Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

By DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... More

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 25

298 32 2
By DekaLika

"I looked you'r eyes. I can see you'r pain."

*

"Lo yakin nih, ngga mau ikut gue?" tanya Rani sekali lagi. Pasalnya dia akan pergi ke kota Bali bersama keluarganya selama dua hari untuk kunjungan keluarga. Jadi dia ingin mengajak Riska bergabung agar perempuan itu tidak hanya menghabiskan liburan dengan mengurung diri di rumah.

Riska menggeleng pelan. "Enggak. Gue mau puas-puasin tidur aja ah ntar," tolak Riska halus untuk yang kesekian kalinya. Ya, Rani memang nyinyir masalah ajak-mengajak, tawar-menawar, dan yaa.. ada hal lainnya lagi.

Rani memutar mata. Dia memasang wajah cemberut kemudian menaiki motornya dan menghidupkan mesinnya. "Lo sih, ngga mau semuanya aja," kesalnya.

Riska tertawa. "Kalau dikasih duit gue masih, kok."

"Elo mata duitan. Jelalatan tuh kalau udah liat duit." Rani mencubit hidung Riska gemas kemudian tersenyum geli.

Riska tertawa lagi. "Udah sana pulang."

"Iya." Rani berdecak kemudian melanjutkan, "Ini, nih. Tuan rumah yang kayak gini, suka ngusir tamunya. Ya elo baru yang pernah gue temui."

"Ahaha.. Gue bilang pulang sana. Mulut lo tuh gue sumpal kerupuk, nyerocos mulu." Riska mencubit lengan Rani lalu mendorongnya pelan. Perutnya sakit jika sudah mendengar celoteh Rani.

"Iya, nenek lampir. Gue pulang duduk." Rani menganggukkan kepala memasang helmnya.

"Hati-hati ya, Suster."

"Suster?"

"Suster ngesot racing." Kemudian Riska menjulurkan lidah dan berlari masuk ke dalam gerbang rumahnya sambil tertawa.

Rani balas tertawa kemudian melambaikan tangan, lalu dia menggas motornya dan meninggalkan rumah Riska.

Riska berlari sedikit keluar gerbang dan melambaikan tangannya pada punggung Rani yang sudah menjauh. Senyumnya terukir di bibirnya. Kemudian dilanjutkan dengan kekehan kecil.

"Hei," sapa seseorang dari belakang Riska. Dia menoleh.

Riska memiringkan kepalanya sedikit kebingungan. "Diki?" Matanya menyipit melihat laki-laki itu berdiri di hadapannya. Kemudian dia tersenyum. "Ngapain lo di sini?" tanyanya kemudian mengalihkan pandangan ke belakang Diki untuk melihat apakah Diki sendirian atau bersama.. siapun itu.

Diki tersenyum kecil dan memegang kedua ujung handuk yang tergantung di lehernya. "Lo bisa nebak?" Dia balik bertanya.

Riska tergelak dan mengibaskan tangannya di depan wajah Diki. "Haha.. Iya, iya. Lo habis dikejar wewe gombel, gue tahu. Haha." Entah itu gurauan atau cemoohan tapi Diki juga tertawa menanggapi.

"Jadi lo mau kemana, nih?" tanya Riska setelah tawanya berhenti.

Diki mengedikkan bahu dan memiringkan kepala. "Ya.. mau jalan aja, sih," jawabnya tidak yakin. Dia juga belum tahu kemana dia akan mengakhiri joging sorenya ini. "Eh, ini rumah lo?" tanyanya kemudian.

Riska melirik sebentar ke belakang, lalu kembali menatap Diki, lalu dia mengangguk. "Lo mau mampir, ngga?" tawarnya.

Diki tampak berpikir-pikir sejenak. "Ngga usah, deh."

"Masuk bentar kek, ntar gue kasih lo air cuci piring." Riska menutup bibirnya refleks. Lagi-lagi dia bicara melantur kalau sudah bersama Rani. Dan pengaruhnya akan terbawa-bawa.

"Menarik?" Diki mengangkat alis sebelah.

"Eh, enggak, kok. Gue kasih lo air minum yang palingg... dingin. Lo mau ngga?" tawar Riska lagi seperti memaksa.

Laki-laki itu menautkan kedua alisnya berpikir, lalu dia melirik jam tangannya. "Kayaknya gue mau pulang cepet, deh. Kapan-kapan aja, ya," tolaknya halus.

Riska memasang wajah cemberut. "Yah.." Dia menghentakkan kakinya sekali ke lantai sebagai bentuk kekesalannya.

Itu membuat Diki terkekeh melihat ekspresi lucu di depannya. Diperhatikannya wajah Riska sebentar. Wajahnya oriental, alis tebal, hidungnya mancung, matanya yang tidak kecil tidak juga bulat besar tapi itu cocok dengan wajahnya, dan bibir ranumnya sedang mengerucut karena cemberut. Itu terlihat lucu untuknya. Lalu Diki tersenyum setelahnya.

"Lo mau ikut gue ngga?" tanya Diki membuat penawaran baru.

Riska melirik sedikit laki-laki di depannya tidak tertarik, namun juga dia bertanya, "Kemana?"

"Ikut joging sama gue," kata Diki.

"Lo ngga lihat gue pakai rok? Gue malas ganti baju," jawab Riska.

"Yaudah lo ngga usah lari. Kita jalan aja," ajak Diki lagi.

Riska menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian tersenyum miring menatap Diki yang menganggukkan kepala seolah mengerti dia memberikan sebuah pertanyaan, 'yakin?'.

Perempuan itu menghela napas panjang, lalu mengetuk dagu dengan telunjuk, berpikir-pikir sebentar.

"Mau ngga, nih?" tanya Diki meminta persetujuan. "Sampai gerbang depan aja," tambahnya.

"Boleh, deh," kata Riska akhirnya. "Tapi tunggu bentar, ya." Riska segera masuk dan berlari menuju pintu rumahnya tanpa menunggu persetujuan Diki.

Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum mengiyakan. Diperhatikannya punggung Riska yang kemudian menghilang di balik pintu. Sudut bibirnya terangkat. Dia jadi berpikir ulang lagi, kenapa dia mengajak gadis itu pergi bersamanya. Tiba-tiba saja terpikirkan olehnya mengajak seseorang untuk teman mengobrol saat joging. Karena sebelumnya Diki biasa pergi sendiri termasuk juga saat dia lari maraton. Dia akan lebih ringan jika berlari sendiri dan berhenti sesuka hati.

Melihat gadis itu menawarinya bertamu sebentar ke rumahnya, membuat Diki tidak enak hati untuk menolaknya begitu saja. Jadi, sebagai permohonan maaf dia mengajak perempuan itu untuk ikut bersamanya. Mungkin nanti dia akan membelikan perempuan itu satu batang ice cream atau mereka akan mengunjungi tempat yang menarik untuk mengobrol sebentar.

Mengingat perempuan itu pernah membantunya saat dia hampir sekarat di jalan waktu itu, berlebihan memang. Tapi jika tidak ada Riska saat itu, mungkin dia tidak akan pulang dengan keadaan baik-baik saja. Dia melihat bagaimana perempuan itu mengotongnya sambil berceramah panjang lebar karena dia kesusahan membawanya duduk di dekat halte, lalu mencarikan obat untuknya dan sebotol air mineral, membuat Diki jadi ingin melakukan susuatu sebagai ucapan terimakasih. Oh, ya. Jangan lupa. Dia juga membelikan Diki makanan waktu itu.

"Diki.." panggilan itu membuat Diki menoleh melihat Riska yang melambai di depan rumah, lalu berlari ke arahnya.

"Udah?" tanya Diki sambil tersenyum kecil ketika Riska sudah sampai di depannya.

Riska mengangguk. "Lama, ya?"

Mereka mulai berjalan dari sana meninggalkan rumah Riska. Seperti kata Diki, mereka hanya berjalan santai.

"Iya," sahut Diki asal. "Lo ngapain, sih? Mandi kembang?" protesnya pura-pura kesal.

Riska berdecak. Dia melirik Diki dengan malas. "Iya gue kan pamit dulu sama Emak gue. Lo ngga sabaran aja," sahutnya setengah hati.

Diki hanya merespon dengan mengedikkan bahunya saja.

Sebenarnya berpamitan tidaklah memakan waktu lama. Bahkan bisa dilakukan kurang dari satu menit. Hanya saja, Riska malah berdiam di kamarnya melihat keluar jendela. Memperhatikan Diki yang berdiri sendiri di depan rumahnya. Kenapa dia malah mengiyakan ajakan laki-laki itu. Riska merasa aneh saat berbicara dengan laki-laki itu dia bisa mengucapkan setiap kata-kata dengan ringan. Apalagi mencandai Diki dengan air cuci piring tadi. Sebenarnya Riska malu. Sedetik setelah dia mengucapkan kata itu dia langsung menyadarinya dan hanya mengirinya dengan tawa agar tidak terlalu memalukan di depan Diki.

Perempuan itu menopang dagu dengan tangannya. Diperhatikannya wajah Diki dari jauh. Pikirannya melayang ke hari pertemuan mereka. Riska saat itu sedang kesal dengan tugas kelompok Kimianya dan tidak sadar sudah berada di tengah jalan. Beruntung saja dia tidak tertabrak dan laki-laki itu memang berhenti, hanya saja membuat Riska takut karena mengancamnya.

Lalu Riska bertemu lagi dengannya saat Diki melarikan tasnya pagi itu karena dia memukuli lak-laki itu tanpa berpikir panjang. Lalu pertemuan selanjutnya, dan selanjutnya.

Riska juga bisa melihat bekas luka di dahi Diki sebelah kanan. Hanya sedikit, tapi jika diperhatikan lagi, itu adalah bekas jahitan dari ubun-ubunnya yang tertutupi rambut. Entah bagaimana perasaannya saat itu, ketika melihat Diki tergeletak tak sadarkan diri di jalan dengan darah yang mengalir dari dahinya--tidak, laki-laki itu sama sekali tidak pingsan karena Riska bisa merasakan laki-laki itu menahan sakitnya saat di dalam ambulan--dan juga ada luka lain yang terlihat menyayat karena kulit Diki tidak bersisa memperlihatkan bagian memerah di dagingnya. Riska takut saat itu. Dia ingin berlari jauh dan pergi dari sana. Tapi melihat Diki dengan keadaan begitu membuat dia menginjakkan kaki lebih lama di samping laki-laki itu.

Riska takut. Dia seperti melihat rekaman ulang kejadian yang sama di kepalanya.

Dian.

Perempuan itu.

Menjadi mimpi buruk Riska setelah mereka mengalami kecelakan. Tidak, tepatnya Dian yang mengalaminya. Dan Riska seperti dihantui oleh kesalahan karena melepaskan tangan Dian hari itu.

Mimpi itu datang dan membuatnya terjaga di jam yang sama. Setelah itu dia akan sakit dan suhu tubuhnya meningkat. Setidaknya Riska mengalami mimpi buruknya satu kali sebulan saat dia masih di kelas X. Dan itu juga menjadi alasan mengapa dirinya sering mengisi absen dengan huruf kecil 's' di kolom kehadirannya.

Riska menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. Dia sudah terlalu lama melamun di dalam kamarnya dan membuat Diki menunggu. Riska bangkit dan menjauhi jendela kemudian berjalan ke lemarinya untuk mengambil tas selempangnya dan membawa sedikit uang. Mungkin saja dia akan membeli sesuatu nanti. Atau Diki lupa membawa uangnya lagi. Riska terkekeh sebentar mengingat hari itu. Diki dengan polosnya mengatakan dia tidak membawa uang saat dia sakit.

Riska menatap sekeliling. Pemandangan yang sama dengan yang dia lihat setiap harinya.

"Eh, Diki. Pacar lo mana? Kenapa ngga ajak dia?"

*
"

Oi? Kenapa bengong?" kejut Diki ketika Riska malah termangu menatap arah lain ketika dia berbicara.

Riska terkesiap. "Oh? Eh? Engga," jawabnya terbata.

Diki terdiam. Lalu ekor matanya melirik ke arah pandangan mata Riska sebelumnya. Sedetik kemudian dia kembali menatap Riska yang duduk di sampingnya. "Gue cerita panjang lebar tahu. Lo ngga dengerin," decak Diki.

"Eh? Maaf. Gue gagal fokus," sahut Riska asal. Kemudian otaknya kembali berpikir dan melanjutkan, "Elo sih beliin gue ini. Gue kan butuh aqua setelah perjalanan jauh ini."

Diki tergelak, tidak menjawab. Sesekali matanya mencuri pandang pada dua orang yang sedang tengah duduk di seberang mereka. Di bangku katu yang ada di bagian sudut taman tersebut. Di sana, dia melihat Waldy dengan seorang perempuan yang Diki kenal. Perempuan itu satu sekolah dengannya. Begitu juga dengan Waldy. Mereka satu sekolah namun di jurusan yang berbeda--Waldy di kelas XII--dan tentu Diki sering melihat mereka berdua di sekolah.

Seketika Diki teringat pada kejadian hari itu. Ketika tanpa sengaja dia melihat Waldy dan Riska sedang membicarakan sesuatu di sudut jalan. Diki menghela napas sebentar, lalu melirik Riska di sebelahnya.

"Ka," panggil Diki.

"Hm?" Riska mendongak ke samping ketika Diki memanggilnya. Kedua alisnya terangkat.

Diki menikmati sejenak ekspresi wajah perempuan di depannya. Tatap matanya, air mukanya, dan senyumannya. Lalu Diki memutar bola mata menatap hal lain sebentar lalu kembali ke Riska. Dia mengedikkan bahu dan berkata, "Lo denger ngga yang gue omongin tadi?"

"Eh? Iya gue denger, kok," kilah Riska mengalihkan pandangannya.

"Ke sana, yuk,"ajak Diki menarik tangan Riska.

Perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya mengikuti Diki membawanya ke dalam toko mainan.

"Lo suka mainan apa waktu kecil?" tanya Diki sambil melihat-lihat beberapa mainan yang dominan berwarna pink. Ada beberapa boneka, permainan sulap, tongkat sihir dan topi ajaib, serta boneka barbie dengan berbagai jenis maninan anak perempuan lainnya.

Kening Riska berkerut. "Buat siapa?"

"Adek gue," sahut Diki.

Bibir Riska membentuk bulat huruf o. "Umur berapa?" tanyanya kemudian ikut mengalihkan pandangan pada beberepa mainan yang di susun rapi di rak.

"Umur 6 tahun. Dia udah mau naik kelas 2 SD, sih."

Riska mengangguk mengerti. Kemudian melangkah pelan sambil mengamati mainan-mainan tersebut. Rata-rata Riska sudah pernah memainkannya sewaktu kecil. Kecuali mainan topeng pesta para peri. Dia belum pernah memilikinya.

"Biasanya anak cewek mainnya boneka," kata Riska. "Nih baling-baling bambu. Kali aja adek lo suka." Riska mengangkat sebuah baling-baling bambu yang sama seperti di dalam film tokoh kartun berwarna biru itu.

"Lo yakin anak cewek maiannya itu?" tanya Diki menatap ragu mainan itu. Mengingat adiknya lebih senang senang permainan tidak bergerak.

"Bisa aja kan nanti adek lo suka karna ini bisa terbang," sahut Risja asal kemudian mengembalikannya pada tempat mainan itu. "Nih, tabungan Doraemon. Biar adek lo rajin nabung." Riska mengambil celengan berbentuk tubuh Doraemon dengan kepala bulat besar, berukuran sedang tersebut.

Diki memperhatikan sejenak benda di tangan Riska tersebut. Mungkin itu ide yang bagus. Karna Aisyah belum memiliki celengan dan dia juga belum diajarkan untuk menabung. "Boleh juga." Tangannya bergerak mengambil celengan tersebut tapi Riska menjauhkannya dengan wajah tak berdosa, sementara Diki melongo dengan tangan terangkat sebelah di depan dada.

"Tapi adek lo ngga suka Doraemon, ya? Kalau gue mah suka banget. Kantong ajaib.." gumannya menirukan suara Doraemon dengan polosnya.

"Lo ngapain?" tanya Riska bingung melihat Diki mengangkat dengan wajah bodoh menatap ke arahnya.

Diki tersentak, kemudian cepat-cepat menurunkan tangannya dan melihat-lihat pajangan di rak. "Eh, mainan kunci ini bagus juga," katanya menghiraukan pertanyaan Riska barusan.

Perempuan itu mengedikkan bahu acuh.

"Jadi gimana? Lo tertarik ngga beliin adek lo ini?" tanya Riska sekali lagi sambil mengetuk bahu Diki.

Diki mendesah. Dasar perempuan ini, padahal dia melihatnya tertarik dan ingin melihat benda tersebut tapi dia malah menjauhkannya tanpa rasa bersalah. "Iya," tangan Diki menarik benda tersebut sambil membuang muka.

Riska tersenyum kecil melihat wajah laki-laki itu pura-pura marah. Padahal dia memang sengaja mengerjai Diki saat melihat laki-laki itu tertarik pada benda yang ia tawarkan. Dia mengikuti Diki berjalan ke meja kasir dan membayar celengan Doraemon itu.

"Lo mau ke rumah gue ngga? Deket dari sini." Diki mengangkat telunjuknya ke arah selatan dari toko mainan tersebut.

Riska berdecak. "Tadi lo ngga mau mampir ke rumah gue."

"Ntar gue anterin lo pulang."

"Eh?"

*

"Bang Diki itu siapa?" bisik Aisyah sambil mengintip ke ruang tamu. Dia sedang berada di pintu kamar Diki ketika laki-laki itu pulang.

"Temen abang," jawab Diki sambil memasang kaos berwarna hijau bertulis Kick Denim di dada baju tersebut. "Kamu suka celengannya?"

Aisyah mengalihkan pandangannya pada Diki yang sedang berkaca. "Suka," jawabnya. Dia mengangkat alis bingung melihat abangnya sudah berganti pakaian dan berkata, "Abang mau kemana?"

"Mau pergi bentar," sahutnya melirik Aisyah sebentar dan kembali menatap bayangan di cermin.

"Sama kakak itu?"

"Iya."

"Kenapa ngga sama kak Tesa aja bang?"

Diki menghentikan gerakan tangannya, jemarinya baru saja menyisir rambutnya. Dia diam sebentar setelah itu berjalan mendekati Aisyah. Dia berjongkok di depan perempuan kecilnya itu dan berkata, "Kak Tesa udah pindah ke Surabaya. Jadi gantinya kak Riska yang sering ke sini," jawab Diki asal. "Yuk, kenalan sama kakak itu dulu. Dia bakal jadi temen kamu," lanjutnya sambil mendorong bahu Aisyah yang hanya setinggi pahanya menuju ruang tamu.

Di sana, tampak Riska sedang berbincang dengan ibunya. Perempuan itu sesekali tertawa, begitu juga dengan ibunya. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang menarik.

"Ibu," panggil Diki membuat wanita itu menoleh padanya, bersamaan dengan Riska.

Lalu mata Riska beralih pada manusia kecil di sampingnga. Ternyata adik Diki lebih kecil dari perkiraannya. Bukan seperti anak SD, dia pendek dan terkesan seperti anak TK. Riska tersenyum dan melambai kecil pada anak itu menyuruhnya mendekat dan berkata, "Hei, sini. Siapa namanya?" tanya Riska dengan nada suara lucu.

Aisyah yang saat itu masih menempel pada Diki mendongak pada laki-laki itu seperti minta persetujuan. Dilihatnya Diki mengangguk, lalu dia menoleh menatap Riska. Sepersekian detik kemudian dia baru mendekat, agak ragu pada Riska.

Diki dan Ibunya hanya menyaksikan itu dengan senyum sekilas di bibir mereka kemudian kembali saling menatap.

"Ibu aku pergi sebentar ya," pamitnya sambil mencium tangan ibunya yang sudah berdiri. Meskipun begitu, Diki tetap harus membungkukkan badannya karena dia terlalu tinggi untuk ibunya.

"Iya," sahut ibu tersenyum. "Jangan pulang lama-lama," pesan ibu sambil menepuk lengan Diki sebentar yang dibalas anggukan serta senyuman khas dari Diki.

Diki melirik Riska sekilas dan memiringkan kepalanya sebagai tanda akan pergi. Riska yang mengerti, menyudahi percakapannya dengan perempuan kecil itu.

"Aisyah.. Kak Riska sama abang pergi dulu ya," kata Diki setelah berjongkok di depannya. Aisyah nampak sedikit cemberut membuat Diki bingung.

"Kak Riska tinggal di sini aja. Bang Diki mau bawa kemana?" protesnya masih dengan mengerucutkan bibir, kesal.

Alis Diki bsrtaut tidak mengerti. Lalu Riska tertawa seperti mengejek Diki diikuti wanita di belakangnya. "Apa?" tanyanya melempar tatapan tak suka.

Riska menggeleng kemudian memutar tubuh Aisyah mendekatinya. Ibu Diki juga mendekat, sementara Diki berdiri dari posisinya.

"Kakak pulang dulu, ya. Kakak juga punya adek di rumah. Nanti dia nyariin kakak lagi," kata Riska menatap kedua bola mata Aisyah. "Tapi dia masih umur 5 tahun. Nanti Aisyah boleh temenan sama dia," tambahnya lagi.

Aisyah membulatkan bibirnya dan mengembungkan kedua pipinya, lalu dia mengangguk patuh. "Kakak pulang dulu, ya." Lagi, Aisyah mengangguk kemudian bergeser ke samping memberi ruang untuk Riska berjalan. Melihat itu Diki dan ibunya sama-sama melempar senyum.

"Kakak besok datang lagi, ya." Aisyah melambai pada Riska dan Diki yang sudah di atas motor.

Riska mengacungkan jempolnya ke arah perempuan kecil itu kemudian mengangguk. Setelah itu mereka menghilang dari pandangan Aisyah dan meninggalkan perkarangan rumah Diki.

"Lo ngomong apaan sama adek gue?" tanya Diki di perjalanan.

"Pembicaraan sesama perempuan," jawab Riska asal.

Lagi, Diki mendesah pasrah. Perempuan di sampingnya ini suka mengolok-olok dirinya, membuat dia kesal setengah mati.

"Eh, Diki. Mampir dulu ke sana. Gue mau beli makanan." Riska menepuk-nepuk bahu Diki berkali-kali agar laki-laki itu berhenti.

Diki mengoyang-goyangkan bahunya risih. "Iya, iya. Gue denger, kok. Sekali aja napa," dengusnya kemudian memperlambat laju motor ke arah mini mart. Mereka turun, lalu sama-sama memasuki mini mart itu. Riska langsung saja menuju ke barisan rak makanan ringan dan dia sedang sibuk memilih dan mengambil makanan yang dia suka ke dalam keranjangnya. Liburan juga butuh makan yang banyak.

"Handphone lo bunyi tuh," kata Diki tanpa menoleh.

"Hm?" Riska menaruh keranjang belanjaannya di lantai kemudian meronggoh tas selempangnya mengambil benda layar datar tersebut. Dahinya berkerut samar memperhatikan nama penelpon yang di tampilkan. Dia menggeser perintah reject, lalu memasukkannya dengan tergesa.

"Siapa?" tanya Diki ringan. Dia masih belum melirik perempuan itu. Tapi ekor matanya, ia dapat melihat perempuan itu menekan salah satu tombol di layar ponselnya kemudian memasukkannya dengan wajah gusar.

"Ngga tahu. Nomor baru," jawab Riska enggan, lalu dia meraih kembali keranjangnya dan memutari rak makanan tersebut ke sisi sebelahnya. Lagi, ponselnya bergetar. Tapi getarannya bisa mengusik pikiran Diki dan sekarang dia menatap Riska bingung. Tidak mungkin dia tidak merasakan getaran handphonenya sendiri. "Bunyi lagi." Diki kembali menatap ke rak makanan dan mengambil salah satu camilan di sana lalu memasukkannya ke keranjang yang Riska bawa.

"Kok di sini?" tanya Riska heran.

"Numpang bentar. Nanti gue bayar," jawabnya enteng.

Setelah mereka selesai membayar belanjaan, Riska meneteng satu kantong plastik berisikan camilan miliknya dan satu kantong plastik kecil milik Diki. Laki-laki menyebalkan itu memintanya membawakan barang miliknya.

Lagi, ada panggilan di ponsel Riska. Dia menyerahkan kantong plastiknya sebentar kepada Diki dan mengeluarkan benda pengganggu itu--setidaknya untuk saat ini. Dia berdecak dan menghela napas panjang ketika melihat nama dari penelpon yang sama.

"Dwira? Angkatlah." Riska tersentak ketika Diki berbicara di dekat telinganya. Dia tidak sadar laki-laki itu sedang menunggunya dan malah mengumpat sendiri di dalam hati.

"Eh, iya." Riska kembali menolak panggilan itu. Diki tidak berbicara lagi. Mereka berjalan ke motor Diki.

"Arrgh!" geram Riska ketika benda tersebut masih bergetar.

"Sini gue angkat." Diki merebut ponsel Riska dan langsung menggeser tombol answer.

Riska yang saat itu kaget, dengan refleks dia merebut ponselnya dan genggaman tangan Diki terlepas karena ia tidak benar-benar menggenggam ponsel itu, lalu terjatuh ke lantai.

Diki melongo terkejut sementara Riska menghela napas lega, lalu dia segera berjongkok memunguti ponselnya yang sudah berderai. Penutup belakang ponsel dan baterainya tercabut. Dia mencopot kartunya dan mematahkan benda kecil itu, lalu membuangnya ke dalam tong sampah di depan mini mart tersebut. Tidak peduli berapa banyak dia akan kehilangan nomor teman-temannya, keluarganya atau siapapun di sana.

Diki masih berdiri di tempatnya memperhatikan kejadian kecil itu. Dia diam ketika Riska sudah mendekat. "Yuk. Gue mau cepat pulang," kata Riska dengan tersenyum--yang dipaksakan--lalu berjalan ke samping motor Diki. Laki-laki itu tidak membantah atau bertanya lagi. Dia menurut dan menghidupkan mesin motornya. Setelah dia pastikan Riska duduk dengan tenang, barulah ia menarik gas dan pergi meninggalkan mini mart tersebut dengan berbagai pertanyaan yang terbesit dipikirannya.

Diliriknya Riska lewat kaca spion. Perempuan itu hanya menatap pemandangan di samping kiri mereka dengan tenang, namun tatapannya sayu. Rambutnya yang panjang diterbangkan angin ke belakang, sesekali ketika kepalanya bergerak sedikit rambut-rambut itu akan menyentuh pipinya.

Ada rasa bersalah di dalam hati Diki. Ada juga rasa penasaran, sejak dulu. Riska nampak mengerutkan dahi sedikit, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.

♥~♥

Jangan bosan, 3259 kata. Dua hari *oh my god*

Chapter paling pajang. Komen typo.

Continue Reading

You'll Also Like

7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
6.9M 293K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
606K 23.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...