Mata Ocha masih tertuju pada Axel, cowok berambut agak gondrong yang sebagian rambutnya diikat ke belakang itu tampak memilih-milih makanan untuk sarapannya. Setelah puas memilih, alisnya berkerut marah melihat seorang anak laki-laki berkacamata duduk di tempat kesukaannya. Tanpa basa-basi, dengan dagu terangkat, ia menghampiri anak laki-laki berkacamata itu lalu menuangkan sepiring makanan yang telah ia pilih tadi ke atas kepala si anak laki-laki berkacamata tersebut.
Mulut Ocha dan Lisya menganga tak percaya. Belum lima menit mereka masuk ke dalam kantin, mereka sudah mendapatkan bukti bahwa Axel adalah Bad Boy yang benar-benar harus mereka hindari. Ternyata semua informasi itu bukan hanya bualan semata.
"Raditya Ciano." Axel membaca pelan name tag anak laki-laki cupu yang saat ini sedang kelabakan membersihkan wajahnya dengan tisu.
"Dia pasti anak baru sama seperti kita. Dan dia pasti nggak tahu kalau tempat duduk itu adalah singgasana Kak Axel," bisik Lisya ke telinga Ocha.
Ocha kembali meneguk ludah. Entah sudah berapa kali ia meneguk ludahnya sendiri karena ketakutan. Mulutnya kini terasa mengering.
Axel duduk di depan Radit. Ia tersenyum miring menikmati ekspresi Radit yang terlihat sangat ketakutan. Puluhan pasang mata hanya bisa melihat dan enggan untuk menolong. Mereka semua tidak mau berurusan dengan Axel, ketua geng dari kelas XI IPS-A.
"Sebutkan satu kesalahan yang lo lakukan ke gue!" tanya Axel sembari menatap sinis ke arah Radit.
"Sa ... ya saya nggak tahu, Kak," jawab Radit terbata.
"Baiklah. Karena gue baik, gue akan kasih tahu lo kenapa gue marah."
Semua orang menyimak. Ocha dan Lisya masih berdiri kaku di dekat pintu. Sama seperti yang lain, mereka pun tidak mempunyai niatan menolong anak laki-laki yang bernama Radit itu. Mereka juga tidak mau berurusan dengan Axel.
"Lo sudah mencuri tempat duduk gue. Sekarang, sebagai hukumannya, lo harus makan nasi yang belum lo habiskan ini." Axel menunjuk sepiring nasi milik Radit yang sudah tidak layak dimakan karena kotor terkena tumpahan makanan Axel.
"I ... iya, Kak." Radit mengangguk, mengangkat sendok dengan tangan gemetar, lalu memakan nasi tersebut sambil menahan tangis.
"Bagus. Good boy!" Axel menyeringai puas melihat Radit mengikuti perintahnya.
Selama ini, Axel memang gemar membully siswa-siswa yang membuatnya kesal. Dia membuat hukuman seenaknya sendiri sesuai apa yang keluar dari pikirannya. Jika ada yang tidak mau melaksanakan hukuman, jangan harap bisa bersekolah dengan tenang di Delton International High School.
"Lo benar, Sya. Gue harus menghindari Kak Axel," ujar Ocha pelan. Ia mengangguk penuh tekad.
Saat Ocha dan Lisya memberanikan diri melangkah menuju deretan hidangan, kaki mereka lagi-lagi terhenti saat semua mata tertuju pada seorang gadis yang tak sengaja terpereset di dekat tempat Sean duduk. Membuat Sean melepaskan headset di telinganya, menutup buku, lalu mengamati seragamnya yang sedikit terciprati es teh yang tumpah di lantai.
"Kak Sean? Saya nggak sengaja, Kak. Saya minta maaf," ucap gadis bernama Gisel itu. Sama seperti Radit, wajahnya juga tampak ketakutan bukan main.
Sean menatap datar ke arah Gisel yang masih terduduk di atas lantai. Ia mengambil buku dan headsetnya, lalu menghela napas.
"Untung lo cewek. Kalau enggak, gue bakal menenggelamkan lo di kolam renang," kata Sean tanpa ekspresi. Ia memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana kemudian berlalu pergi.
"Benar kata lo, Sya. Gue juga harus menghindari Kak Sean," ucap Ocha semakin yakin kalau Sean dan Axel adalah jenis orang yang harus ia hindari.
Ocha menghela napas setelah sempat ia menahan napasnya cukup lama karena ketakutan. Saat ia masih SMP, tak pernah sekali pun ia melihat adegan pembullyan di depan matanya. Semuanya hidup akur rukun dan begitu tenang. Kalau pun Ocha pernah melihat adegan pembullyan, itu hanya pernah ia lihat dalam sinetron kampungan yang kerap Ibu tirinya tonton.
Ocha masih tak habis pikir, mengapa ada banyak cowok tampan di sekolahnya yang teramat sangat berbahaya. Terlebih lagi, sikap kasar mereka seolah-olah membabi buta karena mereka terlahir menjadi anak orang kaya. Ocha mulai memiliki firasat buruk. Kehidupannya di Delton mungkin tidak akan baik-baik saja seperti yang ia harapkan. Buktinya, belum satu jam ia berada di Delton, ia bahkan takut bernapas.
"Sya, sebaiknya kita keluar deh. Gue mendadak kehilangan napsu makan." Ocha melirik sebentar ke tempat Axel duduk. Ia merasa tak nyaman jika berada dalam satu ruangan dengan cowok paling berbahaya di sekolah.
"Sama. Gue juga kehilangan napsu makan," kata Lisya setengah berbisik. Ia merangkul Ocha keluar dari kantin secepatnya.
Ocha berjalan cepat menjauhi kantin, tentunya dengan mata sigap melihat ke segala arah, takut menabrak Sean seperti cerita dalam drama Korea yang kerap ia tonton. Bagi Ocha, keteledoran kecil akan berakibat sangat fatal.
Sesampainya di kelas, Ocha merasa sedikit lega. Ia menoleh ke arah Lisya yang duduk di sebelahnya. Lisya terlihat asyik bermain ponsel. Diam-diam, Ocha membuka tasnya lalu membuka selembar kertas yang ia terima sebelum berangkat ke sekolah. Kertas itu dari Arvind, pacar Ocha yang sangat Ocha cintai.
Seutas Janji
Timur dan barat adalah sekat
Selatan dan utara bagaikan ibarat
Jarak, perbedaan tujuan yang berkarat
Terlalu rapuh aku sekarat
Jarak, penyebab rindu yang memuncak
Cintaku padamu tak berjarak
Begitu dekat, cintamu padaku di suatu tempat rapat
Tak kan enyah dan selalu terdekap
By Arvind
Ocha tersenyum. Hatinya kembali tenang setelah membaca surat dari Arvind. Batinnya, tidak semua cowok sebrengsek Sean atau Axel yang gemar membully orang lemah. Arvind berbeda, cowok berkulit sawo matang itu selalu bisa membuat jantung Ocha berdebar senang, bahkan hanya dengan membaca puisi cinta yang dibuatnya.
Setiap hari, Ocha ingin selalu bersama Arvind seperti saat SMP. Belajar bersama di perpustakaan, makan bersama di kantin, bermain layang-layang di lahan kosong, sampai jalan-jalan di sore yang hangat. Semua kenangan manis itu tersimpan rapi dalam ingatan Ocha.
Tadinya Arvind juga ingin bersekolah di Delton International High School. Namun nilainya masih kurang memadai untuk bisa menerima beasiswa. Arvind bukan anak orang kaya. Dia tidak bisa masuk ke sekolah elite tanpa beasiswa. Ayahnya hanya seorang pemilik toko kelontong di pinggir jalan. Mau tidak mau, ia tidak bisa satu sekolah dengan Ocha.
"Baca apa, Cha?" Lisya melongok, mencoba mengintip tulisan di kertas yang Ocha pegang.
Ocha gelagapan menutup kembali kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak terlalu suka berbagi cerita pribadi dengan orang yang tidak terlalu dekat dengannya.
"Ih pelit amat sih! Itu kertas apaan sih?" Lisya membuka tas Ocha dengan lancang, mengambil kertas tersebut, lalu membacanya cepat.
"Eh sini balikin!" Ocha mencoba merebut kembali kertas miliknya, harta yang menurutnya begitu berharga.
"Ciyeee lo udah punya pacar niye," goda Lisya sembari mengembalikan kertas itu pada Ocha.
Ocha tidak menyahuti perkataan Lisya dan langsung memasukkan kembali kertas tersebut ke dalam tas. Ia ingin marah, tapi ia tahan. Ia tidak mau mencari musuh, terlebih lagi Lisya tampaknya bukan orang jahat.
"Aaaah pacar lo so sweet banget. Puisinya romantis banget. Sumpah. Gue pengen punya pacar kayak gitu. Pacar yang romantis, yang bikin puisi cinta buat gue setiap hari," cerocos Lisya tanpa disahuti Ocha.
"Selama ini, cowok yang suka sama gue itu semuanya bejat. Mereka pengaruh negatif semua. Yaaah mendingan gue jadi jomblo happy lah."
"Cowok jaman sekarang itu nggak bisa dipercaya, tukang gombal, tukang selingkuh, tukang morotin, aduh amit-amit deh. Lebih baik gue jomblo aja sampai ada yang halalin. Iya kan? Masa' kagak ada cowok alim yang mau sama gue? Gue kan cantik, sexy, kaya, pintar pula."
Ocha memutar malas kedua bola matanya, berharap Lisya berhenti mengoceh. Telinganya mulai merasa begitu terganggu. Rangkaian kata yang keluar dari mulut Lisya seolah terdengar seperti suara nyamuk yang memuakkan.
"Eh ada guru!" Ocha menunjuk seorang wanita paruh baya berkacamata yang berjalan memasuki kelas.
Lisya buru-buru menyudahi ocehannya. Dalam sejarah Delton, kelas A adalah kelas yang terbaik dan paling disayang guru-guru. Suara percakapan spontan menghening saat guru datang memasuki kelas. Lisya tidak mau mencoreng nama baik kelas A dengan banyak bicara.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Widya.
"Selamat pagi, Bu," sahut seluruh siswa serempak.
"Jam pertama pagi ini untuk sementara tidak ada pelajaran. Karena pagi ini kita akan memilih ketua kelas, wakil ketua kelas, sekretaris, dan bendahara," jelas Bu Widya. "Selain itu, kita juga akan melakukan pembagian loker."
"Ya Tuhan, semoga gue nggak dapat loker nomor 74 atau nomor 89," gumam Lisya pelan.
Ocha tak terlalu mempedulikannya. Ia mengedikkan bahu, mengikuti aturan dari Bu Widya, memilih perangkat kelas yang dicalonkan, kemudian memilih nomor loker sesuai instruksi Bu Widya.
"Eh Alhamdulillah, gue dapet nomor 61." Lisya bernapas lega setelah cukup lama ketakutan, barang kali ia mendapat kunci loker yang tidak ia inginkan.
Lisya kemudian memanjangkan lehernya untuk melihat nomor kunci yang didapatkan Ocha. Matanya melebar kaget saat melihat angka 8 dan 9 di nomor kunci Ocha.
"Buset, lo sial banget!" kata Lisya heboh.
Semua orang spontan menoleh ke arah mereka, berharap ada seseorang yang mendapatkan nomor 74 atau 89. Karena masih banyak di antara mereka yang masih takut membuka nomor kunci yang didapat.
Ocha melihat ke sekeliling, heran dengan ekspresi teman-teman sekelasnya. Ia menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal. Mendadak ia mempunyai firasat buruk.
"Lo nggak tau? Loker lo nomor 89, Cha!" ujar Lisya panik.
"Terus?" Ocha masih tak mengerti.
"Itu berarti, loker lo sebelahan sama Kak Axel!"
"What?!" Ocha terperanjat kaget.
Ocha meneguk ludah. Spontan ia teringat saat Axel dengan tega menumpahkan sepiring makanan ke atas kepala seorang anak laki-laki bernama Radit.
😂😂😂😂😂
Dalam bayangan kalian, pemeran Ocha itu siapa?