Stay With Me

By azizahazeha

1.1M 99.7K 920

WARNING! CERITA BANYAK MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN *** -Musim Pertama- Malika Kamilah mendapat... More

Opening Speech Penulis
Musim Pertama
Bab 1 - Pertemuan Pertama
Bab 3 - Malika Diikuti Seseorang
Bab 4 - Malika Dipecat
Bab 5 - Pisau Dapur Malika Hilang
Bab 6 - Sepotong Informasi
Bab 7 - Kosan Malika Diperiksa
Bab 8 - Tinggal Di Rumah Arthur
Bab 9 - Malika Berstatus Tersangka
Bab 10 - Arthur Ke Kampung Halaman Sarah
Bab 11 - Arthur Dan Team A
Bab 12 - Team A Mulai Bergerak
Bab 13 - Informasi Terbaru
Bab 14 - Arthur VS Jeremy
Bab 15 - Informasi Baru Lagi
Bab 16 - Adu Mulut
Bab 17 - Kembalinya Masa Lalu
Bab 18 - Penawaran Dan Ponsel Sarah
Bab 19 - Ponsel Sarah
Bab 20 - Berpacu Dengan Waktu
Bab 21 - Malika Bebas
Bab 22 - Acara Makan Malam Yang Kacau
Bab 23 - Keputusan Malika
Bab 24 - Peringatan Ke 2
Bab 25 - Ngambeknya Malika
Bab 26 - Quality Time
Bab 27 - Kasus Berikutnya
Bab 28 - Begal
Bab 29 - May Thompson
Bab 30 - Mayat Terapung
Bab 31 - Malam Yang Menegangkan
Bab 32 - Guru dan Murid
Bab 33 - Apa yang Disembunyikan Arthur?
Bab 34 - Bayangan Hitam
Bab 35 - Apa Lagi Ini?
Bab 36 - Keputusan Arthur
Bab 37 - Tak Tik Arthur
Bab 38 - Pesan Dari Alena
Bab 39 - Kisah Kelam Alena
Bab 40 - Berakhirnya Kejahatan Josh Sujatmiko
Bab 41 - Keluarga Kecil
Bab 42 - Tragis
Bab 43 - Biang Keributan
Bab 44 - Kencannya Arthur dan Malika
Bab 45 - Paket Misterius
Bab 46 - Duo Psikopat
Bab 47 - Aksi Lukas
Bab 48 - Perang Dua Kubu
Bab 49 - Aksi Kejam Lola
Bab 50 - Penculikkan Malika
Bab 51 - Paket Misterius Lagi
Bab 52 - Film Dokumenter
Bab 53 - Rumah Berpatung Dewi
Bab 54 - Kehilangan Jejak
Bab 55 - Upaya Mencari Malika
Bab 56 - Isi Paket
Bab 57 - Paman dan Keponakan
Bab 58 - Face to Face
Bab 59 - Operasi Penyelamatan
Bab 60 - Bersatu Kembali
Informasi Musim Kedua
Musim Kedua

Bab 2 - Pemberitaan Negatif

43.5K 3.3K 16
By azizahazeha

   Hari sudah sore dan Malika masih berada di kantor Arthur, Malika baru saja bangun dari tidur siangnya. Malika memperhatikan Arthur yang sedang sibuk dengan berkas-berkasnya, Arthur meminta Malika untuk menunggunya selesai bekerja. Tiba-tiba saja air mata Malika jatuh dengan deras, tidak ada isakan yang keluar. Malika mengeluarkan dompet miliknya yang telah usang, diusapnya foto yang terdapat di dalam dompet tersebut.

   Foto kedua orang tua Malika yang telah tiada, Malika anak satu-satunya dan sekarang dia hidup sendirian. Malika tidak punya tempat mengadu sejak orang tuanya pergi meninggalkannya dua tahun lalu. ‘Bu Pak, do’akan Malika dapat melalui cobaan ini ya,’ ujar Malika di dalam hati.

   Malika berdiri dari duduknya dan berjalan ke kamar mandi, tanpa Malika sadari sedari Malika menangis tadi Arthur sudah memperhatikannya. Arthur membiarkan Malika menangis, dia tahu pasti sulit jika menjadi seorang Malika.

   Sementara itu di dalam kamar mandi Malika menangis tersedu-sedu, dia duduk di atas kloset yang tertutup. Tangan Malika memukul dadanya berkali-kali, seolah-olah mencoba mengurangi bebannya dengan cara seperti itu.

   “Malika?” Arthur memanggil Malika dari depan kamar mandi, tangannya juga ikut bekerja mengetuk pintu kamar mandi. Malika yang mendengar suara Arthur cepat-cepat membasuh wajahnya di wastafel dan mengeringkannya dengan tissue.

   “Malika? Kau baik-baik saja?” sekali lagi Arthur mengetuk pintu kamar mandi, kekhawatiran tergambar jelas di wajah tampan Arthur.

   “Iya aku baik-baik saja,” jawab Malika dengan suaranya terasa serak dan sedikit sakit. Malika membuka pintu kamar mandi dengan wajah yang menunduk. Tiba-tiba saja Malika merasa tubuhnya berada di dalam pelukkan.

   Arthur memeluk Malika, keduanya hanya berpelukkan. Tidak ada yang membuka suara hingga beberapa menit. Merasa canggung Malika sedikit berdeham dan akhirnya Arthur pun melepaskan pelukkannya.

   “Jangan menyimpan semuanya sendiri, setidaknya berbagilah denganku,” ujar Arthur dalam. Malika memandang Arthur dengan pandangan yang sulit diartikan, terlalu banyak rasa yang coba disampaikan Malika lewat matanya.

   “Percayalah aku akan mengorbankan nyawaku untuk menyelamatkanmu,” Arthur mengusap kepala Malika dan memberikan Malika senyum termanis miliknya. Malika yang memang baru kali ini diperlakukan spesial oleh laki-laki merasa tersanjung, walaupun ada tanda tanya besar di dalam hati Malika.

   “Hanya karena harta warisan kau rela mengorbankan nyawamu?” entah kenapa rasanya mulut Malika gatal untuk mengatakan hal itu, yang lebih membuat Malika merasa jengkel adalah reaksi Arthur. Dia hanya menaikkan kedua bahunya dan berdeham sebentar. Malika tidak dapat menebak apa maksud dari dehaman Arthur tersebut.

   Arthur tidak menjawab pertanyaan Malika dan memilih menarik lengan Malika, “ayo aku antar pulang,” kata Arthur sambil membawa Malika keluar dari kantornya.

   Arthur memberhentikan mobilnya di depan kos Malika, “terima kasih atas tumpangannya,” kata Malika sambil tangannya bergerak akan membuka pintu mobil.

   Malika membatalkan niatnya untuk turun dari mobil begitu Arthur menahan tangannya, “tidak perlu sungkan, jika butuh bantuan hubungi aku segera,” ujar Arthur. Lalu Arthur teringat akan sesuatu, “kau tidak terganggu dengan kondisi sekarang? Kau bisa tinggal di apartemenku untuk sementara waktu,” tawar Arthur.

   Malika menyunggingkan senyum manisnya sebelum menjawab, “aku tidak akan lari dari masalah dan aku baik-baik saja.” Seolah-olah kalimat itu menenangkan Arthur, akhirnya Arthur melepaskan pegangannya dan membiarkan Malika turun dari mobilnya.

   Malika masuk ke dalam bangunan kos dua lantai yang selama setahun ini menjadi huniannya, baru beberapa langkah dari pintu masuk langkah Malika terhenti oleh suara sinis seseorang. “Gak heran kalau orang beranggapan kau pembunuhnya, buktinya teman sebelah kamar meninggal bukannya sedih malah senang-senang,” kalimat sindiran itu dikeluarkan oleh Jassie teman satu kos Malika.

   Tidak ingin memperpanjang masalah Malika memilih untuk tidak menghiraukan kicauan Jessie. Malika membiarkan orang-orang berspekulasi terhadapnya, percuma saja dia membela diri dengan keadaannya sekarang.

   Malika sudah siap dengan pakaian kerjanya, dia akan kembali bekerja setelah dua hari izin tidak masuk. Malika memasukkan pakaian gantinya ke dalam loker, sebelum menutup lokernya Malika sekali lagi memperhatikan tatanan rambutnya dari cermin yang tertempel di bagian dalam pintu loker.

   Malika baru saja selesai mengantar orderan di meja nomor 12 ketika televisi di dalam cafe menampilkan berita tentang pembunuhan Sarah. Malika berhenti bergerak begitu melihat dirinya yang sedang dibawa oleh polisi kemarin ditampilkan. Telapak tangan naya mengeluarkan keringat dingin.

   Dengan langkah seribu Naya masuk ke area belakang cafe, dia duduk menyudut di antara dinding loker dan dinding cafe. Malika mengatur nafasnya yang tiba-tibas saja memburu, “tenang Malika, kamu pasti bisa melewati ini,” Malika menenangkan dirinya sendiri. Pandangan Malika terasa berkunang-kunang, tetapi masih dapat ditahannya.

   Malika berjalan terseok-seok menuju ruangan atasannya, belum lagi Malika sampai di depan pintu ruangan atasannya. Malika melihat atasannya berjalan kearahnya, Malika takut dia akan kehilangan pekerjaannya karena berita tersebut.

   “Malika sepertinya kamu kurang enak badan, sebaiknya kamu pulang. Saya mau ke toilet dulu,” Malika menganggukkan kepalanya bahwa artinya dia menerima tawaran pulang cepat tersebut dan Malika dapat bernafas lega karena dia tidak kehilangan pekerjaannya.

   Sementara itu, Arthur duduk di ruangan kantornya sambil memperhatikan tayangan televisi yang hampir seluruh stasiun televisi membahas pembunuhan Sarah. Arthur mengambil ponselnya dan mendial nomor Malika yang didapatnya kemarin.

   Arthur menunggu dengan gelisah sambungan teleponnya dijawab oleh Malika, saat teleponnya dijawab Arthur langsung mencerca Malika dengan pertanyaan. “Kau dimana?” suara Arthur terdengar khawatir, matanya melirik televisi yang suaranya sudah dikecilkan Arthur. Wajah Malika yang tergambar jelas di layar televisi membuat Arthur memohon di dalam hatinya agar Malika tidak melihat tayangan tersebut.

   “Aku di cafe,” jawaban Malika membuat Arthur langsung menghela nafas frustasi.

   “Cafe? Tunggu aku disana!” setelah mengatakannya Arthur memutuskan sambungan, dia tahu cafe tempat dimana Malika bekerja karena dia pernah mengantar kakeknya ke sana.

   Arthur menyetir dengan kecepatan penuh, beruntung jalanan Jakarta sedang tidak terlalu macet. Belum sempat Arthur turun dari mobilnya, Malika sudah menghampiri mobil Arthur. Malika sudah melepas seragamnya dan menggantinya dengan pakaian biasa.

   “Kamu sakit?” Arthur menaruh tangannya di dahi Malika.

   “Kamu?” Malika memastikan pendengarannya, setahunya tadi saat di telepon mereka masih beraku-kau bukan beraku-kamu.

   “Iya, memangnya ada yang salah dengan kamu?” Arthur menaikkan sebelah alisnya dan posisi tangannya masih di dahi Malika yang memang terasa panas. “Kita ke rumah sakit ya?” sebelum Malika membahas lebih jauh tentang panggilan ‘kamu’, Arthur sudah terlebih dahulu bertanya.

   “Tidak perlu, aku hanya perlu istirahat saja,” jawab Malika sambil tangannya melepaskan tangan Arthur yang masih nemplok di dahinya.

   “Baiklah, kalau begitu ikut aku ke rumah saja,” ujar Arthur akhirnya, karena dia tidak ingin membiarkan Malika sendirian di kosnya.

   “Tapi...” belum selesai Malika protes Arthur sudah menempatkan jari telunjuknya di depan bibir Malika.

   “Aku tidak terima penolakkan dan aku tidak akan macam-macam sebelum resmi,” kata Arthur pelan namun penuh penekanan. Sebelum menjalankan mobilnya Arthur sempat-sempatnya mendaratkan ciuman singkat di dahi Malika. Kontan saja hal itu membuat pipi Malika memerah.

   Malika berdiri di depan pintu rumah besar yang telah di bukakan oleh pembantu, rumah besar yang terasa sangat sepi bagi Malika. “Ayo masuk!” lamunan Malika tentang rumah tersebut buyar digantikan dengan mata Malika yang sibuk memandangi ornamen rumah. “Makan dulu ya baru istirahat,” saking asiknya Malika terpesona dengan rumah tersebut dia sampai tidak sadar jika Arthur sudah berhenti di depannya.

   Arthur tersenyum kecil melihat Malika yang begitu terpesona dengan rumah peninggalan kakeknya itu, “Aw!!” suara kesakitan itu dikeluarkan oleh Malika yang terbentur dada bidang Arthur.

   “Jangan melamun,” Arthur mengacak rambut panjang Malika dengan gemas. Sekali lagi Arthur berhasil menimbulkan semburat merah di pipi Malika. “Ayo makan dulu lalu kamu bisa istirahat,” Arthur menarik lembut lengan Malika, menuntun Malika ke area rumah yang lebih dalam lagi.

   Arthur dan Malika makan siang dalam diam, sesekali Malika akan melirik Arthur yang duduk tepat di sampingnya. ‘Dalam keadaan makan seperti ini pun dia terlihat tetap ganteng,’ ujar Malika di dalam hatinya. Malika bahkan sampai lupa bahwa beberapa waktu lalu dia hampir pingsan saat melihat potret dirinya berada di mana-mana.

   “Setelah makan istirahatlah, aku ada berada di ruang kerja. Maaf aku duluan, jika perlu apa-apa ketok saja pintu itu,” Arthur menunjuk sebuah pintu kayu dengan dagunya. Malika mengangguk saja sebagai jawabannya, matanya melihat piring makan Arthur yang sudah licin tandas.

   “Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan,” ujar Malika. Mendengar perkataan Malika tersebut, Arthur membatalkan niatnya untuk beranjak dari sana.

   “Ada apa? Katakanlah!” Arthur dengan sigap memutar kursi Malika menyamping sehingga Malika berhadapan dengannya. Arthur memperhatikan wajah Malika yang menurut Arthur sangat cantik. Belum lagi bibir tipis Malika yang belakangan ini menarik perhatian Arthur.

   “Apa kamu yakin ingin membantuku? Kamu mungkin sudah melihat soal pemberitaanku di masyarakat,” Malika memilih untuk menggunakan kata ‘kamu’ juga kepada Arthur.

   “Aku kan sudah bilang, aku akan tetap membantumu dan menikahimu Malika,” kata Arthur tegas, matanya nyalang memandang Malika. Seolah-olah mengatakan kepada Malika bahwa keputusannya sudah bulat.

   Ada rasa nyeri saat mendengar perkataan Arthur tentang pernikahan dan membantunya. Malika sadar bahwa Arthur membantunya karena ingin menikah dengan Malika dan itu semua demi harta warisan. Malika memejamkan matanya, meyakinkan hatinya bahwa laki-laki di hadapannya itu hanyalah menginginkannya demi harta saja.

   Arthur masih diam memperhatikan Malika yang memejamkan matanya, dia bukan laki-laki yang pandai untuk merangkai kata untuk menenangkan seorang wanita. “Sebaiknya kamu istirahat Malika,” Arthur berdiri dari duduknya dan menepuk bahu Malika pelan. “Kamu bisa beristirahat di kamar sebelah ruang kerjaku,” setelah mengatakan kalimat terakhir itu Arthur meninggalkan Malika sendirian di meja makan.

   Malika membuka matanya, matanya memandang Arthur yang berjalan menuju ruang kerja. Begitu Arthur masuk ke dalam ruang kerjanya, Malika meneteskan air matanya. “Apa keputusanku ini sudah benar?” tanya Malika lirih kepada dirinya sendiri.

   Rasa sesak yang mendalam seolah-olah menggerogotinya, dia seorang perempuan yang juga menginginkan laki-laki yang mencintainya yang menikah dengannya. Bukan menikah dengan laki-laki yang menikahinya hanya karena surat wasiat dan harta warisan.

Bersambung

Wes pagi-pagi ane sudah update nih, ntar siang kalau gak malas ane update lagi deh hihihi

Jangan lupa vote dan komentarnya😊

Continue Reading

You'll Also Like

3M 65.6K 41
Apa cinta itu segalanya? Tidak cukupkah hanya dengan aku berada disampingmu dan selalu setia kepadamu? Kenapa kau memintaku mencintaimu kalau akupun...
18.8K 2.4K 19
Monkart x Fem!Readers [ ON GOING! ] [ Monkart ©® SAMGAnimation ] [ OCS ©® @itsluna_07 ] [ Story ©® @Itsluna_07 ] --- Seorang gadis bernama [Name]...
2.2M 67K 12
Melewati hari melelahkan di rumah sakit kemudian tidak sengaja tertidur di ruang laki-laki asing yang tidak asing-asing banget itu membuat Nasa denga...
656K 59K 45
Diterbitkan oleh Penerbit LovRinz (Pemesanan di Shopee Penerbit.LovRinzOfficial) *** "Jangan percaya kepada siapa pun. Semua bisa membahayakan nyawam...