Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

By DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... More

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 26

302 32 0
By DekaLika

"Ini seperti permainan teka-teki dari angka dadu yang muncul sesuka hatinya ketika kita bermain ular tangga. Dia menjadi satu-satunya penentu ketika naik tangga dan penyelamat dari lompatan angka. Juga, dia.. bisa menjadi musuhmu dan meloloskanmu ke dalam mulut-mulut ular yang lapar. Jadi, bermainlah dengan pintar bersama dadumu."

*

Seorang lelaki muda tengah duduk mendongak memperhatikan awan-awan yang membentuk berbagai rupa di badan angkasa. Matanya hanya mengamati, mulutnya tidak ikut berkomentar tentang bermacam gambar yang dibentuk oleh awan sejak tadi. Pandangannya hanya fokus pada kumpulan kabut putih yang menggumpal sejak ia duduk di depan rumah. Liburan akan berakhir dalam dua hari lagi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Baginya liburan ini hanyalah libur menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa, termasuk libur dari tugas sekolah.

Diki mendesah pelan. Raut wajahnya sendu. Dia tidak memastikan memikirkan apapun di benaknya sejak setengah jam yang lalu dia melakukan hal itu. Duduk termangu dan tidak berniat untuk beranjak atau menggumankan sebuah lagu. Dia persis seperti mayat hidup yang memelototi langit yang tidak bersalah sama sekali.

"Kenapa, bang?" tanya sebuah suara. Lalu orang itu mengambil tempat di sebelah Diki.

Diki menoleh sebentar tanpa menyahut, lalu kembali menatap langit seperti tadi. Beberapa detik kemudian dia berguman, "Ngga ada."

"Mikirin apa, sih?" tanya perempuan yang bernama Yola, adik Diki tersebut. Dia menatap lamat wajah abangnya yang sudah sejak tadi dia perhatikan duduk di kursi kayu di depan rumah yang hanya memandangi langit.

Laki-laki itu berdeham kecil lalu menjawab asal, "Belum tahu."

Yola berdecak dan menyikut lengan Diki dengan malas, lalu dia mendongak menatap langit, melakukan hal yang sama dengan Diki. "Kakak yang kemaren itu siapa ya, bang?" tanyanya sambil mendesah.

Dahi Diki berkerut, lalu kepalanya berputar 90 derajat menatap wajah adiknya. "Kenapa?" Dia balik bertanya. Alisnya terangkat sebelah, bingung. Tiba-tiba adiknya bertanya tentang perempuan yang Diki bawa ke rumah. Karena biasanya Yola adalah tipikal cuek dengan masalah orang lain. Setiap kali Diki membawa teman-teman atau mungkin cewek ke rumahnya Yola tidak akan menggubris apapun.

"Aku sering lihat dia. Abang kenal dia dari mana?" Yola juga memutar kepala dan membalas tatapan bingung Diki.

Kerutan di dahi Diki semakin bertambah. Sekarang Yola juga mengenal perempuan itu. Sering lihat dia? Dimana? Apakah sekarang adik perempuannya sudah berubah menjadi seorang penguntit. "Kenapa emang?" Mata Diki menyipit menatap adiknya curiga.

Yola memutar matanya malas, lalu mengalihkan pandangannya. "Abang pacaran sama dia?"

"Hei. Maksud kamu apa? Jawab dulu pertanyaan abang," tekan Diki mengangkat kedua tangannya, bentuk protesnya atas pertanyaan adiknya barusan.

Yola tergelak melihat reaksi Diki. Padahal dia tidak bermaksud apa-apa menanyakan hal itu. Setahunya, Diki hanya akan membawa seorang perempuan ke dalam rumah hanyalah yang digelari ceweknya dan berstatus sebagai pacar Diki. Jika itu hanya sebatas teman saja dan mereka akan bertamu hanya sampai di depan pintu, kecuali belajar kelompok. "Kok wajahnya aneh gitu, sih? Haa.. tahu nih." Yola baru saja memikirkan untuk mengerjai abangnya ini.

"Ke-kenapa? Biasa aja." Diki tergagap sambil meraba wajahnya. Masih baik-baik saja, tidak ada yang hilang dari bentuk hidung, mata, dan bibirnya. Setelahnya Yola tertawa terbahak-bahak melihat kelakuannya barusan. "Kenapa, sih?" bentak Diki kesal.

Yola membuka matanya dan menatap wajah Diki geli. Dia berkata setengah tertawa setengah mendengus, "Kok gagu gitu. Lihat wajah abang merona." Lalu dia kembali menggoda laki-laki yang berumur tiga tahun di atasnya itu, "Pasti abang suka kan sama kakak yang kemaren itu," lanjutnya kemudian tertawa.

Diki tidak lagi berkomentar. Dia hanya menatap tajam perempuan usil di sampingnya. Tiba-tiba saja otaknya memikirkan hal lain. Lalu dia menunggu Yola selesai tertawa dan menanyakan sesuatu.

Yola yang masih berusaha menghabiskan sisa tawanya menatap Diki masam karena wajah laki-laki itu terlihat serius kali ini. "Kenapa?" tanyanya jengkel kemudian kembali tertawa dibuat-buat, menyembunyikan debar-debarnya. Takut-takut Diki akan marah padanya.

"Udah selesai ketawanya?" Kali ini suara Diki terdengar melembut. Yola berdeham dan menegakkan punggungnya. "Udah," jawabnya dengan suara berwibawa.

"Kamu kenal Riska dari mana?" tanya Diki tenang. Walau jelas sekali dari raut wajahnya Diki tidak sabaran. Berbagai pertanyaan muncul begitu saja di otaknya untuk segera dijawab.

"Dia bukannya pacarnya bang Waldy sepupu kak Viska, kan? Jangan lupa kalau kita masih ada hubungan sodaraan jauh sama dia," katanya sedikit mengingatkan tentang Viska. "Aku tahu dia pacaran sama bang Waldy waktu masih kelas 1, sih. Waktu itu aku sering lihat mereka jalan bareng.. hem.. boncengan.." lanjutnya sambil mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di dagu berpikir-pikir, lalu kembali menambahkan, "Tiga kali." Dia menujukkan tiga buah jarinya untuk memperjelas.

Diki mengangguk-anggukan kepala menunggu Yola melanjutkan.

"Ya.. aku ngga ngitung hari.. Lalu aku lihat kakak itu pulang sekolah dianterin sama bang Dwira. Awalnya sih aku ngga mikir apa-apa, karna aku tahu mereka satu sekolah. Tapi lama-lama aku lihat mereka sering dua-duaan gitu. Makanya aku mulai curiga. Padahal di era waktu yang sama kak Riska ketemu sama bang Waldy juga. Ssshh... aku jadi makin penasaran.." jelas Yola sambil mendesah panjang ketika menceritakan tentang ingatannya yang masih segar.

"Nah, baru-baru ini juga abang yang bawa dia ke rumah. Itu yang bikin aku bingung. Tapi ya aku ngga ambil pusing lah, ya. Urusan orang mah malas ngurusin." Yola mengakhiri ceritanya dengan mengibaskan tangan dan berdecak.

Diki menganggukkan kepala sekali, lalu menatap ke arah pagar rumah. Cerita Yola baru saja tidak memuskan jawaban yang ia butuhkan. Dia juga sudah mengetahui tentang itu. Diki bangkit dan berjalan ke dalam rumah.

Yola hanya mengerucutkan bibirnya melihat Diki meninggalkan dirinya sendiri setalah bercerita panjang lebar tanpa ditawari segelas air putih sekalipun. Dasar Diki, laki-laki itu selalu begitu.

Diki berlari-lari kecil ke samping rumah dan menghidupkan mesin motornya. Detik berikutnya dia berjalan mendekati pagar dan mengeluarkan motornya. Terdengar teriakan Yola menanyakan dia akan kemana dan Diki menjawa sekenanya, "Pergi main."

*

"Ngapain bang?"

Waldy yang sedang merapikan baju di dalam lemari untuk dia masukkan ke dalam koper, berbalik melihat siapa yang datang.

"Eh, Diki. Tumben lo ke sini?" tanyanya memiringkan kepala menatap Diki bingung tiba-tiba ada di depan pintu kamarnya.

Diki tidak langsung menjawab, dia berjalan masuk ke dalam dan ikut berdiri di depan lemari Waldy yang terbuka. "Ngga ada sih, bang. Mau ketemu lo aja," jawab Diki kemudian melihat koper, lalu matanya menyapu setiap sudut kamar Waldy yang hampir setengahnya dikemas rapi berbagai macam barang-barangnya lalu kembali menatap Waldy. "Berangkat kapan?" tanyanya.

"Ntar malem," sahut Waldy kembali memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Malam ini dia akan berangkat ke Bandung untuk melanjutkan studynya di sana. Jadi dia sudah harus bersiap-siap dan membereskan setiap barang-barang di dalam kamarnya, karena ia tidak akan membuka kamar ini untuk waktu yang lama dan akan pulang hanya saat liburan ssmester.

"Boleh nanya sesuatu ngga, bang?" tanya Diki. Dia mencoba tenang dari nada suaranya yang biasa saja.

"Boleh. Lo bisa nanya apa aja. Gue jawab sesuai kemampuan gue," katanya tanpa menoleh.

"Ini tentang Riska." Diki masih menjaga suaranya, namun berhasil membuat tangan Waldy berhenti beraktivitas. "Lo kenal dia, ngga?"

Waldy menelan ludah. Matanya mengerjap gusar. Seseorang sedang menyebut nama perempuan itu dan membuat detak jantungnya berpacu. "Kenal. Dia kenapa?" Waldy menjawab singkat dan mengajukan pertanyaan. Itu lebih kepada, Dia kenapa? Apa kabarnya baik-baik saja?

"Bang. Gue serius mau nanya. Jadi gue mau lo jawab jujur."

Waldy menegakkan punggung, lalu dia memutar tubuhnya dan berjalan mendekati Diki. "Iya lo mau tanya apa? Gue bakal jawab sebisa gue," katanya tenang.

"Lo pernah pacaran sama Riska?" Diki menatap lekat mata laki-laki yang hampir sama tinggi dengannya itu.

"Iya. Pernah. Udah lama putus," jawab Waldy.

"Putusnya apa gara-gara Dwira?"

"Engga. Bukan gara-gara dia." Waldy agak enggan menyebutkan nama laki-laki yang pernah memukulinya dan membuatnya sekarat di tengah jalan lalu membawa Riska kabur darinya. "Sebenarnya inti dari pertanyaan lo apa?" tanya Waldy balik.

Diki menghela napas panjang dan hatinya terus berkata-kata. Dia bahkan tidak memikirkan sebelumnya ketika menginjakkan kaki di halaman rumah Waldy. Yang ada di benaknya hanya berbagai macam pertanyaan yang terus menghantuinya sepanjang jalan. Saat dia bertanya pada Viska bahwa laki-laki itu sedang berkemas di rumahnya karena akan berangkat ke Bandung, Diki tidak ingin mensia-siakan kesempatan yang sedikit ini untuk menanyakan pada laki-laki itu.

"Oke gue kasih tahu sekarang," tegas Diki menurunkan kedua lengannya yang tadi dia lipat di depan dada. Dia akan menjelaskan ini dan menyelesaikan semua teka-teki yang menyeretnya ke dalam gudang tanda tanya tentang perempuan itu. "Setahu gue, Riska itu pacaran sama Dwira. Dan gue juga pernah lihat lo ketemu sama lo. Sorry, gue ngga maksud nguntit lo sama Riska lagi ngomong berdua waktu itu. Yang gue ambil kesimpulan, kalian berdua ada hubungan sama Riska," jelas Diki. Dia menarik napas dan melanjutkan, "Dan cewek gue, namanya Tesa. Maksudnya, mantan gue, juga pernah pacaran sama Dwira." Diki agak ragu mencerikan tentang itu pada Waldy.

"Terus?" tanya Waldy membuat Diki tersentak dari lamunanya.

"Terus?" ulang Waldy.

Diki mengehela napas panjang. Dia harus mengambil resiko agar tidak dirundung pertanyaan yang sama setiap waktu. "Oke. Gue bakal cerirain ini. Tapi gue mau lo janji bakal jaga rahasia ini." Setelah melihat Waldy menganggukkan kepala, barulah Diki melanjutkan, "Cewek gue pernah ada hubungan sama Dwira dan.. Dan Dwira pernah.. perkosa dia. Em.. iya maksud gue semacam itu.." kata Diki terbata. Waldy membulatkan mata mendengar cerita itu. "Dan.. Gue juga ngga pernah tahu. Dia ngasih tahu pas udah mau pindah. Untungnya dia ngga sampai.. ya lo tahu lah." Diki enggan menyebutkan hal itu.

Waldy masih menatap Diki fokus melanjutkan. Detak jantungnya sudah berdetak lebih cepat sejak tadi sekarang berdetak dua kali lipat membuat ia takut jantungnya tidak akan berfungsi dengan baik setelah bekerja terlalu keras.

Diki menunduk sekilas. Hatinya sakit ketika melihat air mata yang menggenang di sudut mata Tesa waktu itu. Tesa berpesan padanya, jadi dia harus melakukan hal tersebut. Termasuk dengan mengorbankan harga diri Tesa dengan menceritakan aibnya. Diki berharap Tesa mau memaafkannya jika saja suatu saat dia tahu bahwa ada orang lain yang mengetahui rahasianya karena Diki.

Diki mengangkat kepala dan menatap Waldy. "Gue tahu lo kaget. Tapi gue cuma mau ngelakuin permintaan cewek gue. Buat jaga Riska dari Dwira. Gue ngga tahu kenapa harus gue yang ngelakuin ini," kata Diki menggelengkan kepala tidak tahu. "Padahal gue cuma kenal dia secara kebetulan dan ngga tahu asal-usul itu cewek. Awalnya gue ngga acuh sama dia. Karna ini permintaan cewek gue, makanya gue bersedia ngelakuinnya. Apa lagi saat gue pikir, mungkin aja nanti Dwira ngelakuin hal yang sama ke Riska." Diki mengangkat bahu dan tersenyum miring.

"Makanya gue nemuin lo karna mau denger cerita sebenarnya dari lo. Biar gue ngga bingung lagi ada apa sama kalian, dan gue bisa lebih dekat sama Riska tanpa harus sibuk nanyain satu-satu tentang lo atau Dwira," tambah Diki. "Satu lagi.. tapi sorry, gue juga pernah lihat Riska nangis depan lo dan bilang soal permainan kalian." Diki mengakhiri dengan tersenyum canggung ketika menyebutkan permainan kalian di kata-katanya. Dia merasa telah lancang mengurus lebih dalam masalah orang lain. Tapi itulah yang sedang ia lakukan.

Waldy tersenyum singkat setelah mendengar cerita yang mungkin tidak dia harapkan sebelumnya, sekarang menjadi kenyataan. Laki-laki jangkung itu menghela napas panjang, lalu manik hazelnya menatap Diki penuh harap. Entah kenapa mimpinya yang dia kubur sedikit bisa muncul ke permukaan. "Kalau lo udah selesai, gue bakal jawab sekarang," katanya kemudian mengalihkan pandangan pada ubin-ubin persegi di lantai, lalu menatap Diki sekilas, kemudian dia berjalan ke arah meja belajarnya dan menarik kursi itu dan duduk di dekat kaki ranjang. "Duduk," perintahnya lembut pada Diki.

Diki menurut dan duduk di tepi ranjang. Sekarang mereka duduk bertatapan dan Diki siap mendengarkan Waldy membongkar rahasianya.

"Gue dulu kenal Riska dari sepupu gue, Viska. Karena mereka sekelas, jadi gue ngga susah-susah dapetin nomor dia dan informasi tentang Riska. Apa lagi mereka berdua itu teman dekat. Dia itu cewek yang beda dari yang lain. Dia unik dan suka terlihat polos. Ya.. dia itu dulu gadis polos sebelum ketemu gue. Dia cerita, kalau ini pertama kalinya dia ngerasain cinta dan jalan sama cowok yang dia sebut pacar." Waldy tersenyum mengingat hal kecil itu. Saat Riska begitu antusias saat bercerita tentang teman-temannya sewaktu SMP sudah pandai berpacaran.

"Riska pernah bilang sama gue. Ternyata cinta itu kayak gini ya, suka bikin hati rindu dan bahagia. Dia bilang itu sambil menutup mata dan menekan dada dia pake tangan." Waldy memperagakannya dengan meletakkan tangannya di dadanya dan merasakan detak jantungnya. Sekarang Waldy jadi merindukan perempuan itu. "Dia nanya tentang jantungnya yang terus berdebar cepat kalau lagi sama gue. Saat itu gue jadi ngga tega buat nyakitin dia. Tapi gue ngga punya alasan kuat buat bikin dia ngerasin rindunya lama-lama.. Gue.. waktu itu jalan sama anak cewek sekolah kita dan ketahuan sama dia."

"Sejak saat itu, Riska sering ngehindarin gue dan nolak buat dengerin penjelasan gue. Walau gue tahu kalau sebenarnya gue ngga tahu apa yang mau gue jelasin dari kesalahan gue." Waldy tertawa sumbang mengingat bodohnya dia yang terus mengejar Riska dan membuat perempuan itu terua menjauh dan semakin membencinya. "Dan.. sejak saat itu juga, gue sadar kalau gue udah jatuh cinta sama dia. Dia yang udah gue sakitin dan merusak semua harapan-harapan manis dia sama cinta pertamanya. Padahal gue tahu kalau dia terus bilang tentang itu ke gue. Tapi gue benar-benar nyesel sama kesalahan gue. Viska sempat bilang ke gua buat ngga jadiin dia korban gue karna Riska ngga salah apa-apa sama gue. Sayangnya gue malah mainin perasaan dia. Jadinya sampai sekarang dia terus ngejauh dan membenci gue."

Diki termangu mendengar cerita dari Waldy barusan. Ingatannya melayang saat Riska selalu memasang wajah kesal padanya dan bersikap acuh seolah perempuan itu hanya memikirkan hal yang baru saja ia lakukan atau kesalkan. Kembali Diki teringat saat Riska menangis di depan Waldy, lalu pada Riska yang tersenyum padanya saat dia tidak sengaja bertemu Riska di depan rumah perempuan itu, lalu cara Riska tertawa pada adiknya di rumah beberapa hari lalu membuat Diki tidak berpikir kalau perempuan itu menutupi apapun dari hidupnya.

"Ngga lama gue denger dia deket sama Dwira. Entah alasan apa dari mereka sampai pacaran dan Dwira sengaja kasih tahu. Padahal Riska tahu kami berdua bersaudara. Gue anggap aja Dwira ngga tahu kalau gue pernah pacaran sama Riska karna dia sama sekali ngga berniat buat nyinggung gue," lanjut Waldy.

"Sejak itu gue kehilangan kesempatan buat deketin Riska lagi. Ditambah lagi.. Riska tahu gue ngga mutusin cewek gue dan dia juga ngga mutusin Dwira. Walau sebenarnya Risja yang mulai ini duluan, tetap aja cara gue yang salah dalam menilai maksud Riska ngelakuin ini. Sampai akhirnya gue sadar kalau Riska ngga pernah serius sama Dwira gue makin tahu kalau gue udah telat memperbaiki keadaan."

"Sampai sekarang Dwira terus jagain Riska dari gue. Sampai-sampai gue ikut dipukulin sama dia waktu itu. Karna dia benci banget pas tahu kalau gue pernah nyakitin Riska dan Riska masih tetap aja mikirin tentang gue dan Riska. Maksud gue.. dia mikirin tentang perasaannya. Gue tahu Riska masih sayang ke gue dan gue juga sama. Karna Dwira tahu tentang dia makanya dia ngga mandang bulu gue ini sepupunya dia main hajar aja." Waldy terkekeh mengingat hari itu dia pulang dengan lebam dan luka sobekan di wajahnya.

"Dan sejak itu juga gue ngga berani lagi buat deketin Riska. Mungkin udah segitu aja gue boleh memiliki Riska dan nikmatin perasaan menyesal gue ini dengan ngejauhin dia biar dia ngga makin sakit hati kalau ketemu gue. Tapi gue ngga tahu tentang cerita Dwira nyakitin cewek lo juga." Waldy menatap Diki sebentar.

Diki terkesiap dan berdeham sebentar, lalu menjawab ragu, "Iya. Gue juga takut kalau Dwira bakal nyakitin Riska." Tidak. Bukan itu yang dia ingin ucapkan. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

Waldy tersenyum mendengar ucapan Diki. "Lo khawatir, apa lagi gue," gumannya. "Kayaknya permintaan cewek lo harus lo lakuin. Juga permintaan gue," lanjut Waldy.

"Eh?" Diki terkejut mendengar kata-kata Waldy dan dia memberikan laki-laki itu tatapan bingung sekaligus bertanya maksudnya.

"Lo harus jagain Riska juga," tegas Waldy sambil mencondongkan tubuhnya untuk menepuk bahu laki-laki itu. Waldy memutar bola matanya seperti memikirkan sesuatu, lalu kembali menatap Diki dan berkata, "Walau agak repot mengurus cewek itu karna dia banyak tingkah. Tapi percaya deh, lo pasti bakal nyaman di dekat dia." Waldy tersenyum penuh arti pada Diki membuatnya membatu sejenak mencerna kata-kata Waldy tadi.

Waldy berdiri dari duduknya dan berjalan ke samping ranjang kembali melakukan aktivitasnya yang sempat tertunda. Diki tidak bergerak dari duduknya. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Menghubungkan setiap cerita Waldy pada kejadian demi kejadian yang pernah dia temui dan membuat ia penasaran. Dan juga wajah perempuan itu, juga senyuman dan tatapan matanya.

"Masih ada yang mau lo tanyain?"

♥~♥

Yeii.. udah lebaran aja. Maaf ya tak ada up date. Soalnya aku sibuk bolak-balik kamar mandi dan menderita kerena kebanyakan makan gue lebaran.

Aduh.. aku sempat frustasi ngelihat kamar mandi yang udah capek ketemu aku terus wkwkwk >o<

Minal'adinwalfaizin semuanya, mohon maaf lahir batin:)

Salam damai kue lebaran□□

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 707K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
15.5M 876K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
3.3M 170K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
54.7M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...