Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

By DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... More

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 22

313 33 3
By DekaLika

"Kalian? Sama? Atau aku yang berlebihan terlalu terbawa suasana?"

*

Sore ini tidak secerah sore kemarin. Langit hari ini tidak se-oranye kemarin. Badan langit lebih gelap dipandangan mata Diki. Dia tidak dapat melihat sepercikpun ada semangat dari cahaya matahari yang redup di balik awan sore ini. Semuanya terasa hambar dalam beberapa detik. Tidak ada yang menarik.

Diki sedang berjalan pelan di trotoar. Dia memutuskan untuk tidak membawa motor karena kepalanya terlalu pusing untuk mengendalikan kendaraan roda dua itu. Dia sedang merasa bosan menatap langit kamarnya yang kaku tidak dapat dia ajak bicara. Mendadak semuanya terasa mati. Suasana di kamar Diki berubah menjadi kegelapan di musim gugur yang berangin di bawah langit gelap. Seakan-akan awan hitam memenuhi langit-langit kamar Diki lalu menurunkan tetesan hujan yang deras.

Diki berhenti sebentar lalu duduk di tepi trotoar. Dia tidak tahu mau kemana kakinya akan membawanya Keinginannya hanya menghindari kamarnya untuk beberapa jam saja. Mencari kesibukan lain yang sama sekali tidak berpengaruh untuk mengurangi perasaannya yang mendadak terasa berat bila dia tidak bergerak dalam satu detik.

Kepalanya pusing. Pandangannya berkunang-kunang. Dia tidak dapat melihat jelas aktivitas di sekitarnya. Tapi telinganya selalu tajam menangkap gerakan-gerakan yang ada sepanjang jalan tol ini. Bunyi gemerisik daun yang diterbangkan angin bersentuhan dengan aspal, bunyi tapak sepatu yang bersentuhan dengan trotoar, bunyi deru motor di ujung persimpangan jalan, dia bisa mendengar semuanya. Juga sebuah senandung kecil diseberang jalan.

Laki-laki yang mengenakan kaos polos berwarna putih dan celana jeans selutut itu memijit pelipisnya sebentar. Mencoba menetralisir kembali isi kepalanya yang kacau.

"Kamu mau ninggalin aku?"

"Aku ngga bisa terus-terusan kayak gini, Diki. Aku harus cari jalan lain buat mengobati trauma aku. Apalagi orang tua aku ngga tahu tentang ini. Aku ngga mau mereka tahu. Selama ini sulit buat nyembunyiin ini dari mereka. Untung aja mereka sibuk sama pekerjaan, kalau engga, mungkin masalah aku terbuka dalam sekejap."

"Tapi kita bisa cari jalan lain. Aku bakal bantu kamu buat nyembuhin trauma kamu, Tesa. Aku bakal jagain kamu dari Dwira. Dia ngga bakalan bisa nyentuh kamu."

"Ngga bisa, Diki. Satu-satunya cara yang bisa aku lakuin adalah menjauh dari dia."

"Aku bakal ngelakuin apapun."

"Kamu udah ngelakuin banyak hal buat aku. Termasuk membuat aku ketawa dan bisa ngelupain sejenak rasa sakit aku."

"Dan aku juga bakal ngelakuin itu terus sampai kamu benar-benar sembuh dari rasa sakit kamu."

"Aku ngga mau ngerepotin kamu Diki. Makasi, ya. Aku senang selama ini kamu ada buat aku. Aku bahagia."

"Tesa..."

"Karna kamu sepupunya. Aku mau ngajuin satu permintaan terakhir sama kamu."

"Apa? Bilang aja."

"Jagain cewek yang ada di dekat Dwira, ya. Aku ngga mau dia disakitin sama Dwira. Karena kamu sepupunya, aku yakin kamu dekat sama dia."

Dunia Diki berputar-putar. Dia harus berulang kali mencerna maksud kata-kata Tesa yang terakhir dia ucapkan. Cewek yang dekat sama Dwira? Siapa? Tidak mungkin Diki bertanya pada laki-laki brengsek yang telah membuat Tesa pergi darinya hanya untuk menjauhi bajingan seperti dia. Benar-benar manusia yang harus dilenyapkan dari bumi ini.

Sementara Diki sibuk dengan pikirannya sendiri, dia merasa kepalanya kembali berdenyut seperti terbentur benda keras. Dia tidak bisa tidur selama dua hari ini. Yang dilakukannya hanya memandang keluar jendela dengan mantel tebal dan perasaan berat yang membebaninya. Seakan di pundaknya ada beban ratusan kilo yang membuat tidak bisa beranjak satu sentipun dari tempat duduknya.

Diki beranjak dari tepi trotoar dan mencoba berjalan menembus cahaya yang masih terasa dingin di kulitnya itu. Hati, pikiran, dan detik saat ini tidak ada yang sejalan dengannya. Itu membuatnya berjalan tanpa tujuan sekarang. Ketika ia merasa tubuhnya kehilangan keseimbangan, Diki menabrak seseorang. Dari mana asalnya? Di depan, belakang? Sementara itu tubuh Diki sudah terjatuh, dia bisa merasakan lututnya bersentuhan dengan trotoar. Kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti orang sakit selama satu bulan? Ini memalukan, di depan orang banyak seperti ini? Di jalan lagi.

"Eh? Kenapa, nih?" tanya orang yang dia tabrak tadi. Diki yakin tubuhnya sedang menindih orang itu. Namun dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Otot-ototnya mendadak kaku dan tidak berfungsi dengan baik. Tubuhnya terasa didorong-dorong dan dipaksa menjauh. Diki yakin ini sangat memalukan.

"Diki kenapa?" tanya suara itu panik. "Oi, bangun. Diki lo kenapa, sih? Berat, nih," rintihnya terus mendorong punggung Diki agar bisa duduk dan laki-laki segera sadar dan membuka matanya.

Mendadak dunia Diki berhenti berputar. Pandangannya sama gelapnya dengan pikirannya. Seperti deja vu, Diki membeku.

Diki kenapa?

Diki mengangkat kepala dan menoleh ke empu suara. Kepalanya kembali berdenyut hebat ketika dia memaksa membuaka kedua matanya. Kedua alisnya bertaut dan tatapan mata yang ia sendiri sulit menjelaskan saat melihat wajah perempuan di depannya.

Dia benar-benar tidak beres lagi sekarang.

*

"Lain kali, kalau lo lagi sakit jangan jalan sendirian. Gatel kayak ulat bulu," celoteh Riska ketika ia membukakan botol air mineral yang baru ia beli untuk laki-laki di sampingnya lalu memberikannya pada Diki.

Diki tertegun menatap botol air mineral yang diberikan Riska di depannya. Dia tidak memberikan reaksi apapun selain tatapan kosong yang membuat ia melamun. Melamunkan banyak hal, tidak banyak. Hanya perempuan aneh di depannya saja.

Riska menghela napas kasar. "Ngga gue kasih racun. Lo kan lihat gue buka di depan lo masih ada segelnya," katanya menarik tangan kanan Diki dan meletakkan botol mineral itu di tangannya agar ia meminumnya.

Diki menalan ludah. Dia menerimanya tanpa bicara. Lalu Riska menyodorkan satu bungkus kecil obat di tangannya. Melihat Diki kembali diam Riska menarik tangannya.

"Minum, nih. Untuk sementara." Perempuan itu mensobek sedikit ujung bungkus obat itu dan mengeluarkan isinya. "Sebenarnya ini bisa diminum sebelum atau sesudah makan. Tapi lebih cepat reaksinya lagi kalau habis makan. Tapi lo bisa makan ini dulu, kok. Habis itu baru isi perut lo." Dia juga menarik tangan Diki yang bebas tergeletak di atas paha laki-laki itu dan menaruh tablet berwarna putih bulat datar itu. Diki tidak suka obat.

"Heh! Cepet diminum obatnya. Lo ngga mau kan nyusahin gue ngangkat badan berat lo itu." Riska mendorong bahu Diki membuat laki-laki itu tersentak dan menoleh ke arah Riska.

Riska mengusap kasar wajahnya dengan sebelah tangan. Bosan dengan reaksi menyebalkan yang diberikan oleh Diki sejak tadi dia membawa laki-laki itu duduk di halte terdekat. Yang benar saja, tidak mungkin dia membawa Diki ke rumahnya walau laki-laki itu sekarat sekalipun.

Riska menghentakkan kedua kakinya berkali-kali ke lantai. Gemas sekali melihat ekspresi wajah Diki yang berlagak seperti anak kecil yang polos. "Cepat diminum. Lo kok susah banget sih dibilangin. Gue ngga mau disusahin. Nyesel deh gue samperin lo tadi. Kalau tahu gue tinggalin lo terkapar di jalan," sungut Riska cerewet.

"Gue ngga suka makan obat." Diki berucap lirih dan pelan sekali, sambil matanya menatap obat di telapak tangan kirinya.

Riska memutar bola mata bosan. "Tapi lo bisa makan obat, kan. Ayo cepetan. Ntar lo cepat pulang terus makan di rumah," desak Riska.

"Rumah gue jauh."

"Ya udah lo cari makan aja nanti."

"Gue ngga bawa uang."

Riska menggerutu. Ada apa dengan laki-laki ini. Kenapa dia bersikap aneh seolah ia akan kehilangan nyawa dalam beberapa menit lagi.

"Ya udah, ya udah. Nanti gue bayarin makan lo. Sekarang lo makan obatnya cepet!" ucap Riska penuh penekanan. Sebentar lagi ia bisa kekurangan umurnya setahun jika laki-laki itu melontarkan kalimat yang memuakkan lagi.

Diki kembali tertegun sesaat menatap dua benda di kedua belah tangannya. Satu benda asing yang dibencinya, satunya lagi yang sering dia minum setiap hari. Dua benda dengan hal yang berbeda di hidupnya itu membuat kening Diki mengerut. Untuk apa dia meminum obat tersebut, kenapa juga perempuan di sampingnya cerewet sekali menyuruhnya meminum tablet putih ini. Padahal Diki tidak akan meminta bantuan apa-apa, tentu saja tidak akan menyusahkan perempuan itu sama sekali.

Anehnya dia tidak merasa tersinggung sama sekali dengan sederet kata-kata yang diucapkan Riska. Dan dia merasa benar. Anehnya, seolah ada yang menggerakkan kedua tangannya dan memakan obat serta menelannya dengan air putih dari botol mineral tadi.

Riska tersenyum singkat melihat Diki meminum obatnya. Setidaknya itu dapat mengurangi beban pikirannya.

Beban pikiran?

Diki menelan obat pahit itu dengan susah payah. Dahinya berkerut sempurna mencetak gelombang-gelombang halus di sana.

"Nah kan bagus." Riska tersenyum puas. "Ya udah gue tungguin lo bentar. Kalau udah mendingan kita baru cari makan buat lo," lanjutnya lalu membuka tas selempangnya dan mengeluarkan sebuah buku tebal yang masih terbungkus plastik bening. Dia merobek bungkus tersebut dan membuangnya ke dalam tong sampah yang ada di samping halte.

"Lo dari mana?" Diki bersuara setelah lama dia mengamati perempuan di sampingnya membalik halaman buku yang baru ia buka bungkusnya tadi.

"Hm?" Riska menoleh ke sampingnya. Kemudian dia menoleh lagi ke buku yang ia pegang dan kembali menatap laki-laki di sampingnya lalu dia tersenyum. "Oh? Ini? Gue dari toko buku. Beli novel," jawabanya. "Ngga apa-apa kan gue baca bentar sambil nungguin lo?" lanjutnya lagi meminta persetujuan.

Diki sudah menebaknya. Namun dia hanya ingin memastikan saja. Tidak, maksudnya, mencari alasan untuk bicara. Walau pertanyaannya terdengar konyol karena siapapun yang melihat aktivitas singkat yang dilakukan Riska barusan, tentu saja perempuan itu baru membeli buku.

"Oh," guman Diki. Kemudian dia menatap sepatu hitamnya dan memainkan kakinya. Dia tidak lagi berbicara. Tidak tahu kata-kata apa yang menjadi topik pembahasan untuk dibicarakan mereka.

Kenapa dia tiba-tiba harus bertemu perempuan ini. Dengan keadaannya seperti tadi lagi. Ah, memalukan. Batinnya. Diki menghela napas gusar.

Ngomong-ngomong, kemana saja perempuan ini. Diki baru sadar kalau dia sedekat ini dan perempuan itu berbicara begitu lugas dengannya. Seperti teman lama.

Diki mengangkat kepala dan menoleh mengamati wajah Riska dari samping. Ada yang mengganggu pikirannhnya sejak tadi, yang membuat ia tidak fokus mendengarkan ucapan Riska yang nyinyir memaksanya agar segera meminum obat tersebut. Diki mengerjap, mencoba mengingat-ingat.

Suara perempuan itu, intonasinya berbicara, dan kata-mata yang ia ucapkan persis sama seperti suara-suara yang berulangkali terekam di otaknya. Riska mengucapkannya dengan tepat. Membuat Diki menatap Riska keheranan saat pertana kali ia sadar lalu membuka mata dan wajah cemas perempuan itulah yang ia lihat.

Diki menghela napas. Riska membalik helai dari buku yang ia baca. Sejenak dia diam tampak memikirkan sesuatu. Detik berikutnya ia menoleh untuk menanyakan sesuatu. Saat itu juga mata mereka bertemu. Mendadak mereka menjeda waktu dan membeku satu sama lain.

Riska diam. Diki juga diam.

Mereka hanya saling menerka apa warna iris mata masing-masing lawan bicaranya. Namun seketika, itu tidak dapat terlihat. Hanya sekelebat warna kelabu yang mengaburkan pandangan.

Diki yang terlebih dahulu memutuskan kontak mata itu. Sebelum Riska.. Tidak. Riska pasti tahu kalau dia sedang memperhatikan perempuan itu sejak tadi. Pasti. Tebak Diki dalam hati.

Riska melihat Diki dengan tatapan bingung. Bingung dengan sikap aneh laki-laki di sampingnya. Setelah ia mengira laki-laki itu sariawan karena tidak mau bicara, sekarang Riska harus membuat persepsi salah lainnya, laki-laki itu sedang sakit leher.

"Udah mendingan sakit kepalanya?" tanya Riska pelan.

Diki mengangguk.

Riska tersenyum sebentar kemudian memasukan novel barunya tadi ke dalam tas lalu dia berdiri. "Ya udah. Ayo kita cari makan buat lo."

Diki tidak melakukan apapun dari tempat duduknya. Mendadak seperti ada permen karet besar yang menempel di bangku halte membuat dia sukar berdiri. Ini kerjaan siapa?

Riska berbalik dan keningnya mengerut. "Ayo, cepat. Lo ngga mau mati kelaparan kan di sini?"

Diki tersentak seketika mengangkat kepala menatap Riska. Dia memaksakan sebuah senyum yang entah bagaimana bentuknya di wajahnya. Diki merasakan panas di wajahnya.

Riska memutar mata lalu berdecak. Kepalanya geleng-geleng melihat tingkah aneh laki-laki yang masih duduk di halte dan menatap bodoh ke arahnya. Kemudian Riska mendekat dan menarik lengan kiri Diki agar dia bisa berdiri dan mereka segera pergi dari sana.

"Ayo. Lo kenapa sih sebenarnya? Kayak orang mau mati besok aja." Riska agak jengah dengan kelakuan yang dibuat Diki. Sebenarnya Diki sakit apa sampai dia kelihatan seperti kehilangan nyawa.

Diki menurut ketika dia ditarik-tarik begitu saja oleh perempuan yang masih sibuk mengomel di sampingnya. Diki melirik Riska berkali-kali memastikan apakah perempuan itu masih mengomelinya.

Tunggu. Mengomelinya? Memangnya siapa dia.

"Lo lihat apa?" decak Riska melirik sinis laki-laki di sampingnya.

Diki tersentak kemudian menggelengkan kepalanya cepat-cepat.

"Lo mau makan sate ngga?" tanya Riska menunjuk sebuah kedai sate di seberang jalan.

Diki hanya mengangguk. Riska menghela napas. Kemudian dia melihat ke kanan dan ke kiri sebelum menyebrang.

Irit ngomong.

"Lo tadi kenapa, sih?" tanya Riska saat mereka sedang menunggu pesanan. Dia mengamati wajah Diki dengan seksama, sedang mencari jawaban. Walau sebenarnya laki-laki itu juga akan memberikannya jawaban.

"Ngga tahu. Tiba-tiba kepala gue pusing aja," jawab Diki memiringkan kepalanya sedikit.

Alis Riska bertaut melihat ke bagian wajahnya. Sepersekian detik kemudian dia berpindah duduk ke samping Diki dan menempelkan punggung tangannya di dahi Diki. Laki-laki itu tersentak, pun dengan tubuhnya. Matanya menatap Riska tidak berkedip, bingung.

"Lo sakit, Diki," kata Riska. Kemudian dia kembali lagi ke tempat duduknya. Diki tidak menyahut. Matanya terpaku pada tumpukkan sendok di atas meja. Apa yang dilakukan perempuan ini?

"Oi?" Riska mendorong pelan bahu Diki. Laki-laki itu kaget dan segera mengangkat kepala. "Lo denger ngga sih apa yang gue bilang?"

"Eh? Iya. Ada, kok," jawab Diki terbata.

"Apa?"

Diki mengeluh sendiri. Kenapa sih harus ketemu cewek cerewet ini. Dari tadi dia ngga berhenti ngoceh. Kemudian dia melirik Riska sekilas lalu menggelengkan kepala.

Riska menghela napas, lelah. Dia mengusap wajah dengan satu tangan. Sudahlah. Mungkin laki-laki itu sedang tidak mau bicara. Tapi bagaimana mungkin Riska tidak menanyakan itu. Dia sendiri mengeluh dalam hati ketika ingat pertama kali dia melihat laki-laki itu seperti sedang dicabut nyawanya oleh malaikat. Antara kasihan dan kesusahan.

Padahal perempuan itu berjalan sambil berjingkat kecil menikmati sore yang lumayan cerah. Awan-awan tebal bergumpal di setiap sudut langit dan mengelilingi bumi dengan memayungi bukit-bukit yang berbaris di ujung langit.

Bicara tentang ujung langit. Itu adalah fatamorgana? Benar atau tidak? Entahlah.

Dan tiba-tiba saja dia melihat laki-laki itu sempoyongan di trotoar lalu jatuh ke jalan dan ada motor yang lewat.. Tidak!

Riska menggelengkan kepala dan mengumpat pikiran melanturnya barusan. Kenapa tiba-tiba dia jadi membayangkan hal itu. Bukan, dia bukan mengharapkan Diki begitu. Hanya sedikit rekaman umum kejadian seperti itu, dan akhir seperti di film atau otaknya sendiri.

Nyatanya, Diki sendiri jatuh menimpa dirinya yang tisak bersalah. Dasar laki-laki itu. Apa maksudnya dengan tiduran di tepi jalan.

Pesanan mereka datang. Butuh dua menit saja menunggu, karena sate bukanlah makanan yang ribet untuk disajikan. Hm.. wanginya dari kuang kacang sate itu membuat dia bersemangat akan melahap segera potongan-potangan daging yang yang disemakan di satu tangkai lidi itu. Riska memutuskan juga memesan karena wangi dari daging sate yang dipanggang itu menggoda perutnya.

Riska menatap Diki di depannya yang sedang memakan satenya satu persatu. Dia tersenyum di sudut bibirnya melihat laki-laki itu makan lahap. Baguslah jika dia tidak kehilangan nafsu makannya.

Riska penasaran dengan laki-laki itu. Kenapa dia mematikan telepon tiba-tiba malam itu. Dan sampai sekarang dia tidak menelpon Riska lagi. Riska penasaran apa yang dipikirkan Diki saat melihatnya, apa Diki sudah tahu?

Itulah kenapa Riska lebih memilih cerewet tadi agar sikapnya tidak mencurigakan, bahwa dia juga sedang ingin tahu tentang laki-laki itu. Hanya sedikit, tentang telepon itu.

Riska menghela napas. Dia melanjutkan makannya yang sempat tertunda beberapa saat ketika ia sedang bergelut dalam pikirannya. Riska tidak tahu jika Diki juga memikirkan--hal yang tidak sama-- dirinya. Mereka saling tak bicara lagi dan memilih menikmati makanan sendiri.

♥~♥

Haha.. begadang nulis part ini sampai ngga bangun sahur (sengaja sih, malas banget) lanjut lagi pagi ini. Iyaa.. gatel dari semalam nulis sih.

See? Tesa udah pindah dan sekarang Diki galau. Ketemu sama Riska, tapi tu cewek kenapa bisa cerewet banget sama Diki. Kalau sama Dwira dia kaku kayak mayat.

Eh, ngomong2, Dwira ngga gitu kok, ya. Ini cuma alur cerita.

True story: Dwira emang rada playboy cap gigi sih, makanya dia aku bikin sedikit arogan. Kalau Waldy, iya. Dia playboy beneran. Aku aku aja diselingkuhin pas terakhir kali balikan. Duhh mampus tu cowok emang sialan. Sampai sekarang dia bahagia dan pacaran hitungan tahunan.

Sadar mbak bro, sadar mbak bro.

Ya udahlah ya, itu masalalu.

Selamat pagi dan salam dari belahan indonesia bagian barat. Di sini cuaca hujan dan.. dingin kalau kalian hujan-hujanan.

Ig: riska_achaseyla

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
1.5M 129K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 69.7K 32
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...