan. Namun, saking banyaknya, Mia tidak tahu harus mulai dari mana. Maka, ia pun mengurai pelukan.

Arsen tersenyum. "Aku pergi dulu ya, Sayang."

Arsen mengecup bibir Mia sekilas. Namun, Mia menahannya. Ia justru memberikan ciuman dalam. Bibirnya memagut intens seiring dengan perasaan yang ingin ia sampaikan. Menjadikan ciuman itu ciuman panas. Hingga keduanya kehabisan napas dan melepas tautan bibir mereka, dengan sisa napas yang terengah.

"Aku tunggu kamu pulang." Mia berbisik di telinga Arsen. Entah kenapa berat sekali melepas Arsen malam ini.

------------------------------------to be continued

Arsen remaja nggak punya kekuatan untuk menentang.

Sekarang, setelah dewasa, apakah Arsen bisa?

Jadi, apakah sudah terjawab kenapa Arsen putus sama Mia waktu itu? Kelanjutannya ada di part berikutnya ya

Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 46.1K 7
Arletta memergoki sepasang murid tengah bermesraan di Sekolah, yang ternyata adalah Sang Ketua OSIS, Elang Aldrich Altar. Gara-gara kejadian itu, Ela...
44M 2.3M 96
SERIES SUDAH TAYANG DI VIDIO! COMPLETED! Alexandra Heaton adalah salah satu pewaris Heaton Airlines, tetapi tanpa sepengetahuan keluarganya , dia men...
19.9K 3K 34
Bagaimana jika kamu seorang idol terkenal tapi orang tuamu justru tiba-tiba berniat menghancurkan karirmu yang mulai cemerlang? Bercerita tentang seo...
3.3M 29.2K 29
Tentang jayden cowok terkenal dingin dimata semua orang dan sangat mesum ketika hanya berdua dengan kekasihnya syerra.