Pagi pertama Malika bebas dari penjara disambut oleh mendungnya awan Jakarta, Malika sendiri sudah rapi dengan kaos lengan panjang dan rok mekar selutut yang siap menemaninya menjemput Rere. Yah, hari itu Rere bebas dari penjara atas tuduhan yang tidak dilakukannya. Nasib keduanya yang hampir sama membuat Rere dan Malika sangat dekat.
“Non Malika perginya sama siapa?” tanya Mbok Salmi saat melihat Malika sudah rapi.
“Naik taxi saja Mbok sendirian, lagi pula aku mau ke kantor Arthur dulu ada yang mau Arthur omongin katanya,” jawab Malika yang sedang mengikat tali sepatunya.
“Ya sudah kalau gitu Non hati-hati ya,” pesan Mbok Salmi yang mengantar Malika sampai ke pintu depan, di luar pagar taxi sudah menunggu Malika.
Selama perjalanan menuju kantor Arthur, benak Malika bertanya-tanya tentang apa yang akan Arthur bicarakan. Walaupun di dalam hati Malika paham pasti Arthur akan membahas tentang perempuan tadi malam yang namanya saja tidak dia ketahui. “Mbak sampai sini saja ya? Soalnya di depan sana macet,” sopir taxi membuyarkan lamunan Malika.
Malika melihat taxi berhenti di persimpangan yang tidak terlalu jauh dari kantor Arthur dan memang jalanan saat itu terlihat sangat macet. “Ya sudah tidak apa-apa Pak saya turun di sini saja,” kata Malika dan mengeluarkan uang untuk membayar taxi.
Perjalanan dari persimpangan menuju kantor Arthur meman tidak lah jauh hanya memakan waktu beberapa menit saja, tetapi saat Malika sampai di depan gedung kantor Arthur, matanya tidak sengaja menangkap sosok Arthur dan perempuan yang tadi malam duduk bersama di cafe seberang.
Keduanya duduk di bawah kursi berpayung di luar cafe sambil terlihat sedang berbicara serius, “tenang Malika jangan bertindak gegabah,” ujar Malika lebih kepada dirinya sendiri.
Malika pun memilih untuk menunggu Arthur di kantornya, logika Malika ternyata masih menang banyak dibanding hatinya. “Aku bukan siapa-siapa Arthur yang berhak melarangnya bertemu dengan orang lain,” begitulah ucap Malika untuk meyakinkan hatinya yang terasa perih.
“Malika apa kabar?” bukannya Arthur yang datang, akan tetapi Bima yang muncul, dia menemui Malika di dalam ruangan Arthur.
“Kabar baik,” jawab Malika dengan ekspresinya yang bingung.
“Kamu pasti bingung ya melihat aku menemuimu. Jadi begini, Arthur menugaskanku untuk mendampingi kamu dalam proses pengadilan kasus pencemaran nama baikmu Malika, maka dari itu aku yang bertemu denganmu,” jelas Bima langsung.
“Tetapi aku tidak ingin melayangkan tuntutan atas pencemaran nama baikku,” kata Malika tegas, dia jelas tidak ingin lebih pusing lagi akan hal tersebut. Baginya keluar dari penjara seperti sekarang sudah lebih dari cukup.
“Malika ini cara terbaik untuk mengembalikan namamu,” Bima mencoba meyakinkan Malika.
“Keputusanku sudah bulat, aku tidak akan melayangkan tuntutan tersebut. Lagi pula masyarakat sudah tahu kebenaran semuanya dari berita!” nada suara Malika meninggi dan keputusannya benar-benar sudah sangat bulat. “Saya permisi,” Malika langsung berdiri dari duduknya dan meninggalkan ruangan Arthur.
“Tunggu Malika!” panggil Bima yang berusaha mengejar Malika, tetapi akhirnya Bima pun membiarkan Malika pergi dengan keputusannya yang sudah paten tersebut.
Saat Malika sampai, Rere sudah berada di ruang tunggu bersama pengacaranya. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu hal yang serius, untuk itu Malika menunggunya di luar ruangan. Malika menyendarkan badannya pada dinding, perlahan-lahan dia mencoba menenangkan detak jantungnya berirama cepat, terlalu banyak kenangan untuknya di sini. Kenangan pahit dan indah secara bersamaan, pahit karena nasib membawanya menjadi tersangka pembunuhan dan indah karena Tuhan punya rencana lain dengan memberikan dirinya sosok laki-laki yang begitu sempurna memperjuangkan keadilan untuknya.
“Malika,” Rere menyentuh pundak Malika yang terlihat seperti sedang membayangkan sesuatu sehingga tidak sadar akan keberadaannya.
“Ah Mbak Rere,” ujar Malika kaget ketika mendapati Rere dan pengacaranya sudah berada di hadapan Malika. “Aku kemari karena ingin menjemput Mbak Rere, aku mau Mbak Rere tinggal bersamaku,” Malika menjabarkan maksud kedatangannya itu.
“Kamu tidak perlu memperlakukan aku seperti ini Malika,” Rere terlihat sangat tersentuh dengan maksud kedatangan Malika tersebut.
“Aku tidak terima penolakan loh Mbak! Lagi pula Mbak ini lagi hamil tua, masa mau tinggal sendirian,” jelas Malika lagi dengan ekspresinya yang dibuat sesangar mungkin.
“Baiklah-baiklah Mbak terima tawaranmu, tetapi jangan tatap Mbak dengan raut wajah seperti itu lagi,” Rere menatap tajam Malika yang langsung menganggukkan kepalanya bersemangat. “Terima kasih atas bantuannya Mas Galih,” Rere berterima kasih kepada pengacaranya yang bernama Galih tersebut.
“Sama-sama, kalau begitu saya pamit dulu Rere, Malika,” Galih berpamitan kepada Rere dan Malika, Galih sendiri sudah tahu tentang Malika yang merupakan calon istri Arthur. Nama Malika dan kasus yang ditangani team A memang menjadi gosip tersendiri di kantor Arthur.
“Ayo Mbak kita pulang, aku bantu jalannya,” ajak Malika yang langsung ingin menuntun Rere yang sedang dalam keadaan hamil tua.
“Mbak bisa jalan sendiri Malika, jangan berlebihan deh,” protes Rere saat Malika ingin menuntunnya.
“Mbak jangan bawel deh,” Malika tetap bersih keras ingin menuntun Rere dan akhirnya Rere membiarkan saja Malika melakukannya. “Tapi, ngomong-ngomong Mas Galih itu kece juga ya Mbak,” Malika menatap Rere jenaka dan menaikkan alisnya naik turun menggoda Rere.
“Hush jangan ngaco kamu,” Rere langsung mempelototi Malika begitu sadar maksud perkataan Malika tersebut.
“Lah kok ngaco sih Mbak, gak ada salahnya kan lagi pula sepertinya Mas Galih itu masih sendiri,” kata Malika yang masih tetap berusaha menggoda Rere.
“Tahu darimana kamu kalau dia masih sendiri?” tanya Rere dengan nada suaranya yang terdengar meragukan pendapat Malika tersebut.
“Cuma nebak-nebak aja sih Mbak,” ucap Malika yang diakhiri denga tawa renyah gadis itu, sedangkan Rere hanya geleng-geleng kepala sambil mengikuti langkah kaki Malika yang menuntunnya.
Keduanya masih saja bercanda sampai masuk ke dalam taxi yang akan membawa mereka ke rumah Arthur yang sekarang ditempati Malika. Tanpa mereka sadari ada seseorang yang selalu memperhatikan gerak-gerik mereka. Orang itu juga sesekali mengambil gambar keduanya dengan kamera ponsel.
Sementara itu, Arthur masih duduk bersama Lola. Dia baru saja menjelaskan sekali lagi kepada Lola bahwa dia tidak bisa menerima Lola kembali. Cukup lama Lola terdiam dan Arthur juga membiarkan hal tersebut, dia tidak ingin di kemudian hari Lola menjadi penghalang untuk hubungannya dan Malika.
“Tapi aku masih sangat mencintaimu Arthur, tidak bisakah kamu mempertimbangkan perasaanku ini?” Lola bertanya dengan wajah penuh permohonan dan nada suara yang terdengar lemah.
“Maaf aku tidak bisa Lola. Setelah empat tahun lalu, perasaanku terhadapmu tidak lebih hanya sekedar teman,” Arthur masih berusaha memberikan pemahaman kepada Lola.
“Tolong beri aku satu kali kesempatan Arthur, aku mohon ...” Lola masih saja tetap saja memohon dan berharap Arthur dapat mewujudkan permohonannya tersebut.
“Aku tetap pada keputusanku Lola,” tegas Arthur.
“Apa bagusnya kriminal itu dibanding aku Arthur! Aku ini sebentar lagi akan bertugas sebagai ahli forensik!” Lola menaikkan nada suaranya dan wajahnya terlihat memerah antara marah dan malu karena telah ditolak oleh Arthur.
Arthur menghembuskan napasnya perlahan, dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memberikan pengertian kepada Lola. “Lola, kamu itu perempuan sempurna tetapi aku tidak bisa kembali mempercayakan hatiku untuk kamu jaga. Ada banyak laki-laki yang lebih baik dari aku Lola, kepergianmu dulu sudah membawa seluruh cintaku bersamamu hingga tidak bersisa,” jelas Arthur sambil menatap mata Lola dalam.
“Arthur ... aku sungguh menyesal,” mata cantik Lola yang dilapisi make up mulai terlihat berair, bibirnya juga bergetar seperti sedang menahan isak tangisnya yang mungkin akan segera datang.
“Aku menerima semua bentuk rasa penyesalanmu itu, juga permintaan maafmu, tetapi aku tidak bisa kembali bersamamu, karena aku bukanlah rumah singgah yang bisa kamu gunakan untuk tinggal sementara,” ucapan Arthur tersebut menjadi akhir pertemuan mereka saat itu, Arthur meninggalkan Lola yang menangis dalam diamnya, menyesali perbuatannya dulu yang meninggalkan Arthur begitu saja.
Arthur sudah kembali ke kantornya, dia duduk di kursi kebesaran miliknya. Matanya hanya mentapa kosong tumpukkan map yang harus diperiksanya, termasuk salah satunya kasus yang akan segera ditanganinya secara langsung.
Tok Tok Tok
Suara ketukkan pintu menyentakkan Arthur yang terlihat seperti sedang berpikiran berat, “masuk!” perintah Arthur kepada orang yang mengetuk pintu. Dari ambang pintu muncullah sosok Bima, dia datang membawa sebuah map di tangannya. “Apa tadi Malika datang?” tanya Arthur saat Bima sudah duduk di hadapannya.
“Ya tadi dia datang,” kata Bima membenarkan pertanyaan Arthur.
“Ya sudah, kamu temani dia untuk tuntutan pencemaran nama baiknya,” kata Arthur yang belum tahu tentang keputusan Malika.
“Malika bilang dia tidak ingin melayangkan tuntutan pencemaran nama baiknya,” info Bima kepada Arthur dan Bima juga meletakkan map yang berisi berkas yang diperlukan untuk mengajukan tuntutan atas pencemaran nama baik Malika.
Arthur mengerutkan dahinya saat mendengar info dari Bima tersebut, “lalu dia bilang apa lagi?” tanya Arthur lebih jauh lagi.
“Dia bilang dia tidak butuh jalur hukum untuk mengembalikan namanya, aku rasa Malika benar Arthur. Kasus kematian Sarah menjadi perhatian besar masyarakat karena salah tangkapnya tersangka, semua orang sekarang tahu bahwa Malika hanya lah korban,” jelas Bima yang setuju dengan keputusan Malika tersebut. “Dan itu semua berkat dirimu Arthur,” tambah Bima.
“Baiklah jika itu memang keputusan Malika, tetapi aku akan tetap bicara dan bertanya kepadanya sekali lagi atas masalah ini,” kata Arthur akhirnya.
“Satu lagi, ini soal Lola. Jangan buat Malika menunggu lama untuk mendengarkan penjelasanmu, ceritakan semuanya kepada Malika,” pesan Bima sebelum Bima pamit untuk pergi ke ruangannya.
Setelah ditinggal Bima sendirian, Arthur memejamkan kedua matanya, kepalanya terasa berputar karena begitu banyak yang harus dipikirkannya. Belum selesai masalahnya dengan Lola, kini masalah baru sudah muncul. Tadi, saat Arthur kembali ke kantornya, sekertaris Arthur memberikan Arthur surat yang tidak diketahui pengirimnya yang ditujukan untuk dirinya. Isi surat itu adalah berupa ancaman yang tidak main-main, dengan lampiran foto Malika saat menjemput Rere.
Jangan nikahi wanita itu, atau wanita itu akan mati.
Bersambung