Eccedentesiast

By saytheutic

382K 29.5K 1.7K

[COMPLETED] [Udah lengkap lagi, feel free to read!!] Biar kuceritakan padamu tentangnya; sang bintang yang ha... More

Prolog
Bab 1 | Sebuah Kisah Telah Dimulai
Bab 2 | Hari-Hari Bersama Aksara Ghifari
Bab 3 | Sebuah Rutinitas
Bab 4 | Stabil
Bab 5 | Perginya Seorang Sahabat
Bab 6 | You Are My Sunshine
Bab 7 | Tujuh Harapan Untuk Masa Depan
Bab 8 | Hadiah Misterius
Bab 9 | Aksara Mohon, Jangan Pergi
Bab 10 | Selama Ada Arza, Semuanya Akan Baik-baik Saja
Bab 11 | Pil Pahit
Bab 12 | Di Antara Bintang
Bab 13 | Apa Jadinya Kalau Kondisi Aksa Memburuk?
Bab 14 | Ventrikel Fibrilasi
Bab 15 | Sinar Aksa Tidak Pernah Padam
Bab 16 | Congenital Heart Defect vs Amaurosis-Fugax vs Hemofilia
Bab 17 | Sayang, Arza Bukan Siapa-siapa
Bab 18 | Arza, Tolong Jangan Manja!
Bab 19 | Aksara Pengin Sama Kakak
Intermeso 1 | Bahkan, Aksa Tidak Pernah Bisa Sebebas Itu
Bab 20 | Melepas Rindu
Bab 21 | Sesaat Sebelum Aksara Datang
Bab 22 | Perbincangan Kecil
Bab 23 | Serba Misterius
Bab 24 | Namanya Mystery
Bab 25 | Tanpa Judul
Bab 26 | Aksa Tahu Kalau Arza Kuat
Bab 27 | Mystery Mana?!
Bab 28 | Kakak Kuat!
Bab 29 | Adek Kuat!
Intermeso 2 | Kadang, Obrolan Mereka Tidak Penting Sama Sekali. Kadang
Bab 30 | Kabar Baik
Bab 31 | Aneh
Bab 32 | Lelah
Bab 33 | Kak, Ini Adek ....
Bab 34 | Tanpa Judul (2)
Bab 35 | Mulai Curiga
Bab 36 | Tidak Bisa Percaya
Bab 37 | Bertemu
Bab 38 | Tanpa Judul (3)
Bab 40 | Belum Bisa Menerima
Bab 41 | Selamat Ulang Tahun, Arza
Bab 42 | Segalanya Kembali Seperti Awal
Bab 43 | Tidak Bisa Menerima
Bab 44 | Hancur
Bab 45 | Penyesalan
Bab 46 | Kali Ini, Semuanya Benar-benar Kembali
Bab 47 | Menentukan Pilihan
Bab 48 | Perbincangan
Bab 49 | Jatuh
Bab 50 | Takut
Bab 51 | Jangan Khawatir
Bab 52 | Berkorban
Bab 53 | Kakak?
Bab 54 | Meyakinkan
Bab 55 | Kadang Aksa Memang Suka Seenaknya
Bab 56 | Ingin Terus Berjuang
Bab 57 | Kembali
Bab 58 | Selamat Ulang Tahun, Aksara
Intermeso 3 | Cuma Teman, Kok
Bab 59 | Ini Yang Terbaik
Bab 60 | Kedatangan Seseorang yang Berharga
Bab 61 | Tenang Saja
Bab 62 | Baik-baik Saja
Bab 63 | Pada Akhirnya
Bab 65 | Tanpa Judul (4)
Bab 66 | Sampai Jumpa Lagi, Aksara
Epilog
Sedikit Kisah Lama
"Nggak tahu, Arza bingung."
Berusaha Keras
Sekali Untuk Terakhir Kalinya
Salam Perpisahan Dari Kami
edisi kangen-kangenan
what if ....

Bab 39 | Pulang

3.2K 334 7
By saytheutic

•••

Eccedentesiast

Bab 39 | Pulang

•••

Bahkan, setelah pada akhirnya kondisi Arza benar-benar membaik, Kalina tidak datang kembali. Padahal, Arza tidak pernah benar-benar mengusirnya. Bahkan, selama ini ia menerimanya dengan tangan terbuka, membiarkannya berada di sisinya.

Dengan kaki yang digantungkan pada kedua sisi ranjang dan Aksa yang duduk di sebelahnya, Arza mendengarkan wejangan terakhir dari dokter sebelum pada akhirnya ia benar-benar bebas dari perawatan rumah sakit. Tangannya yang awalnya dipasangi venflon sudah dilepas, menyisakan alcohol swab yang ditempeli dengan plester di sana. Tangannya sedari tadi merapikan rambut yang bahkan masih tidak jelas bentuknya itu, efek operasi yang harus dijalani Arza---ditambah dengan rambutnya yang tumbuh agak lambat.

"Tapi, Kak Arza boleh makan apa aja 'kan?" Aksa bertanya.

"Boleh, nggak ada larangan." Dokter Erina, DPJP-nya, tersenyum tipis. "Asal, jangan sembarangan juga. Ingat, makanan juga harus dijaga. Nggak bisa asal makan ini-itu."

"Iya, kok, tahu," celetuk Arza. Ia mengusap leher belakangnya. "Udah, nggak ada yang mau ditanyain lagi. Aku mau pulang."

"Kakak." Bunda memperingatkan. Ia yang berdiri tepat di samping Dokter Erina langsung maju dan menepuk puncak kepala Arza pelan. "Minta maaf!"

Arza menunduk. "Iya, maaf," ucapnya mau tidak mau. Kepalanya lalu dimiringkan, menatap bunda yang masih saja menatapnya tajam. Kemudian, senyum jahil Arza terbit. "Apa lagi, sih?"

"Kakak minta maafnya nggak tulus." Aksa menceletuk. Kedua lengannya dilipat di depan dada. "Kalau minta maaf itu harus tulus, Kak. Walaupun lo nggak salah, ngucapin maaf itu jadi salah satu cara buat mempertahankan hubungan."

"Sejak kapan kamu seahli itu masalah hubungan, Dek?" Bunda bertanya. Diacaknya rambut Aksa dengan gemas. "Maaf, ya, Dok. Putra saya emang rada-rada gini."

Dokter Erina tertawa kecil. Interaksi di hadapannya benar-benar hangat dan mampu membuatnya merasa ikut bahagia. Sederhana, namun menyenangkan.

"Nggak apa-apa, Bu. Malah begini bagus 'kan? Nggak ada jarak antara setiap anggota keluarga." Dokter Erina mengerlingkan manik kirinya. Ia tidak bisa mengerti kenapa keluarga yang tidak memiliki hubungan darah apapun seperti Aksa dan Arza bisa punya ikatan yang kuat. Yah, setidaknya hal itu menunjukkan bahwa saudara tiri tidak selalu berseteru seperti di sinetron yang suka ditontonnya jika tidak sedang berjaga.

"Adek sayang banget sama kakaknya, ya!" seru Dokter Erina, yang langsung disambut oleh gelengan dari Aksa. "Loh, kenapa?"

Aksa menatap Arza yang kini juga sedang menatapnya. Lalu, keduanya saling membuang pandang. Wajah Aksa tampak memerah, lalu ia mengangguk, merevisi jawabannya barusan.

"Gimana, gimana? Sayang sama kakaknya?"

Aksa mengerang pelan. "Kenapa Aksa ditanyain terus, sih?!" gerutunya, "Aksa 'kan nggak suka ditanyain gitu. Aksa sayanh sama Kakak. Nggak usah dijawab juga seharusnya Dokter tahu jawabannya."

"Kok, ngegas." Arza menatap Aksa heran. Meski begitu, ia takjub dengan Aksa yang berani mengatakan seluruh perasaannya. Yah, meski Aksa sepertinya terpaksa saat menjawab pertanyaan itu.

"Iya, saya paham banget." Dokter Erina berucap. "Kalau nggak ada pertanyaan lagi, Arza udah boleh pulang. Infusnya udah dilepas, tinggal ditunggu berkasnya sedikit lagi, ya."

Arza tidak bisa ingat bagaimana rumahnya, tapi ia merasa senang. Entah bagaimana ingatannya yang abu-abu itu justru memberikan efek ketidaksabaran yang menggebu, membuat Arza ingin cepat-cepat pulang. "Lama nggak, Dok?" tanya Arza.

"Sebentar. Sebentar lagi."

•••eccedentesiast•••

Pada akhirnya Arza benar-benar bebas dari kamar rawatnya. Ia duduk di kursi roda, meski sudah berulang kali meyakinkan bunda dan Aksa kalau dirinya sudah kuat untuk berjalan sendiri sampai lobi. Tapi, Aksa malah menyuruh Arza untuk duduk, sementara laki-laki itu mendorongnya dengan cepat.

Masalahnya, di depan jalannya agak menurun.

"Dek!" panggil Arza panik. Kedua tangannya menggenggam erat tas yang diberikan oleh bunda. "Di depan turunan."

"Ya, terus?"

"Gue nggak mau, ya, dirawat lagi gara-gara kecelakaan kursi roda begini."

Aksa tertawa puas. Ia menahan gerakan kursi roda agar tidak terlalu cepat. Napasnya terengah, tapi senyumnya lebar, seolah Aksa baik-baik saja dengan aktivitas seperti itu.

"Udah, ayo ke lobi," cecar Arza. Masalahnya, Aksa malah tetap jalan lurus, itu berarti keduanya sedang mengarah ke kamar mayat. "Nggak usah aneh-aneh. Bunda sama Ayah udah nunggu di lobi."

Aksa menepuk pundak Arza lembut. "Sebentar aja, Kak," balasnya. Ia membelokkan kursi roda sebelum benar-benar masuk ke kamar mayat. "Gue mau lo ketemu sama seseorang dulu."

Arza menyatukan alisnya heran. "Siapa?"

Aksa tidak menjawab. Senyumnya penuh arti. Hingga pada akhirnya keduanya sampai di kantin Gedung Anak Dahlia, Aksa berhenti mendorong. Tepat di hadapannya, tak jauh darinya, seorang wanita berdiri.

"Bun ... da?"

•••tiga hari sebelumnya•••

Aksara membuka pintu yang sedari tadi diketuk oleh entah siapa. Tangannya sejenak mengusap kelopak matanya yang masih lengket, lalu menguap. Siapa pula orang yang bertamu sepagi ini?

"Siapa ...?" Kelopak mata Aksa mendadak melebar saat melihat siapa yang berdiri di balik pintu. "Tante ... ngapain ke sini?"

Kalina tersenyum tipis. Ia menyingkap anak rambut yang seenaknya mengganggu pandangannya. Wajahnya menyiratkan kegugupan sekaligus rasa takut.

"Adek ... Aksa 'kan?"

Aksa sedikit memiringkan kepalanya. "Iya, aku Aksa. Ada apa, ya, Tan?"

"Bisa bantu Tante?" Lina menggigit bibir bawahnya sejenak. "Tante ... cuma pengin ketemu Arza. Untuk terakhir kalinya. Tapi Tante takut. Apa bunda kamu bakal ngebolehin Tante buat ketemu sama dia?"

Aksa diam. Selama ini, bunda memang berkata bahwa Aksa harus jaga-jaga jika Lina kembali datang. Kata bunda, Lina tidak boleh bertemu dengan Arza. Ia sudah tidak punya hak lagi.

Tapi ... Aksa tidak bisa sejalan dengan bunda.

Dirinya yang terlampau peka mampu menangkap rasa bersalah yang disiratkan oleh kedua manik legam itu. Ada rasa rindu yang terselip. Aksa bisa melihat sorot seorang ibu yang menyayangi anaknya dengan dalam. Itu berarti ... tidak masalah 'kan?

"Bisa 'kan?"

"Kak Arza sebentar lagi pulang." Aksa tersenyum tipis dan mengusap lengan Lina dengan lembut. "Saat itu. Aku kasih waktu buat Tante ketemu sama Kak Arza."

•••kini•••

"Bun ... da?"

Arza mengerjapkan kedua kelopak matanya berkali-kali. Perlahan, ia bangkit dari kursi rodanya. Dengan langkah terseok, Arza menghampiri.

"Kenapa ... Bunda tiba-tiba datang?" tanyanya.

Lina menunduk dalam. Ia enggan menatap Arza. Bahkan, begitu laki-laki itu ingin menyentuhnya, Lina langsung mundur, berusaha menghindar.

"Maaf," bisik Lina lirih.

"Kenapa ...?" Arza membalas sama lirihnya. Bibirnya bergetar.

"Maaf karena pernah menelantarkan kamu dulu."

Arza tidak tahu harus berespon bagaimana. Ia sudah mendengar bahwa dirinya memang ditinggalkan di depan panti, lalu bunda mengangkatnya sebagai seorang anak. Arza belum bisa percaya saat itu. Namun, begitu mendengarnya dari bibir Lina secara langsung, ada rasa sakit yang tidak dapat dideskripsikan saat itu juga.

"Oh, jadi benar, ya?" Arza tersenyum miring. "Bunda ngebuang aku, ngebiarin aku ada di depan pintu panti, sampai orang-orang panti nemuin aku. Dan akhirnya ada orang yang ngangkat aku sebagai anak."

"Maaf." Lina mengulang ucapannya.

"Kenapa Bunda buang aku saat itu? Nggak bisa nerima aku sebagai anak? Nggak mau punya anak penyakitan kayak aku? Nggak bisa ngurus aku?" Arza bertanya dengan suara bergetar. Ia ingin mendengar semuanya. Alasan bundanya yang telah membuangnya itu.

"Maaf," ucap Lina sekali-lagi, "Mungkin, alasan yang tepat adalah ... karena saat itu ayah kamu---maksud Bunda, orang yang sudah menghamili Bunda, nggak bisa nerima kamu. Bunda juga nggak bisa. Bunda belum siap buat---"

Rasanya Arza seperti disambar petir. Kelopak matanya melebar. Ia mundur hingga tubuhnya menabrak kursi roda. Perlahan, ia meluruh, memotong ucapan Lina saat itu juga.

"Dek ...." Arza memanggil Aksa. "Gue nggak mau dengar alasannya lagi. Ayo ... kita pulang."

"Kak, tapi---"

"Pulang!" Arza berucap final. "Alasan macam apa itu? Mau menghancurkan saya untuk kesekian kalinya? Selamat ... Anda berhasil."

Arza tidak mau lagi menatap Lina. Ia menunduk. Cairan bening yang melapisi bola matanya perlahan meluruh, mengaliri pipinya.

"Kak," panggil Aksa khawatir. Ia mendorong kursi roda Arza untuk segera ke lobi. "Lo nggak apa-apa?"

Arza mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Gimana caranya gue bisa nggak apa-apa setelah ngedenger kalau gue nggak diharapin sama sekali?"

•To be continued•

A/n

Guys, aku lagi sedih :")

Soalnya karakter yang aku suka kayak ada tanda tanda bakal mati :") ambyar seharian ini

Continue Reading

You'll Also Like

Say My Name By floè

Teen Fiction

1.3M 73.6K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
7.4K 510 59
"aku terus menjadi cahaya untukmu,karna aku tau kegelapan membuatmu ketakutan ze" ucap pria yg sedang duduk disampingku. "gak usah sok puitis deh lu...
AKSARA By Alvi

Teen Fiction

16.1K 1.4K 37
Judul awal: Thanks,Aksa * SEDANG DIREVISI * (follow dulu sebelum membaca) ° ° Aksara Riendra Sean.sosok anak sulung yang ingin membuktikan kepada s...
3.2K 64 1
Dari sisi Bumantara, bagaimana jika kamu seorang anak tunggal yang hidupnya terasa damai tiba-tiba didatangkan seorang adik yang mengesalkan jiwa rag...