Diki Wahyudi POV
Aku tidak tahu kenapa hari-hariku menjadi hampa kembali. Maksudku, hanya saja kehampaan ini berdeba seperti saat Tesa pergi. Rasanya melebihi rasa kehilangan orang yang kusayangi dahulu.
Mungkin sebaiknya kupikir-pikir kembali penyebabku melamunkan perempuan itu dengan perasaan terbuka. Nyatanya menang benar aku merindukannya.
Aku kehilangan Tesa dan dia pergi tanpa pernah aku temui. Lalu aku harus menyembuhkan luka sendirian dan menanggung beban kehampaan yang Tesa tinggalkan.
Tetapi, ini lebih sulit daripada yang aku pikirkan sebelumnya. Riska tidak pergi kemana-mana. Dia juga bisa kulihat dan itu masih sama seperti hari-hari sebelumnya.
Namun itulah yang membuatku benar-benar terluka. Aku terpaksa menelan jutaan kata demi dirinya. Melihat dia malah semakin membuatku kalut dari hari ke hari.
Berpapasan dengannya kembali setiap pagi seperti dulu. Namun kami tidak lagi saling pandang. Dia selalu menghindari tatapanku. Dia selalu menundukkan kepala, atau lebih sering membuang muka dariku.
Aku tidak dapat mengajaknya bicara. Aku tidak dapat mendengar suaranya. Aku melihat wajahnya, namun tidak pernah lagi mendapati sebuah senyuman dari bibirnya. Benar, itu membuatku rindu.
Setelah kejadian itu, hari di mana aku mengungkapkan perasaan tanpa mendengar jawaban darinya, aku sudah merasa cukup. Kenapa? Karena memang hanya itu yang bisa aku lakukan.
Setelah itu semuanya habis. Pembicaraan, apapun itu alasan untuk dekat dengan Riska tidak lagi ada. Hanya dengan menatapnya dari hari ke hari bahkan sudah hitungan bulan begini aku masih belum mampu menghindari perasaanku.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya jika sosoknya masih dapat kulihat. Masih bisa kutemui, dan diam-diam aku menikmati wajahnya dengan puas. Karena setiap kali matanya tanpa sengaja menatapku, maka aku akan kehilangan kekuatan untuk membalasnya kembali. Manik coklat itu seolah menyihirku dan tatapannya yang sayu seperti menyerap kekuatanku.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain melakukan ini jika merindukannya. Menunggunya setiap hari di pertigaan jalan ini dan mengikutinya diam-diam. Menatap punggunggnya yang menggendong tas stich itu sudah cukup untukku. Serta rambutnya yang rapi. Aku bisa saja mencium aroma shamponya di rambutnya dari kejauhan ini. Ah, sepertinya rinduku memang berlebihan.
Aku tidak bisa mempemperjuangkan cintaku. Aku gagal untuk yang kedua kalinya. Tapi tidak apa-apa. Aku sudah merasa cukup atas kesempatan bisa bersamanya.
*
Hari ini aku ingin mengunjungi Dwira di rumah sakit. Aku sudah tahu penyebab laki-laki itu tergolek tak sadarkan diri selama 2 hari di rumah sakit.
Tidak sengaja aku bertemu dengan Riska malam itu. Lalu mencertikan hal mengejutkan. Bagaimana mungkin dia bersama teman-temannya membunuh teman sekolah mereka sendiri. Empat orang perempuan ini memang bekad melakukannya.
Terkadang aku juga berpikir, bagaimana cara penyembuhkan penyakit gila seperti Dwira. Maksudku, dia tidak berhenti berbuat sesuka hati dan menyakiti makhluk lemah bernama perempuan.
Tidak kusesali aku pernah beradu kekuatan dengannya karena sakit hati. Dia bahkan tidak jera sedikitpun.
Kulihat Ibu Dwira sedang duduk di samping ranjang Abang sepupuku itu. Dwira sedang menonton televisi. Tapi aku yakin pikirannya tidaklah fokus kepada benda layar datar yang tergantung di dinding.
Bahkan Dwira belum menyadari kehadiranku di sampingnya. Aku mengamati wajahnya selama 20 detik. Laki-laki ini benar-benar tidak sedang di dunia nyata. Aku menjadi takut jika nanti ada seseorang yang lain yang kuajak bicara.
"Dwira."
"Dwi," panggilku sambil menyentuh lengannya.
Dia menolehkan kepalanya kepadaku. Butuh beberapa detik aku menunggu dia menjawab panggilanku.
"Lo," gumannya. Sudut bibirnya terangkat sedikit.
"Gimana keadaan lo," tanyaku.
Dwira mengangkat alis. "Seperti yang lo lihat."
Aku tidak yakin ingin mengatakan ini padanya.
"Hm.. Lo ngga mau cerita tentang ini, Dwi?"
"Tentang apa?" tanyanya menatapku lemah.
"Penyebab lo masuk rumah sakit."
"Gue belum kasih tahu orang tua lo, kok," kataku memancing.
Dahinya berkerut bingung. "Maksud lo?"
"Salah satu dari mereka cerita ke gue," kataku.
"Riska?"
Tebakan Dwira pasti ke nama perempuan itu. Aku menganggukkan kepala.
"Mereka di mana?" Dwira mengalihkan pandangannya menatap televisi.
"Gue ngga tahu."
"Kenapa?"
"Gue ngga pernah berhubungan lagi sama mereka?"
"Gue pikir lo jadian sama Riska," guman Dwira.
Aku tersenyum singkat. "Engga."
"Oh.." gumannya.
"Lo mau laporin mereka ke polisi?" tanyaku hati-hati.
Dwira tertawa kecil membuatku bingung.
"Buat apa? Biarin aja mereka bebas. Gue ikhlas."
"Maksud lo apa?" Aku semakin bingung.
"Gue sekarat. Masuk rumah sakit. Ujian di sini. Gue merasa senang, kok. Malah gue pengen lama-lama di sini. Di luar ngga asyik, gue bosan sekolah dan males di rumah," jelas Dwira tentang.
Aku terdiam. Jawaban Dwira sungguh di luar dugaan.
"Gimana keadaan Riska?" tanya Dwira kemudian.
"Gue ngga tahu. Ngga pernah ketemu dia lagi."
"Dia nolak lo?" tanya Dwira mengejek.
"Ngga tahu, dia ngga pernah ngomong."
"Lo sebenarnya suka beneran ngga sih sama Riska? Kalau emang lo suka sama dia, kejar terus, dong."
Aku menggelengkan kepala tidak setuju. "Kalau orangnya ngga mau dikejar lagi, mana mungkin gue paksa. Semua bebas memilih."
Dwira diam saja mendengarkan penuturanku. Sama sekali aku tidak berniat menyindirnya.
"Gue udah bilang sama orang tua gue kalau kasus ini ngga diselidikin sama polisi. Iya, alasan masuk akal kali ya, kalau gue amnesia sementara karena kepala gue dipukul," kata Dwira memecah kesunyian.
Aku terkejut sekali dengan perkataan Dwira. "Lo serius?"
Dwira mengangguk, lalu menatapku. "Gue ngga mungkin biarin mereka masuk penjara. Jujur, gue ikhlas, kok. Lagian gue ngga sampai mati."
"Riska benar. Hidup gue ngga ada gunanya. Hidup sebagai seorang pendosa dan dibenci banyak orang. Gue harap hidup gue berguna saat ini. Dan seterusnya..."
Aku terpana. Semua kata-kata Dwira menyihirku. Sepupuku ini ternyata berubah drastis sejak kejadian ini. Maksudku, apakah mungkin dia mendapat ilham dari penyakit amnesia pura-pura itu. Ah, aku cepat-cepat menepis pikiran bodoh itu.
"Kalau lo ketemu Riska, sampaikan salam gue buat dia. Gue harap dia ngga datang nemuin gue di sini," kata Dwira tersenyum padaku.
"Pasti gue sampaikan," kataku pelan.
"Gue pulang dulu ya," kataku kemudian.
"Oke," balas Dwira.
"Diki."
Aku menoleh saat Dwira memanggilku ketika sudah sampai di depan pintu.
"Iya," sahutku.
"Maafin gue selama ini, ya," ucapnya lirih.
Aku memalingkan pandangan darinya sebentar, lalu kembali menatap Dwira. "Iya. Udah gue maafin, kok."
Dia tersenyum lebar. "Hati-hati."
Aku menganggukkan kepala. Lalu menarik kenop pintu dan keliar dari ruangan rawat Dwira.
Laki-laki iti agak aneh kelihatannya. Sama seperti yang aku rasakan dulu ketika masih dekat dengannya. Hm.. sebut Dwira sebagai Abang sepupuku. Dulu dia benar-benar baik.
♥~♥