Menjelang sore, Arsen tiba di kedai Mia. Denting bel terdengar kala ia mendorong pintu kaca. Tonny lebih dulu menangkap kehadirannya. Sementara Mia, gadis itu tampak serius berbicara dengan seorang pria berkacamata sambil memandangi layar laptop, seolah mengarahkan sesuatu.
Arsen duduk di kursi dekat jendela. Sinar matahari sore menyorot ramah, membuat cat yang melapisi meja kayu tampak mengkilap. Ia menurunkan sedikit roller blind di sisinya demi menurunkan intensitas matahari sore. Saat itulah Tonny muncul di hadapannya.
"Pantes Mia ceria dan semangat banget hari ini, kayak pengen cepet-cepet beresin kerjaan. Ternyata ada yang ditungguin," celetuk Tonny yang langsung duduk di hadapan Arsen.
Arsen tersenyum. "Apa kabar, Ton?"
"Basi pertanyaan lo. Nggak lihat saking sehatnya, gue sampe ngeblonde rambut kayak Rose blackpink?"
Arsen tertawa. Derai tawanya terdengar hingga ke telinga meja seberang. Mia yang baru menyudahi diskusinya, menoleh. Dipandanginya sosok itu beberapa saat, demi meyakinkan dirinya bahwa yang dilihatnya bukan mimpi.
"Selesai kapan ya, Ki?" Mia bertanya ke Rizki, desainer freelance yang sering menangani projectnya.
"Paling cepet lusa. Gue kelarin orderan lain dulu. Baru ini."
"Oke. Thanks ya," ucap Mia seraya menjabat tangan Rizki.
"Sama-sama." Rizki memasukkan laptop ke dalam ranselnya. "Ton! Cabut dulu, ya!" kata cowok itu sembari melambaikan tangan.
Usai Rizki meninggalkan kedai, Mia beralih ke meja yang ditempatin Arsen.
"Kamu kok nggak pesen apa-apa?" tanya Mia ketika melihat meja Arsen masih kosong.
"Nah, ditanyain sama yang punya tuh. Duduk doang di sini semenitnya ceban!" seru Tonny.
"Ngemeng aja lo. Ga nawarin juga, kan lo?" sahut Mia.
"Tadi si Bintang udah ke sini. Tapi ini tamu maunya dilayani lo langsung. Biar berasa kayak adegan suami pulang kerja gitu," balas Tonny santai. Kini cowok itu tengah menatap layar ponselnya yang menampilkan beberapa pesan masuk
Ucapan Tonny kontan membuat Mia yang tadi memberondong Tonny dengan pertanyaan, kini terdiam.
"Nggak gitu. Tonny ngasal." Arsen buru-buru meralat.
Tonny menyeringai. "Pada salting, kan lo berdua? Udah deh ya, gue tinggal dulu. Gue mau urusin klien dulu. Banyak lagi nih job," seru Tonny menunjukkan ponselnya yang diberondong pesan oleh klien.
Tonny menggeser pahanya yang berukuran dua kali lipat paha orang normal, untuk keluar dari bilik tempatnya duduk kemudian berlalu.
"Maafin Tonny, ya. Dia biasa gitu," kata Mia, lalu duduk menggantikan Tonny.
"Nggak pa-pa." Arsen tiba-tiba membenahi posisi duduknya, lalu berdehem. "Ehm, kamu beneran udah selesai kerjanya? Aku ganggu, ya?"
"Enggak. Udah kelar kok," balas Mia dengan senyum tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik maroon. Membuat tampilannya jauh berbeda dari terakhir kali Arsen melihatnya. "Eh iya. Kamu jadi pesen apa?"
Arsen menggeleng. "Aku mau ajak kamu keluar. Kamu kosong, kan?"
Mata Mia sedikit melebar. "Hm? Ke mana?"
"Nonton."
*****
The Greatest Showman. Film itu tayang beberapa bulan lalu di Amerika. Namun, Arsen bahkan tidak sempat untuk menontonnya. Ia hanya melihat iklannya yang tampil di jalan-jalan besar.
Usai mengantongi tiket, Arsen menghampiri Mia yang menunggu di kursi, fokus pada ponselnya. "Serius banget," sapa Arsen yang ikut duduk. Penayangan film masih sekitar sepuluh menit lagi.
"Lagi lihat desain kasar buat gelas baru. Menurut kamu gimana?" Mia mendongak, lalu menyodorkan ponselnya ke Arsen.
Arsen memperhatikan desain kemasan itu dengan saksama. "Tulis targetmu hari ini...," gumam Arsen ketika membaca tulisan di sana. "Hmm unik. Punya value tersendiri. Apalagi buat orang ngopi pagi atau siang, bisa ngebentuk semangat."
Mia terseyum lalu mengambil kembali ponselnya dari tangan Arsen. "Aku emang pengen kopi aku bikin rileks, tapi nggak bikin orang lupa sama targetnya," tukas Mia riang, mencermati desainnya lagi.
Mereka kemudian berjalan masuk ke dalam auditorium.
"Kalo pertanyaan itu dibalik ke kamu, emang target kamu hari ini apa?" Arsen bertanya setelah keduanya duduk sesuai nomor pada tiket. Lampu masih menyala terang, layar masih menayangkan beberapa iklan.
Mia tampak berpikir, mereka-ulang kegiatannya hari ini. "Udah terpenuhi semua. Tadi udah nyalon bareng Tonny, terus nge-live bareng duta anti kekerasan terhadap perempuan... partisipannya lumayan, terus kelar meeting desain. Beres semua."
Arsen tersenyum. Gadis itu benar-benar kembali menjalani hidupnya dengan baik.
"Kalo kamu?"
"Hm?" Arsen tersentak dari lamunannya.
"Target kamu hari ini apa?"
"Wawancara lancar, selesai baca dua bab buku, terus..." Arsen menatap Mia. "Ketemu kamu."
Mia terdiam beberapa saat. Lalu tersenyum.
Perlahan lampu mulai meredup. Dalam kegelapan, Mia tidak perlu menyembunyikan pipinya yang mungkin bersemu merah. Dalam kegelapan, hatinya menghangat. Dalam hidupnya yang hanya berisi hal-hal menyakitkan, kehadiran Arsen lagi-lagi sukses membalut luka-lukanya dengan cara paling manis.
****
Banyak sesuatu di dunia ini yang tidak sesuai nalar, lalu dipaksakan untuk sesuai nalar. Kadang, itulah yang membuat kita lelah.
Karenanya, Mia tidak mau ambil pusing ketika dunia tiba-tiba menghadirkan kembali kepingan berharga di hidupnya yang sempat hilang. Mia tidak mau memikirkan bagaimana sepuluh tahun bisa terasa singkat dan tidak ada apa-apanya. Bagaimana rasa asing dan jarak yang seharusnya ada setelah berpisah dalam kurun waktu selama itu, terkikis begitu saja.
Mia menatap Arsen yang menyantap sate ayam dengan lahapnya. Wanita itu tersenyum. Bahkan setelah sepuluh tahun, Arsen masih mengidolakan makanan itu dan menikmatinya seolah sebentar lagi kiamat.
Arsen selesai mengunyah satu gigitan terakhirnya, lalu meneguk air mineral di hadapannya. Mia mengambil selembar tisu dari dalam tasnya, lalu mengusap area sekitar bibir Arsen yang masih menyisakan bumbu kacang.
"Udah makannya?" tanya Mia lembut.
Arsen baru sadar Mia memperhatikannya sejak tadi. Cowok itu terbatuk, gugup. "Berantakan banget, ya?"
"Iya, kayak bocah." Mia menimpali.
"Jarang-jarang makan gini, Mia." Arsen memeriksa jamnya. "Udah mau jam sembilan. Mau balik?"
Mia mengangguk. "Gerah. Belum mandi dari sore."
Mereka pun beranjak dari warung sate tua pinggir jalan itu, menuju mobil Arsen yang terparkir tak jauh dari sana. Keduanya berjalan beriringan melewati trotoar, lalu turun ke bahu jalan.
Menghindari motor yang hendak parkir, Mia mengubah langkahnya yang seharusnya ke depan, ke arah kiri. Gerakan mendadak itu tak pelak membuat kaki Mia yang saat itu tengah mengenakan heels lumayan tinggi, tergelincir.
"Aw!" pekik Mia, yang seketika membuat Arsen menengok ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Arsen begitu melihat Mia yang memegangi kakinya.
"Kayaknya terkilir deh. Aw, aduh!" pekik Mia lagi ketika mencoba berjalan.
Arsen pun dengan sigap membantu Mia. "Dikit lagi," katanya, kemudian buru-buru membuka pintu mobil. Dibantunya Mia untuk masuk ke dalam.
"Sakit?" tanya Arsen, setelah ia duduk di kursi kemudi.
"Nggak terlalu sih," jawab Mia sembari memijit ringan kakinya.
Keduanya pun memasang sabuk pengaman, sebelum akhirnya mobil meluncur menuju apartemen Mia.
----------------------------------to be continued
Sen? Hmm...
dibiarin malah diterusin 😆
Ya ga papa sih. Kan sama calon istri, perjanjiannya cuma temenan ya...
Yang penting bisnis tetep jalan, karier tetep jalan, keluarga tetep damai....
Seperti yang aku bilang, cerita ini sudah upload di karyakarsa sampai BAB 30 ya... berkunjung aja ke akun aku, "ayurespati", link yang ada di bio