Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

By DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... More

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 36

238 13 0
By DekaLika

"Sebenarnya, yang kita rasakan ini apa? Apa kamu merasa terluka? Kalau begitu akupun sama."

*

Rani memperhatikan Riska dari depan kelasnya sejak jam istirahat tadi. Rani membiarkan Riska keluar saat 10 menit akan istirahat. Entah mengapa, wajah Riska masuk ke kelas hari ini membuat pikirannya tidak tenang. Riska terlalu berlebihan sampai tidak mendengar guru memanggilnya padahal kelas sudah sangat sunyi sekali karena perhatian siswa-siswi teralihkan sepenuhnya kepadanya. Saat Rani menyikutnya barulah Riska tersentak dan meminta maaf kepada guru yang mengajar pagi ini. Setelah itu dia kembali melamun dengan menatap Bu Desi, guru Fisika yang kurus dan berkacama. Suaranya begitu lembut hingga tidak dapat menembus pendengaran Riska yang sudah diambil alih oleh aktivitas mengkhayalkan sesuatu.

Rani memagut tangannya di depan dada. Dia sangat yakin pada dirinya sendiri, tebakannya tidak akan salah. Rani menghentakkan kakinya ke lantai, kesal. Tangannya terkepal di dalam lipatan tangannya. Ternyata kecurigaan Rani selama ini benar. Diki sama saja dengan sepupunya. Tidak ada ubahnya ketiga laki-laki itu di mata Rani.

"Riska kenapa?" tanya Fadila di balik bahu Rani. Dia dengan Kya baru saja kembali dari kantin memberi makan cacing-cancing perut mereka yang kelaparan.

Rani tidak menjawab. Dia hanya menatap Riska lama. Sama dengan yang dia lakukan sejak tadi.

"Udahlah, Ran. Deketin aja kenapa, sih? Pakai larang-larang kita segala. Yuk, Dil. Kita samperin Riska," ajak Kya sudah tidak tahan. "Ntar keburu dia kesambet lagi," tambahnya.

"Tunggu!" sergah Rani.

Fadila dan Kya menoleh bersamaan dengan alis terangkat.

"Lo lihat, deh," kata Rani sambil menyipitkan matanya menatap Dwira mendekat ke arah Riska.

Mereka berdua juga menoleh ke arah yang Rani maksud. Mata mereka membulat sempurna melihat Dwira duduk di samping Riska. Yang paling mengejutkan mereka bertiga, wajah Dwira nampak lebih ramah dari sebelumnya mereka lihat.

"Ini gimana, dong. Cepetan kita ke sana," seru Fadila panik.

"Gue susah napas," ucap Kya, matanya menatap Dwira tak berkedip.

"Eh, tunggu, tunggu. Kita lihatin aja dulu," kata Rani menahan mereka berdua.

"Lo gila? Kalau terjadi apa-apa sama Riska gimana?" bentak Fadila. Entahlah, Fadila menjadi sangat posesive terhadap Riska.

"Perasaan gue kali ini, baik," kata Rani yakin.

Melihat bagaimana Dwira tersenyum kepada Riska membuat Rani curiga, namun juga sekaligus lega.

Akhirnya Fadila dan Kya diam saja. Walau sesekali mereka menggerutu melihat ke arah Dwira. Mungkin kebencian sudah tertanam di hati mereka masing-masing sejak laki-laki itu kurang ajar kepada teman mereka.

Benar saja, Dwira tidak macam-macam sama sekali. Dia malah terkadang tertawa kecil ke arah Riska, lalu tersenyum hangat. Sesekali dia menatap ke mata Riska saat berbicara, atau dia akan menggaruk kepala belakangnya seperti salah tingkah. Itu adalah tingkah yang wajar. Tidak ada sama sekali tanda-tanda Dwira akan menyentuh Riska apalagi menyakitinya.

Tidak beberapa lama, Dwira pergi dari sana. Entah kemana perginya, Rani, Fadila dan Kya segera mendekati Riska dengan hati-hati.

"Oi! Kenapa lo?" Kya menepuk bahu Riska seperti kawan lama.

"Eh?" Riska mengerjap kaget. Lalu dia melempar senyum. "Ngga ada," jawabnya.

"Kesambet lo, Ka. Sendirian gini. Lagian kita ke kantin lo malah duduk ngelamun di sini. Kenyang emang makan angin doang," seloroh Fadila untuk menghangatkan suasana.

Riska tertawa, namun matanya menatap sedih. Itu adalah usaha terbaik Riska yang bisa dia keluarkan. Tertawa lagi dan lagi. Membuat ketiganya heran.

"Lo ngga gila, kan?" tanya Fadila sambil menangkup tangannya dk wajah Riska.

"Gue kesambet beneran kayaknya," jawab Riska asal.

"Jangan bercanda ah, Ka. Lo bikin gue merinding. Tawa lo kayak Nenek Lemper," decak Fadila.

Riska mencebik bibirnya. "Nenek Lampir kali. Tuh dia orangnya." Riska menunjuk ke arah Rani sambil tertawa.

Rani melotot melihat telunjuk Riska mengarah ke wajahnya. Membuat Kya dan Fadila sama-sama menoleh.

"Ternyata lo titisan dari Neraka, Ran." Fadila tertawa. "Pantesan muka lo serem aja dari kemaren-kemaren gue lihat," tambahnya lagi.

Otomatis Riska dan Kya terbahak-bahak mendengar cercaan Fadila yang membuat wajah Rani langsung berubah masam.

Thanks, kalian. Guman Riska dalam hati.

*

Rani dari kejauhan mengintai Riska dan Dwira. Bersama Fadila dan Kya, mereka terus hati-hati melihat kedua orang itu dari dalam mobil Rani. Memang ini adalah rencana Rani membiarkan Dwira bersama Riska. Sebenarnya Rani sudah tahu kalau Dwira tidak akan pernah meninggalkan motornya di manapun dia berada. Dan Rani ingin melihat apa permainan Dwira kali ini.

Riska menendang-nendang kerikil di jalan. Dia menatap aspal jalan tidak bersemangat, apalagi memperhatikan segala hal di sekitarnya. Termasuk Dwira yang sekarang berjalan di sampingnya. Riska terpaksa menerima tawaran Dwira mengantarnya pulang. Bukan, maksudnya mengajak Riska jalan, jalan kaki. Dia berkilah sedang tidak membawa motor dan malas pulang terlalu cepat ke rumah. Dia bilang ingin jalan-jalan saja.

Dwira juga tidak mengajaknya berbicara. Hanya melirik Riska berkali-kali dan itu membuat Riska risih. Riska mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Mereka baru saja berjalan sejauh 500 meter dari sekolah, tapi kenapa rasanya sudah ratusan kilometer.

Tiba-tiba mata Riska menangkap seseorang di atas motor berlawanan arah dengannya. Riska terpaku ketika kaca helmnya terbuka dan mata mereka beradu untuk beberapa saat. Setelah motor itu melewati mereka, langkah kakinya terhenti.

Diki sama sekali tidak menyapanya. Bahkan Diki lebih dulu memutus kontak mata dengannya. Kenapa laki-laki itu?

Riska merasa dadanya sesak. Dia menghembuskan napas yang sedari tadi dia tahan sejak menatap Diki dari kejauhan. Ada yang tidak beres dengan Diki. Bahkan dia tidak pernah sedetikpun menghubunginya. Riska yakin sudah ratusan panggilan dari Riska yang tidak terjawab di handphone Diki. Sama sekali laki-laki itu tidak memberinya penjelasan lewat pesan singkat sekalipun. Riska melirik sekilas ke belakang. Tentu saja, apa yang ingin dia lihat sudah tidak ada di sana.

"Kenapa?" tanya Dwira mengikuti pandangan Riska.

Riska tersentak dan langsung menggeleng. "Ngga ada," gumannya lirih sambil menekuk kepalanya. Kemudian dia kembali berjalan perlahan di sisa-sisa terakhir jalan panjang ini, setelah itu dia akan masuk ke dalam komplek perumahan Riska.

"Riska, duduk bentar, yuk," kata Dwira menujuk tempat duduk di bawah pohon seberang jalan mereka.

Riska menoleh. Dia tidak menjawab untuk beberapa detik.

"Ayo. Kamu kayaknya kecapean," kata Dwira lagi menarik lengan Riska. Dwira hanya ingin membuat kejutan untuk Riska.

"Gimana hari ini di sekolah. Belajar apa aja?" tanya Dwira. Pertanyaan tidak penting yang perlu Dwira tanyakan sebagai basa-basi.

Riska berguman panjang sebelum menjawab. "Bahasa Indonesia, Fisika, Matematika."

Dwira menganggukkan kepala mengerti. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu. Setelah itu dia menyimpannya kembali.

"Ngga nyangka aja ya kita udah kelas 3." Dwira tertawa sebentar, lalu melanjutkan, "Udah lama banget ya kita ngga ngobrol kayak gini."

Riska mengerjap beberapa kali. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat. Mendengarkan perkataan Dwira membuat Riska was-was. Perasaannya tidak enak kali ini.

"Maafin aku ya," guman Dwira lirih. "Maaf aku udah egois selama ini ke kamu. Aku cuma ngga mau kamu jauhin aku," lanjutnya dengan kepala tertunduk.

Kening Riska berkerut. Dengan ekor matanya dia melihat Dwira menekuk kepalanya menatap sepatunya.

"Riska?" panggil Dwira lembut, merobohkan pertahan Riska.

Akhirnya Riska menoleh juga menatap Dwira. Dia hanya tersenyum tipis di sudut bibirnya.

"Aku minta maaf, ya," ulang Dwira.

Riska kembali diam. Namun tak urung dia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Tidak lupa Riska tersenyum yang dipaksakan kepada laki-laki di sebelahnya.

"Makasih, ya," kata Dwira menatap lurus manik mata Riska.

"Iya," jawab Riska.

Riska menghela napas. Lalu mengalihkan pandangannya ke seberang jalan. Sesekali Riska melirik ke sebelah kirinya untuk melihat mobil Rani yang terparkir jauh dari mereka. Riska merasa aman jika ada mereka mengikuti di belakang.

"Riska?" panggil Dwira lagi.

"Iy..." belum Riska menoleh, tiba-tiba Dwira mencium pipi kanannya.

Mata Riska membulat sempurna. Darahnya berdesir cepat membuat wajah Riska memerah seperti tomat. Bibirnya bergetar, semua kata-katanya tertelan bersama tegukan ludahnya susah payah. Kepala Riska bergerak menatap Dwira. Laki-laki itu tersenyum lebar kepadanya.

"I love you..." kata Dwira.

Beberapa detik kemudian Riska melihat Dwira tersungkur ke jalan.

*

Diki berjalan mondar-mandir di kamarnya. Pikirannya tidak tenang sejak melihat Riska berjalan bersama Dwira ketika mereka tidak sengaja berpapasan. Diki bisa membaca tatapan gusar Riska kepadanya. Diliriknya lewat kaca spionnya, perempuan itu tidak menoleh sama sekali untuk menatapnya membuat Diki mengurungkan niat untuk menemui Riska.

Diki duduk di tepi ranjang. Dia mengusap wajahnya gusar. Sebaiknya Diki melakukan apa saat ini. Hatinya tidak tenang mengingat Dwira dan Riska berjalan berdua. Ada perasaan tidak suka saat Diki melihatnya, ada perasaan cemburu yang Diki rasakan.

New massage

Diki mengambil ponselnya yang tadi dia lempar ke atas meja belajar. Alis Diki bertaut membaca pesan yang dikirimkan oleh Dwira.

Lo bilang bersaing secara sehat, kan? Gue lagi berjuang, nih. Seru!

"Sial!" umpat Diki kesal. Dia menggeram marah.

Diki menyambar kunci motornya di atas nakas dan bergegas keluar menuju motornya. Tanpa pikir panjang lagi dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah Riska. Segala pikiran buruk muncul di otaknya. Agaknya Diki tidak fokus pada jalan karena hampir menabrak ekor mobil yang terpakir di tepi jalan.

"Woi! Siapa... Eh, Diki?" Fadila tergagap melihat Diki duduk di atas motornya.

Mendengar Fadila menyebutkan nama Diki membuat kedua orang di dalam mobil keluar dan menatap ke arah yang sama.

"Diki lo di sini? Riska..." kata-kata Kya terpotong kala Diki menatap tajam ke depannya.

"Lo mau apa?" cegah Rani ketika Diki melewati mereka dan mengacuhkan kedua temannya.

Diki menyentakkan tangannnya. Dia menatap Rani menyipit. "Gue ada urusan Rani. Lo ngga perlu ikut campur!" tekan Diki. Kemudian Diki berjalan meninggalkan Rani yang melongo menatapnya.

Dwira menoleh menatap ke arahnya sambil tersenyum gembira membuat Diki mengertakkan giginya kesal. Kemarahannya semakin memuncak kala Dwira mencium pipi Riska membuat wajah perempuan itu menegang.

Tanpa aba-aba lagi, Diki langsung melayangkan tinjunya ke wajah Dwira hingga membuat laki-laki itu tersungkur ke jalan. Napas Diki memburu, sekarang dia tidak peduli lagi apakah Dwira abang sepupu yang dulu begitu dekat dengannya.

Dwira menyeringai menatap Diki. Lalu menatap Riska sebentar, wajah perempuan itu pucat menatap punggung Diki.

"Lo lihat Riska," kata Dwira pelan. Riska menoleh ke arahnya. Tatapan mereka beradu dan Dwira melanjutkan, "Dia bilang gue harus bersaing secara sehat buat dapetin lo. Lihat sekarang yang ngga sehat otaknya." Setiap kata Dwira penuh penekanan.

Riska terpaku. Ditatapnya punggung Diki. Laki-laki itu menoleh menatap Riska sekilas, lalu kepalanya tertunduk.

"Apa cuma gara-gara cewek lo kehilangan akal sehat ngelukain saudara lo sendiri?" tanya Dwira. Dia bangkit dan mendorong bahu Diki.

Diki tidak melawan. Mendengar Dwira mengulang kata-katanya waktu itu membuat Diki mengeluh dalam hati, bahwa dia juga pernah mengatakan hal itu.

"Lo pikir dengan cara ini lo terlihat keren di mata cewek yang lo perjuangin? Apa Riska ngelirik lo sebagai pahlawan?" pancing Dwira lagi.

Dwira tersenyum puas melihat Riska menggigit bibirnya tidak percaya. Pastilah Riska tidak menyangka mereka berdua akan begini karenanya.

Dwira kembali menatap Diki. "Atau sebagai cowok bangsat?"

Diki menatap Riska. Agaknya perempuan itu begitu terkejut mendengar kata-kata Dwira tadi. Salahkan Diki yang tidak bisa menahan hatinya untuk tidak marah melihat Dwira mencium pipi Riska.

Riska menggeleng tidak percaya. Matanya berkaca menatap Diki. Dia mengambil langkah mundur untuk menjauh dari kedua laki-laki itu.

"Riska tunggu! Riska?" panggil Diki mengejar Riska dan menarik lengan perempuan itu. Mata Diki bertemu dengan manik coklat Riska yang berkaca.

"Gue kecewa sama lo," desis Riska sambil menarik lengannya dan berlari kepada teman-temannya.

Mobil Rani sudah mendekat sejak tadi. Riska langsung menaiki mobil Rani dan melesat menuju ke arah barat meninggalkan dua orang laki-laki yang hanya menatap mobil itu menjauh.

"Gue suka gaya lo, Adik sepupu." Dwira tersenyum miring lalu berjalan ke arah Diki dengan hati puas.

"Selamat bermain," bisik Dwira di telinga Diki. Setelahnya Dwira menyenggol bahu Diki dengan bahunya.

Diki terdiam. Mungkin sebaiknya Diki tidak datang tadi. Namun lebih baik dia memukul wajah Dwira karena telah mencium pipi Riska sesuka hatinya saja. Akan tetapi, ini tidak lebih baik dari apapun saat Riska pergi dengan kilatan kecewa di manik coklatnya. Diki yakin perempuan itu sedang merasa di permainkan.

Tidak, sama sekali Diki tidak berniat untuk mempermainkannya. Bukan begitu niat Diki untuk berada di samping Riska. Dia hanya ingin menjaga Riska karena itu Tesa yang memintanya. Ah, tidak. Ini bukan karena hal itu juga. Hanya saja memang Diki menginginkan Riska untuk ada di sisinya.

Banyak sekali yang Diki pertimbangkan saat ini. Dia mungkin harus memaksakan diri muncul di hadapan Riska dengan mengumpulkan keberanian agar nanti Diki tidak lemah ketika bertatap dengan manik coklat Riska.

*

Fadila berkali-kali menatap Rani yang sedang berjalan mondar-mandir di depannya. Kaki-kaki Rani tidak berhenti sejak tadi mereka sampai di rumah Riska. Kya juga tidak berbicara sejak mereka di mobil tadi.

Bunyi pintu dibuka membuat mereka segera menoleh ke sumber suara. Di sana Mama Riska baru saja keluar dari kamar Riska dengan senyum di bibirnya. Wanita itu menatap ketiga perempuan muda itu dengan tatapan teduh.

"Riska gimana, Tante?" Rani yang duluan bertanya dengan wajah gusar yang masih belum hilang sejak tadi.

"Dia ngga apa-apa. Cuma Riska lagi pengen istirahat aja," jawab Mama Riska tenang. Lalu dia duduk di sofa diikuti Rani.

"Riska bilang kalian ngga perlu khawatir gitu. Dia baik-baik aja, kok. Paling besok ke sekolah dia bakal ketawa lagi kayak biasa," lanjut wanita itu lembut.

Mereka bertiga menghela napas lega. Mereka percaya Riska lebih kuat untuk masalah seperti itu. Riska pasti bisa mengatasinya.

"Riska ada masalah sama siapa?" tanya Mama Riska penasaran.

"Sama temennya, Tan," sahut Rani tenang. Perasaannya sudah agak lega.

"Siapa?"

"Itu Tante. Si Diki," jawab Fadila ceplas-ceplos.

Kya dan Rani lansung menatap Fadila tajam membuatnya bergidik ngeri. Dia mengangkat alis, bermaksud ingin mengatakan "Emangnya salah?", namun disela oleh Mama Riska.

"Diki?" Kening Mama Riska berkerut samar.

"Itu lho Tante. Mereka teman beda sekolah. Jadi ngga masalah kok Tante," jawab Rani cepat. Kemudian diliriknya Fadila dan memelototi perempuan itu.

Kya hanya menghela napas, menyayangkan mulut Fadila yang terlalu nyinyir. Padahal mereka tidak ingin membicarakan ini dengan Mama Riska.

"Oh, jadi mereka beda sekolah," gumam wanita tersebut sambil menganggukkan kepala.

"Tante kenal?" tanya Fadila penasaran. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, sangat bersemangat menunggu jawaban dari wanita di depannya.

Mama Riska mengangguk. "Dia pernah ke sini.."

"KE SINI?" teriak Rani spontan. "Maaf, Tante," katanya sambil menutup mulutnya, malu.

Wanita itu hanya geleng-geleng kepala, lalu dia melanjutkan, "Dia nganterin Riska ke rumah pas Riska.." Dia menggantung kalimatnya ragu. Hampir saja Mama Riska keceplosan. "Iya, pas Riska lagi pusing. Mungkin keanginan karena Riska pergi pake baju pendek," tambahnya diiringi senyuman manis.

Fadila dan Kya mengangguk-angguk mengerti. Sementara Rani masih menatap wanita di depannya serius.

"Kapan Tante?" tanya Rani.

"Beberapa hari yang lalu," guman Mama Riska tidak yakin.

"Mereka pergi bareng atau gimana, Tan?" tanya Rani lagi belum puas.

"Udahlah, Ran. Kok lo kayak wartawan ngga jelas gitu," decak Kya malas.

Rani menghiraukan Kya dan masih menatap Mama Riska menunggu jawaban.

"Awalnya Riska pergi sendiri bawa kantong plastik gitu. Katanya dia mau balikin jacket temannya. Pas pulangnya dia sama Diki. Tante ngga tahu apakah mereka bertemu ngga sengaja atau gimana," jawab Mama Riska.

Rani menghela napas panjang. Ini semakin menyulitkannya karena Riska selama ini tidak pernah bercerita. Ah, bukan begitu. Hanya saja Rani yang tidak pernah mau bertanya apa hubungan keduanya.

Diam-diam Rani mengeluh dalam hati. Diliriknya pintu kamar Riska yang tertutup rapat. Rani yakin perempuan itu terluka sekarang.

♥~♥

Woah... gimana nih, ceritanya. Kok aku malah nulis kayak gini, sih. Ahahaha ngga jelas dah aku.

Tapi gimana chapter ini?
Membingungkan atau menyebalkan?

Ssstt... ternyata After Rain dari prolog sampai bab 35 udah 61.xxx kata. Wah, ngga nyangka banget ternyata udah panjang banget gini. Wkwkwk tambahin aja chapter ini 2500 kata. Semuanya di luar note yang tulis. Cuma badan cerita aja :v

Love you all:*

Continue Reading

You'll Also Like

586K 27.7K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
724K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
6.3M 485K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
15.5M 876K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...