HEROIN

By ayurespati

1.9M 145K 59.9K

Arsen bertemu kembali dengan Mia, kekasih masa remajanya, setelah sepuluh tahun berpisah. Perpisahan yang tid... More

HEROIN - CANDU
1. The Cold Princess
2. Sepasang Masa Lalu
3. Jaminan Bahagia
4. Endorse Mantan
5. Yang Tertinggal
6. Menelan Kenangan
7. Luka Masa Lalu
8. Cincin Pengikat
9. Selalu Ada Jalan Pulang
10. Dinding 10 Tahun
11. If You Really Care
12. LURUH
13. Merajut Kenang dan Harap
14. Back to You
15. End The Day with You
16. The Kiss
17. Rasa Mendua
18. Tak Bersekat
19. Own You
20. DUA SISI
21. Mencinta
22. Bukan Ramayana
23. Enganged
24. Just Him
25. Consequences
26. Badai
27. Bersama
28. HEROIN
30. Best Friend's rule
31. LABELING
32. Terungkap
33. Deal with Problems
34. Asing
35. The Guardian
36. Guardian Angel (2)
37. It is Decided
38. Transisi
39. Not a Cinderella
40. Jauh
41. Ujung Tanduk
42. Mendarah
43. Where's Your Prince?
44. Pemeran Utama
45. Something Between Us
46. Benteng Hati
47. Harap
48. Terombang - Ambing
49. Comeback
50. We aren't we
51. Jodoh?
52. Mutual Feeling
53. What is Love?
54. LOVE YOURSELF (END)
SPIN OFF HEROIN
Extra Part Heroin x Antidote

29. Melawan Dunia

21.7K 2K 358
By ayurespati

*Teruntuk Mia-Arsen yang melawan dunia*

Between the wars we danced
Between the wars we laughed
Don't wake me yet
Don't wake me yet
Steal the rest
Hasn't happened
Hasn't happened yet

Between The Wars - Allman Brown


Pagi yang sibuk, tapi Arsen harus mengemudikan mobilnya berlawanan arah dengan kantornya. Papanya jelas sedang naik darah karena Arsen terang-terangan menolak panggilannya dan malah mengubah ke mode airplane setelahnya. Alhasil, pagi ini, demi mencegah drama keluarganya semakin menjadi-jadi, Arsen bertolak ke rumahnya.

Pukul enam lewat. Namun, lalu lintas sudah cukup padat. Ia tidak akan bisa mengejar meeting pagi ini.

Setelah berbelok menuju arah Pondok Indah, Arsen menghubungi salah satu kontak melalui ponsel yang sudah terkoneksi dengan head unit di mobilnya.

"Halo, Pak." Seseorang menyapa dari seberang.

"Nada, sori ganggu pagi-pagi," sapa Arsen. "Saya mungkin datang agak siang. Ada urusan mendesak. Kalau pihak distributor datang, kamu wakilin saya dulu. Sampaikan materi yang sudah kita diskusikan kemarin." Arsen memberi pengarahan pada PIC di timnya.

"Oh, iya. Oke Pak."

"Thanks," balas Arsen yang kemudian menyudahi panggilan. Selang beberapa saat, sebuah panggilan masuk dan Arsen langsung mengangkatnya.

"Nomor kamu dari semalem nggak aktif. Kamu lagi di hutan belantara? Atau sakit?"

"Sori, Moz. Enggak, aku nggak sakit."

"Terus? Kenapa Papa kamu nelpon nggak diangkat? Dia sampe nerror aku malem-malem."

Arsen mengusap wajahnya, lalu bertanya balik tanpa menanggapi pertanyaan Moza. "Iya aku tau. Ini aku mau ke rumah. Sekarang apa lagi?"

Moza berdecak. "Bisa-bisanya kamu masih nanya setelah seharian kemarin tagar numpang mandinya kamu menuhin headline!"

Arsen mendengus kesal. Warga sini kurang hiburan atau apa, sih? Perkara cowok sama cewek sekamar aja jadi heboh!

Arsen meremas kemudi, menghela napas untuk menenangkan diri. "Jadi kamu udah lihat?" Pertanyaan tolol, pikir Arsen. Ia hanya memperjelas itu untuk dirinya sendiri.

"Semua orang juga udah pada liat, Arsen. Belum ketauan aja kalo itu kamu."

Arsen mengarahkan setir memasuki komplek rumahnya. Ia membiarkan kalimat Moza mengudara.

"Sen? Are you with me? Kamu dengerin aku nggak, sih? Kamu tau--"

"Moz, kalo kamu cuma mau ngomel, nanti aja. Aku lagi nggak mau denger itu sekarang."

Moza terdiam. Arsen tidak akan menyelanya kalau cowok itu tidak sedang suntuk-suntuknya. Arsen tidak akan menolak bicara dengannya kalau sebuah pembicaraan tidak menyudutkannya hingga ia terhimpit dalam sesak dan berpotensi membuat mereka bertengkar.

Moza terlalu mengenal Arsen. Dan yang seperti ini sangat jarang terjadi dalam sejarah pertemanan mereka, kalau Arsen tidak benar-benar suntuk.

Di seberang sana, Moza bicara lagi. Kali ini dengan intonasi lebih rendah. "Ok, take some time. Call me as soon as kamu bisa," katanya, kemudian mengakhiri panggilan.

Arsen mendesah pelan. Merasa brengsek dan kasar. Namun, ia memang sedang tidak bisa berkomunikasi dengan Moza saat ini. Emosinya masih belum terkontrol.

Beberapa saat kemudian, rumah Arsen sudah terlihat. Begitu sampai, Arsen memberhentikan mobilnya dan memarkirnya di luar gerbang.

Ketika memasuki pelataran rumah, dilihatnya SUV hitam milik papanya masih terparkir. Ia pun melangkahkan kaki dengan mantap memasuki rumah.

"Kak Arsen?" sapa Irene yang tampaknya bersiap untuk berangkat sekolah.

"Papa ada, Ren?"

"Ada. Baru selesai sarapan."

"Oke," balas Arsen dengan langkah tergesa, tanpa memedulilan raut adiknya yang penuh pertanyaan.

Suasana rumah tampak lengang. Untuk ditinggali keluarga yang beranggotakan lima orang saja, rumah itu sudah sangat besar. Apalagi sekarang setelah Enand dan dirinya tinggal di tempat lain, rumah itu tampak semakin kosong dengan hanya ditinggali oleh tiga orang yaitu Irene, Kazi, dan papanya yang jarang di rumah.

Arsen melenggang ke ruang keluarga. Ya, begitulah istilahnya dalam tata desain interior. Meski sebenarnya ruangan itu hanya sebagai pajangan. Tidak ada penghuni rumah ini yang memanfaatkan ruangan itu sebagaimana fungsinya. Dari sana, Arsen bisa melihat papanya keluar dari kamar dengan setelan rapi, diikuti oleh Kazi di belakangnya.

Pandangan Arsen dan papanya saling bertumbuk. Papa tampak sedikit terkejut. Ia berbisik sekilas pada Kazi, yang kemudian tersenyum seraya menepuk pundak suaminya, lantas menyingkir ke ruangan lain.

Seperti sudah tahu maksud masing-masing, Arsen dan Papa berhadapan dengan penilaian satu sama lain.

"Papa harap kamu datang dengan sesuatu yang baik, Sen. Bukan lelucon."

Arsen tersenyum masam. Selalu tentang harapan papanya, ya?

"Sesuatu yang baik itu yang seperti apa?"

Papa tertawa sinis mendengar pertanyaan Arsen. Pagi ini ia harus menghadapi sidang cukup pelik. Dan sebelum putaran sidangnya dimulai, anak sulungnya muncul seolah ingin menjadi musuh pertama yang hendak dibabatnya habis.

"Sesuatu yang nggak akan menimbulkan masalah di pihak kita. Lelucon konyol di media sosial itu..." Papa memberi jeda. "Bilang sama Papa kalau itu bukan kamu."

Arsen meremat tangannya, lalu sebuah kalimat terucap. "Itu memang Arsen."

Papa tidak bersuara. Dalam ilmu yang dianutnya, di setiap duduk perkara penyidikan, ada yang namanya bukti dan petunjuk. Pada kasus Arsen, foto yang tersebar luas di media tidak terlalu jelas menampilkan wajah putranya. Sehingga keberadaannya tidak dapat mengonfirmasi apakah itu Arsen atau hanya seseorang yang mirip Arsen. Karena tidak bisa membuktikan apapun, maka hal itu hanya memiliki status sebagai petunjuk.

Karena itulah. Secara objektif, Papa menghindari untuk berasusmsi sebelum mendengar konfirmasi dari Arsen sendiri. Lalu detik ini, Arsen datang dan mengambil peran sebagai terdakwa yang dengan mengakui kebenaran sebuah petunjuk yang mengarah terhadapnya.

"What a joke, Arsen." Papa tertawa sinis.

"Apapun yang terjadi di antara aku sama Mia, that's not a joke. I love her."

"Sejak kapan kita berunding soal percintaan? Papa selalu ajari kamu untuk rasional, lihat bukti, fakta. Dan fakta yang ada sekarang adalah kamu tunangan Moza. For God's sake, Arsen! Apa yang ada di otak kamu sekarang?"

"Aku sama Moza sepakat, kami akan selesai setelah Papa terpilih dan TJ.Group ikut dalam proyek konsorsium tahun depan."

Papa mengernyit. "Apa yang bikin kamu berpikir kamu berhak ambil keputusan soal kepentingan Papa?"

"Siapa bilang ini tentang Papa? Ini tentang aku, Mia, dan Moza yang kebetulan ada Papa di dalamnya."

Papa tersentak. Tanpa bisa ditahan, tangannya melayang ke pipi Arsen. Untuk pertama kalinya putranya yang paling taat dan manis itu memancing emosinya. Untuk pertama kalinya, putra kebanggaamnya melukainya dengan mengambil kendali kapal yang tengah dijalankannya secara kasar. Tanpa aba-aba dan perhitungan gegabah.

"Apa dari jalang itu kamu belajar kurang ajar kayak gini, Sen? Kamu nggak mikir? Ini bisa jadi awal keretakan dari pondasi yang susah-susah Papa bangun!" Suara menggelegar memenuhi ruangan.

Arsen tersenyum masam. Alisnya terangkat. "Pada akhirnya, Papa cuma mikirin kerugian di sisi Papa, kan?"

Senyum itu selanjutnya berubah menjadi gurat kaku yang mengeras di rahangnya. Ia menatap papanya penuh keberanian, juga kedalaman tekad yang seolah tak berdasar.

"Jangan minta Arsen buat ngelepasin Mia. Karena itu nggak akan terjadi."

---------------------------------to be continued

Waw, apakah ini awal Arsen jadi anak durhaka? 😅

Malin Kundang be like : mari bergabung bersamaku

***

See you on next part,
ramein dong guys komennya~

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 79.4K 37
Pernah di peringkat : #1 in action category (11 Agustus 2016 ~ 17 November 2016) Diftan Pablo seorang Mafia yg sangat tampan dan sangat kaya diusian...
755K 9.9K 31
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
6.1M 317K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
431K 34.5K 32
CHENLE FT. MARKHYUCK Chenle hanya rindu Daddy dan Mommy